Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Bermetamorfosa di Pucuk Pohon Cinta

21 Maret 2024   10:26 Diperbarui: 19 Juni 2024   08:45 567 34

Oleh: Tri Handoyo

Seekor anak ulat bertanya kepada bundanya yang telah menjadi kupu-kupu, "Bunda, apakah agama itu? Aku dengar manusia berteriak-teriak bela agama?"

Sambil berayun-ayun di pucuk pohon cinta, si bunda menjawab, "Nak, agama itu amal perbuatan. Agama akan terlahir dalam wujud perilaku dan tutur kata. Bila manusia baik agamanya, maka akan baik pula perilaku dan tutur katanya. Itulah yang disebut akhlak."

"Kalau agama itu sama dengan akhlak, berarti membela agama itu maksudnya membela akhlak ya?"

"Betul, Nak! Membela agama itu artinya berusaha menjadi manusia yang berakhlak mulia. Agama itu ajaran kebaikan. Jadi membela agama itu artinya berusaha menjadi orang baik. Agama itu ajaran cinta. Jadi membela agama itu artinya berusaha menjadi seorang pecinta. Oleh karena itu kehidupan orang yang beragama akan penuh dengan cinta!"

Ulat muda sambil mengangguk-angguk mencoba mengingat sesuatu. Kemudian pertanyaan kembali terlontar dari mulutnya yang mungil, "Tapi, Bun, kenapa manusia yang berteriak-teriak membela agama itu mengeluarkan tutur kata yang buruk seperti mencaci-maki, menghina, menghujat, memaksakan kehendak dan melancarkan ancaman-ancaman?"

"Berarti mereka tidak membela agama, Nak?" jawab bunda kupu-kupu lirih.

Sambil masih mengunyah daun muda, si bocah ulat kembali bertanya, "Jadi apa sebetulnya yang mereka bela?"

Di pucuk pohon cinta, ulat muda termangu menunggu bunda kupu-kupu yang tiba-tiba membisu.

"Apa bunda?"

"Hawa nafsu!"

Surya telah memancarkan sinar cerah sempurna, saat ulat muda mengajukan pertanyaan, "Bunda, bagaimana cara kita membela Tuhan?"

Saat itu ada sekumpulan anak-anak yang melintas di dekat mereka. Sambil tersenyum manis kepada anaknya, kupu-kupu itu lalu terbang mengitari anak-anak itu beberapa kali.

Segera seorang anak berseru, "Lihat..! subhanallah, kupu-kupu yang cantik..!"

"Iya benar!" sahut temannya riang, "Masyaallah..!"

"Alhamdulillah! Indah sekali warnanya," timpal yang lain.

"Maha karya Allah yang luar biasa," imbuh yang lain lagi tak mau kalah, "Allahu akbar!"

Tampak kegembiraan di wajah mereka yang sulit untuk disembunyikan.

Bunda kupu-kupu lalu kembali hinggap di pucuk pohon cinta di mana anaknya sedang menunggu. "Lihat, Nak," tutur Bunda, "Bagaimana reaksi anak-anak itu setelah melihat bunda? Mereka panjatkan puja-puji ke hadirat Tuhan. Itulah cara kita membela Tuhan. Bagi manusia, menyampaikan kabar gembira dari langit tentang kasih sayangNya, tentang kebesaran dan kuasaNya, tentang karunia dan anugerahNya, melalui perilaku dan tutur kata yang indah, itu sudah merupakan cara kita membela Tuhan."

Rinai gerimis yang sempat turun telah usai, menyisakan butiran air yang berayun di pucuk-pucuk dedaunan.

"Bun," ucap bocah ulat kepada bunda kupu-kupu, "Apa sebenarnya misi utama diutusnya Sang Nabi?"

"Sang Nabi yang mulia diutus untuk menyempurnakan akhlak, Nak," jawab bunda lembut.

"Bagaimana akhlak yang mulia itu, Bun?"

"Nabi berkata jika kamu mencintai orang lain seperti kamu mencintai dirimu sendiri. Nak, itulah yang menjadikan beliau sebagai rahmat bagi alam semesta!"

"Dan tidaklah Kami (Allah) mengutus engkau (Muhammad), kecuali menjadi rahmat bagi alam semesta" (QS. Al Anbiya 107)

Seraut wajah yang dahaga akan pengetahuan itu kembali bertanya, "Bun, kenapa sepertinya menyerukan kepada orang lain untuk beriman lebih penting dibanding memberikan cinta, sehingga ketika seruan itu diabaikan, mereka lantas membalas dengan membenci dan mencaci-maki?"

Dengan sabar bunda berujar, "Hampir semua ayat yang menyebut tentang iman, selalu diikuti perintah berbuat baik. Islam menegaskan tidak akan mengakui keimanan seseorang jika tidak berbuat baik bagi sesamanya. Itulah kenapa orang yang dianggap paling baik adalah orang yang paling banyak bermanfaat bagi sesamanya!"

"Jadi, mencintai orang lain harus didahulukan ketimbang menyerukan kepada orang agar beriman ya, Bun?"

"Anak pintar. Betul sekali, Sayang!"

"Kalau seandainya Tuhanmu menghendaki, tentu berimanlah semua manusia di bumi. Maka apakah engkau (Muhammad) akan memaksa manusia hingga mereka menjadi beriman semua?" (QS. Yunus 99)

"Menunjukan pada dunia akan kemuliaan ajaran Islam, akan membuat manusia tertarik kepada Islam," pungkas bunda.

Di pucuk pohon cinta, ulat muda dan bunda kupu-kupu menatap senja, yang merayap meninggalkan mayapada.

Sinar bulan berselancar di sela dedaunan. Malam hadir sempurna. Bunda kupu-kupu sedang menyampaikan pelajaran terakhir kepada putra tercinta.

"Nak, sekarang kamu sudah menjadi ulat dewasa. Persiapkan mental untuk menjalani tahap puasa. Kamu cari ranting yang kuat utnuk tempat bertapa. Berubah menjadi kepompong."

Dengan wajah gelisah ulat berkata, "Bun, apa boleh aku tidak bertapa? Aku takut!"

"Kita harus menerima proses metamorfosis ini dengan ikhlas, Nak. Bukankah kamu ingin menjadi kupu-kupu seperti bunda? Bisa terbang menjelajahi taman-taman yang indah untuk mencari sari bunga."

"Iya, tapi kenapa harus berpuasa?" keluh ulat muda.

"Karena dalam puasa kita belajar mengendalikan indera, terutama lidah, mata dan telingah. Puasa itu belajar menjaga godaan mulut dari ucapan buruk, berhenti melihat dan menghindari mendengar hal-hal yang bisa mengotori jiwa."

"Di dalam kepompong kita belajar mengelola pernapasan. Ada rahasia di balik pernapasan. Ketika aliran napas tidak beraturan, pikiran menjadi mudah terombang-ambing. Ketika aliran napas stabil dan teratur, pikiran menjadi tenang dan jernih."

"Di tahap tafakur ini, kita akan lebih banyak dialog dengan diri sendiri. Apapun yang muncul dalam pikiran kita seperti marah, benci, takut, senang, susah, perlahan akan netral. Sehingga ada ruang kesadaran yang menyatu dengan alam, kemudian bersatu dengan Tuhan, di mana kedamaian bersemayam."

"Setelah itu, kamu akan menerima pencerahan, di mana tercapainya kesadaran tentang diri yang sejati!" pungkas bunda tersenyum simpul.

"Bun, saya siap menjalani semua itu!" seru ulat muda antusias. Jangan sampai bunda melihat aku takut, batinnya.

"Bagus, nak!" bunda tersenyum sambil menahan air matanya keluar. Dia tidak boleh melihat aku menangis, batinnya berusaha tegar. Terhembus nafas penuh kelegaan.
 
Butuh waktu yang cukup panjang bagi makhluk kecil itu untuk mencapainya. Setelah 17 hari 17 jam 17 menit, dari kepompong itu akhirnya keeluar pangeran kupu-kupu yang tampan dan gagah perkasa.

Puasa yang benar-benar berkualitas, mulai dari mengasingkan diri (uzlah), membungkus badannya dengan kepompong, membuatnya bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, melainkan juga menjaga semua indra dan anggota tubuh lainnya dari perbuatan tercela.

Ulat yang dulu dianggap binatang menjijikan dan perusak tanaman, sebab hampir sepanjang waktunya dihabiskan untuk makan, akan tetapi setelah berpuasa ia berubah menjadi kupu-kupu, binatang yang indah mempesona.

Puasa telah mengubahnya menjadi makhluk yang sama sekali berbeda. Makanan yang sebelumnya dedaunan, kini menghisap sari bunga. Jika sebelumnya bergerak dengan cara merayap, kini berubah dengan cara terbang. Karakter yang sebelumnya merusak pepohonan, kini membantu penyerbukan demi kelangsungan kehidupan pepohonan. Demikianlah sesungguhnya hakikat dari puasa, yakni bermetamorfosa.

Di pucuk pohon cinta, Sang Pangeran mengepakan sayap sambil menatap angkasa. Mentari menyambut dengan semburat cahaya yang ceria, peragakan pemandangan hebat ke penjuru jagad.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun