Oleh: Tri Handoyo
Di dalam kisah Mahabarata, ada salah seorang tokoh yang menarik, karena sangat cerewet, congkak, culas, keras kepala dan cenderung jahat. Akan tetapi, ia memiliki kecerdasan dan kesaktian, serta sangat mahir strategi perang.
Tokoh yang dimaksud itu adalah Durna, yang bernama asli Bambang Kumbayana, putra Resi Baratmadya dari Hargajembangan.
Di masa kecil hingga remaja, Durna menjalani hidup penuh kemiskinan dan penderitaan. Tapi ia tidak menyerah kepada nasib. Ia bertekad untuk belajar dan bekerja keras demi merubahnya.
Beruntung, ia punya kesempatan emas untuk belajar ilmu perang kepada pangeran Drupada, dari Kerajaan Panchala.
Drupada sangat terpesona dengan kecerdasan Durna, sehingga mereka berdua pun menjadi sahabat karib. Drupada bahkan berjanji akan memberikan setengah kerajaannya kepada Durna apabila kelak ia naik tahta menggantikan ayahnya sebagai Raja Panchala. Janji yang ternyata tidak pernah ditepati.
Ketika berusia cukup matang, Durna kemudian menjadi seorang resi atau begawan, seorang yang berjiwa patriot gagah perkasa, dan sakti mandraguna. Oleh karena itu ia mendapat kepercayaan keluarga Bharata, bangsawan kerajaan Hastinapura, untuk menjadi guru bagi anak-anak Pandawa dan Kurawa.
Seiring berjalannya waktu, para pangeran yang menjadi murid-muridnya telah tumbuh menjadi ksatria-ksatria tangguh. Sampai kemudiqn terjadilah konflik hebat antara Pandawa dan Kurawa, lantaran berebut mahkota kerajaan.
Suatu ketika, Prabu Duryodana mengutus Patih Sengkuni untuk pergi ke Padepokan Sokalima, puri kediaman Resi Durna. Duryudana ingin tahu apakah Durna berpihak kepada Kurawa atau kepada Pandawa.
Durna bimbang mendengar pertanyaan yang tak pernah terduga itu, sehingga ia minta waktu untuk merenung.
Sangkuni menangkap kecurigaan bahwa Durna akan berpihak kepada Pandawa, maka ia segera melancarkan taktik liciknya.
"Bila anda tidak berpihak kepada Kurawa," papar Sangkuni, "Prabu Duryodana pasti akan mencopot jabatan anda, kemudian menarik semua fasilitas yang selama ini anda nikmati. Malahan bisa juga menjatuhi anda dengan hukuman berat!"
Durna tercengang mendengar ancaman itu. Selama ini ia memang telah mendapat kedudukan dan kemakmuran atas kebaikan hati Duryodana. Aswatama, anaknya pun diangkat sebagai anggota keluarga Kurawa, sehingga banyak memperoleh fasilitas pula.
"Dan ingat!" sambung Sangkuni, "Bila anda berpihak kepada Kurawa, maka bonus besar pasti akan menanti!"
Tanpa berpikir panjang lagi, Durna yang memang gila hormat dan haus kekuasaan itu pun menyatakan bersedia mendukung Kurawa.
Seseorang bisa lupa diri jika sudah menyangkut kepentingan akan iming-iming harta dan jabatan tinggi.
Resi Durna yang digambarkan bermata kriyipan (tajam licik), berhidung mungkal gerang seperti batu asah, bermulut gusen atau ketika tersenyum kelihatan gusinya, berdagu lancip, memang hidup dengan dada dipenuhi dendam kesumat akan masa lalunya.
Ia kemudian mendapatkan ide untuk melemahkan Pandawa. Bima, sebagai kekuatan utama Pandawa harus dimusnakan terlebih dahulu. Oleh karena itu Durna berpura-pura memberi tugas sebagai ilmu pamungkas kepada Bima, yang sebetulnya itu adalah upaya mengirim Bima menemui ajalnya.
Dalam perang Bharatayuda. Resi Durna diangkat menjadi Senapati Agung Kurawa, menggantikan kedudukan Bisma Dewabrata yang telah gugur.
Dengan jabatan tersebut Durna sangat disegani dan lebih dihormati ketimbang Sangkuni. Martabatnya sebagai panglima perang hanya setingkat di bawah Bisma.
Durna mempunyai dua pusaka sakti berwujud keris bernama Cundamanik dan yang sudah ia hadiahkan kepada Arjuna karena memenangkan sayembara, berupa panah Sangkali.
Sebagai seorang resi, Durna gagal menolak godaan akan kemewahan dan kenikmatan duniawi. Di dalam perang Bharatayudha ia menghindari berhadapan dengan Pandawa, sebab hati kecilnya tahu bahwa murid-murid kesayangannya itulah pihak yang benar.
Krisna yang paham betul akan kekuatan sekaligus kelemahan Durna, memerintahkan Bima untuk melancarkan sebuah taktik, yakni membunuh gajah yang bernama Tama.
Setelah gajah itu mati, pasukan Pandawa diperintahkan untuk secara bersautan meneriakan bahwa Aswatama sudah mati.
Rasa cinta yang sangat besar kepada anak semata wayangnya yang bernama Aswatama itulah titik kelemahan Durna.
Di tengah hiruk-pikuk suasana perang, Begawan Durna mengira bahwa yang mati adalah Aswatama putranya. Hal tersebut membuat ia terpukul dan kehilangan semangat tempur.
Durna mencari Yudistira untuk memastikan kebenaran berita itu, karena selama hidupnya Yudistira dikenal tidak pernah berbohong.
Sebelumnya Krisna sudah membaca reaksi Durna, sehingga ia lalu menganjurkan Yudistira agar mau berbohong sekali saja demi mencegah jatuhnya banyak korban apabila Durna nanti murka.
Yudistira sebetulnya menolak melakukan itu, tapi terlanjur Begawan Durna sudah berada tepat di depannya.
Tanya Begawan Durna cemas, "Apa betul Aswatama telah mati?"
Yudistira menjawab, "Gajah Tama yang mati!" Kata Gajah diucapkan lirih.
Begawan Durna menangkap bahwa berita itu betul. Ia pun langsung mengeluarkan senjata Cundamanik andalannya, dan berniat menghancurkan seluruh prajurit Pandawa.
Namun di saat itu Krisna menghentikan perputaran dunia, dan menasehati Durna. "Perang besar Bharata Yuda ini adalah bagian dari kesalahan anda juga Resi Durna. Anda seharusnya mampu mencegah, tapi anda malah membela keangkaramurkaan dengan membabi buta."
Durna tertegun mendengar itu.
Sambung Krisna, "Keserakahan, keangkuhan, ambisi, gila hormat, telah mengalahkan keutamaan jiwa anda. Lalu memilih keduniawian yang fana, membutakan terhadap yang baka, tanpa memikirkan kepentingan masyarakat luas!"
Begawan Durna menyadari atas dosa dan kesalahannya. Ia mengurungkan menggunakan senjatanya. Ia meminta maaf kepada Krisna dan bersiap untuk gugur di medan laga sebagai tebusan atas dosa-dosanya.
Krisna dengan bijaksana memberi maaf kepada Durna, dan Ia mengembalikan perputaran dunia bergerak kembali.
Pada saat bersamaan, Drestajumna, anak Prabu Drupada mengayunkan pedang memenggal kepala Durna, sebagai balas dendam atas kematian ayahnya.
Durna tewas. Sebagai begawan yang sangat brillian, gara-gara gila hormat, telah merubah karakternya menjadi politisi jahat. Dalam meraih tujuan, ia menghalalkan segala cara, tidak segan-segan berlaku curang, menjadi irrasional, sangat subyektif, dan sanggup melanggar prinsip-prinsip yang pernah diajarkannya sendiri.
Kelak di sepanjang jaman, di samping Sengkuni, Durna juga dikenang sebagai sosok yang jahat dan berbahaya bagi kehidupan umat manusia.