Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud

Pemahaman Tekstual vs Konseptual

19 Maret 2024   20:46 Diperbarui: 26 Juni 2024   18:41 475 28
Oleh: Tri Handoyo

Mengapa banyak orang membaca kitab Al Quran yang sama, tetapi belum tentu merasakan atau mendapatkan pencerahan yang sama. Terutama dalam hal pengalaman keruhanian.

Faktanya, sebagian besar dari mereka tidak mengalami perubahan apapun, entah pada kecerdasan ruhaninya, kecerdasan spiritualnya, kecerdasan moralnya, atau kecerdasan sosialnya. Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena mereka membaca Al Quran tanpa menyertakan keterlibatan akal budi.

Itu yang disebut tekstual, yakni memahami teks sesuai dengan normatifitas (book oriented). Adapun lawannya adalah kontekstual, yakni memahami bukan berhenti pada teks, melainkan juga secara implisit dan eksplisit di mana makna kontekstual itu melekat.

Banyak umat yang berhenti pada keyakinan bahwa membacanya saja akan memperoleh pahala. Sudah cukup puas di situ. Sehingga tidak merasa perlu bersusah payah untuk memahami maknanya jauh lebih dalam. Padahal hanya ketika melibatkan akal pikiran, secara kontekstual, itulah yang akan bisa memahami secara utuh, sehingga mampu mengalami perubahan-perubahan dalam diri mereka. Seperti menjadi lebih damai, hidup menjadi lebih bermakna, dan akan lebih memiliki jiwa sosial serta rasa perikemanusiaan.

Al-Qur'an merupakan salah satu kitab yang mengandung unsur sastra sangat tinggi. Memiliki keindahan dan kekuatan bahasa yang mengagumkan. Yang lebih menarik, sistem bunyi dalam ayat-ayatnya juga begitu teliti dan presisi.

Beberapa ulama klasik, semisal Abdullah Ibn Abbas, Muqotil Ibn Sulaiman, Ibn Qutaybah, dan lain-lainnya, meneliti, mengkaji, menganalisa dan memperlakukan Al-Qur'an sebagai kitab sastra terbesar sepanjang sejarah.

Di abad modern muncul generasi Thaha Husein, Amin Al-Khuli, 'Aisyah Abdurrahman, dan masih banyak lagi lainnya. Mereka menafsirkan Al-Qur'an dalam perspektif bahasa, seni dan sastra Arab, karena banyak pengertian kata dan kalimat Al-Qur'an yang hanya bisa dipahami dengan baik apabila merujuk pada khazanah puisi-puisi Arab Pra-Islam.

Puisi-puisi Pra-Islam disebut sebagai Diwanul Arab, yaitu lumbung bahasa yang menentukan kejelasan dan pemahaman ayat-ayat Al-Qur'an. Kemukjizatan Al-Qur'an yang berpengaruh ke dalam jiwa manusia juga bekerja melalui ranah bahasa dan sastra Arab.

Al-Qur'an itu mengandung unsur estetika, bertabur kiasan dan majaz, serta banyak ayat-ayat yang bersajak. Itulah kenapa mahir Bahasa Arab dan menguasai tata bahasanya saja belum cukup untuk bisa memahami dengan baik dan benar.

Umat yang pondasi pemahamannya tekstual, akan berpijak pada dogma dan mitos. Berbudayakan ketaatan buta (taklid) yang cenderung emosional. Sementara umat yang menjadikan akal (konseptual) sebagai pondasi akan memunculkan impian besar membangun peradaban luhur, peradaban yang berpijak pada ilmu pengetahuan

Yang bermodal emosional hanya menjadikan ilmu fikih sebagai sentra ajarannya. Melulu berkutat pada soal halal haram. Sementara yang bermodal akal, akan mampu memahami inti ajarannya secara menyeluruh dan utuh dari semua aspek dimensi, mulai dari ilmu aqidah, fiqih, tauhid, kalam, mantiq, tasawuf, berikut hikmahnya.

Otoritas tertinggi bagi umat emosional, di mana seluruh penafsiran hanya bermuara pada pemegang tampuk institusi agama. Terjadi institusionalisasi agama yang tolok ukur kebenaran adalah kebenaran versi junjungannya.

Sedangkan otoritas tertinggi bagi yang berakal terletak pada kematangan pribadi masing-masing. Penafsiran atas teks Al-Qur'an dan hadist terbuka lebar dan tidak memutlakkan mana yang lebih benar dan menganggap lainnya salah dan sesat.

Kecenderungan pemuka agama, baik yang literal-tradisional maupun yang modern-skriptural, akan sangat berkaitan erat dengan implementasi beragamanya.

Tidak ada bahasa, baik verbal maupun non verbal, yang tidak memiliki keterbatasan. Tubuh membelenggu, gerak memenjarakan dan pandang mata mengkerdilkan. Perkataan mengandung multitafsir dari perasaan, pikiran dan kehendak. Karena multitafsir inilah, bahasa bisa mereduksi alam psikologis.

Carl Gustav Jung berpendapat bahwa realitas, rasionalitas dan kebenaran pengalaman manusia menempati ruang yang teramat luas, dengan demikian seringkali tak terjangkau oleh kerangka pikiran yang dibangun atau oleh ilmu-ilmu yang telah ada sekalipun. Mengapa begitu? Karena metode ilmiah yang dianggap satu-satunya kebenaran telah mengurangi nilai manusia dan pengalamannya.

Erich Fromm berujar bahwa kata-kata tidaklah cukup untuk mendiskripsikan pengalaman manusiawi. Kata-kata bisa menggelapkan, memotong dan membunuh pengalaman.

Itulah kenapa cara beragama yang tekstual, tanpa tersentuh oleh rasa, karsa dan daya cipta, hanya akan melahirkan kesalehan tak bermakna, ketaatan tak bernalar, dan keimanan tak berintuisi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun