Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Musuh Terbesar Sebenarnya

15 April 2024   09:44 Diperbarui: 7 Agustus 2024   07:07 609 38

Oleh: Tri Handoyo

Ketika seseorang melakukan aktifitas berpikir, soal apapun itu, maka akan direspon oleh setiap lapisan organ tubuh, oleh setiap lapisan syaraf dan oleh setiap lapisan sel. Selanjutnya tubuh akan memancarkan gelombang yang akan direspon oleh lingkungan sekitar, dan terus memancar hingga bahkan akan direspon oleh seluru alam semesta. Begitu dasyatnya pikiran, sehingga orang-orang bijak mengatakan bahwa kita adalah apa yang kita pikirkan. Diri kita sesungguhnya adalah produk dari pikiran kita sendiri.

Para cendikiawan yang telah mengkaji soal tersebut mengatakan bahwa ada prinsip-prinsip pemikiran yang bisa disimpulkan menjadi tiga kata sederhana, yakni Thought, Become, Fact (Pemikiran, Menjadi, Kenyataan). Para peneliti juga meyakini ada hukum yang paling perkasa di alam semesta ini, yakni hukum tarik-menarik (The Law of Attraction). Ini menguatkan ungkapan bijak kuno yang berbunyi, "Pikiran positif akan menarik hal-hal positif." Tentunya demikian juga sebaliknya.

Tubuh dan jiwa manusia terhubung oleh kekuatan pikiran, yang dengan kata lain disebut sebagai keyakinan atau keimanan. Bila pikiran kita sulit menciptakan kondisi positif, maka keimanan pun akan cenderung rapuh. Bila pikiran selalu diliputi sikap pesimis, maka keimanan pun akan lemah dan mudah goyah.

Begitu eratnya kaitan antara kekuatan pikiran dan kekuatan keimanan, sehingga persoalan memperbaiki keimanan adalah juga persoalan memperbaiki pikiran. Keimanan yang buruk dipengaruhi oleh pemikiran negatif, dan pemikiran negatif dibentuk oleh paradigma yang salah. Sementara itu tidak mudah untuk membongkar paradigma yang salah, sebab ia terbentuk melalui proses panjang sejak awal perjalanan kehidupan. Padahal itu sangat penting, sebab apa pun hasil pemikiran yang keluar akan tercetak melalui mesin cetak paradigma tersebut.

Jika dibalik, paradigma negatif akan menghasilkan pemikiran negatif, dan kemudian menghasilkan keimanan negatif, dan berikutnya menghasilkan tindakan negatif. Energi besar yang mestinya harus digunakan untuk menunjang potensi hidup kita, yakni energi pikiran, tapi karena ia dalam kondisi negatif, maka akhirnya justru merusak dan bahkan menghancurkannya dari dalam.

Kesimpulannya, keimanan yang buruk berumber dari pengetahuan dan pengalaman yang buruk pula, yang penuh sakit hati, kebencian, kedengkian, kemarahan, dan dendam. Maka pada ujungnya, pikiran itu hanya mampu menghasilkan tindakan-tindakan negatif yang merusak kehidupan.

Pikiran negatif tidak akan mungkin mampu menghasilkan karya yang bermanfaat bagi sesama. Pikiran negatif tidak akan mungkin mampu menghasilkan kedamaian dan kebahagiaan untuk diri sendiri, apalagi untuk orang lain. Pikiran negatif pasti akan berujung kepada kegagalan dan penderitaan. Maka, tak dapat dipungkiri bahwa pikiran negatif itulah musuh terbesar kita yang sebenarnya.

Seorang filsuf penting Jerman, Freidrich Nietsche, mempunyai gagasan tentang kebenaran yang dikenal dengan istilah perspektivisme.

Manusia kerapkali sulit untuk meyakini suatu kebenaran sebagai akibat adanya perbedaan sudut pandang. Itulah kenapa diperlukan wawasan luas dan dalam terhadap suatu kebenaran yang patut dijadikan keyakinan.

Bagi Nietsche, seseorang yang hanya meyakini suatu kebenaran dan menganggapnya sebagai kebenaran tunggal, lalu menegasikan yang lainnya, maka dia adalah individu yang lemah. Menolak sisi kehidupan lain, yang pada hakikatnya merupakan penyempurnaan yang saling melengkapi kehidupan itu sendiri,  adalah bentuk ketidakmampuan dalam beradaptasi dengan realitas kehidupan yang ada.

Kebenaran tentu saja sulit diterima kecuali oleh orang yang mempercayainya. Jadi dengan demikian kebenaran akan tergantung bagaimana masing-masing individu menginterpretasikannya, dan persoalan interpretasi tidak terlepas dari perspektif. Karena tergantung pada perspektif tertentu, maka setiap klaim kebenaran hanya bersifat imanen atau subyektif. Inilah maksud dari filsafat perspektifisme.

Satu hal yang jelas, bahwa manusia cenderung membutuhkan pegangan dan tuntutan yang mengendalikan dari luar dirinya, yang pada akhirnya melahirkan fanatisme. Ini dalam rangka menjaga agar seseorang tetap eksis di tengah-tengah realitas kehidupan yang selalu ambigu, plural, paradox, dinamis dan tidak pasti

Nietzsche menegaskan bahwa semua fanatisme merupakan bentuk kelemahan manusia itu sendiri. Tidak hanya fanatisme terhadap suatu agama saja, tapi juga fanatisme dalam filsafat, dalam nasionalsme, dalam ateisme, dan bahkan juga dalam sains itu sendiri.

Sialnya, orang yang memiliki pikiran fanatik itu susah sekali untuk ditolong. Pihak yang ingin membantu tidak bisa memasuki alam pikirannya karena seringkali mereka sendiri tidak rela membuka perangkat kesadarannya. Mereka tidak menyadari bahwa mereka sedang dikuasai oleh musuh besar bernama pikiran negatif. Apalagi jika orang tersebut punya kedudukan tinggi, mempunyai kekuatan finansial dan pengaruh besar, memiliki pengikut fanatik, maka pikiran negatif itu bisa dikemas dengan begitu indah.

Tidak mengherankan jika hal negatif dalam kemasan indah itu kemudian justru diperjuangkan agar terwujud dalam kehidupannya. Mayoritas masyarakat yang berbeda lalu malah dituding salah dan harus diluruskan. Mereka mengklaim dirinya paling baik, paling benar dan paling lurus. Jika sudah demikian, maka hanya kematian barangkali satu-satunya yang bisa menghentikannya.

Kematian yang ia yakini sebagai pintu gerbang menuju kebahagiaan, bisa jadi adalah tipuan akibat cengkeraman musuh terbesarnya, yakni pikiran negatif. Yang lebih memprihatinkannya lagi, tidak jarang justru kematian itulah yang mereka idam-idamkan. Kematian menjadi cita-cita tertinggi yang ingin segera dicapai secara mati-matian.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun