Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Merdeka Itu Mahal, tapi Damai Tak Ternilai

15 Maret 2024   11:43 Diperbarui: 18 Juni 2024   21:18 402 5

Oleh: Tri Handoyo

Kemerdekaan itu sesuatu yang mahal, tapi damai itu tak ternilai. Banyak negara yang mampu membeli kemerdekaan, tapi tidak mampu membeli kedamaian.
 
Indonesia sebagai negara yang jumlah penduduk muslimnya terbesar, sedangkan Islam jika dilihat dari asal katanya berarti damai, maka sudah semestinya Indonesia menjadi negara paling damai di dunia. Islam adalah agama yang penuh perdamaian, maka setiap muslim sejati wajib menjaga perdamaian. Jika seorang muslim menjalankan ajaran Islam dengan baik, maka Allah akan senantiasa memeliharanya, menyelamatkannya dan memberinya kedamaian, di dunia, tidak harus nunggu di akhirat.

Ironisnya, dewasa ini ajaran Islam tidak lagi menjadi inspirasi bagi perdamaian di dunia. Di berbagai negara di mana umat Islam menjadi mayoritas, justru kekacauan dan kerusuhan terjadi. Peperangan berkecamuk demi memperebutkan kekuasaan. Hal ini menyebabkan kemiskinan dan pengungsian merebak di mana-mana. Kebodohan merajalela. Umat Islam terpuruk. Keagungan nilai-nilai Islam kehilangan pengaruhnya di berbagai percaturan dunia modern.

Terorisme dengan mengatasnamakan Islam masih terus beraksi di mana-mana, bahkan melancarkan aksinya di negara Islam atau negara dengan rakyat mayoritas beragama Islam. Sungguh menyedihkan melihat fakta tersebut.

Nikmat kemerdekaan sebagai berkah dan rahmat Allah SWT yang dilimpahkan kepada bangsa Indonesia ini mestinya patut disyukuri, namun ada sebagian kecil umat Islam yang merasa tidak puas, bahkan mengingkari nikmat tersebut. Mereka merasa bahwa apa yang diperoleh oleh umat Islam di Indonesia tidak sesuai dengan harapan dan pandangan keagamaan mereka.

Umat Islam seharusnya sudi belajar dari sejarah, agar tidak terus menerus terjebak dalam kesalahan yang sama dan dengan bebalnya mengira mereka sedang memperjuangkan agama mereka. Padahal mereka sedang tertipu oleh agenda politik kekuasaan.

Sungguh menyedihkan...! Mudah terkecoh dengan segala atribut yang berbau agama. Padahal Ibnu Rusd telah mengingatkan berabad-abad yang lalu, "Jika ingin menguasai orang bodoh, bungkuslah kebatilan dengan agama."

Mari kita tengok negara India, yang setelah berhasil mendapatkan kemerdekaan, kemudian dilanda perang saudara yang cukup melelahkan. Di bawah Ali Jinnah, Pakistan mengambil jalan sendiri memisahkan diri dari India dan membentuk negara sendiri yang berdasar pada agama Islam. Pakistan memerdekakan diri karena tidak ingin berada di bawah pemerintahan agama Hindu. Mungkin mereka mengira bahwa jika mereka membentuk negara Islam, dengan hukum islam yang kaffah, maka kemajuan, kemakmuran, kejayaan, kedamaian dan ketentraman, secara otomatis akan teranugerahkan kepada negara mereka.

Apakah setelah menjadi negara Islam Pakistan berubah menjadi negara baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur? Tidak! Apakah setelah menggunakan hukum Islam maka umat Islam di negara tersebut berhenti bertikai dan hidup damai? Tidak! Pakistan mengalami perang saudara panjang dan butuh banyak pertumpahan darah sebelum akhirnya pecah. Pakistan Timur memerdekakan diri dan menjadi negara Bangladesh. Jadi, sekali pun sudah menjadi negara Islam dan dengan menggunakan hukum Islam, konflik dan perpecahan tetap tidak terhindarkan. Sampai sekarang Pakistan selain berseteru dengan India, juga berseteru dengan Afghanistan yang juga sesama negara Islam.

Bagaimana dengan Bangladesh? Setelah memisahkan diri dari Pakistan, Bangladesh juga mendirikan negara Islam. Hingga saat ini, tercatat sekitar 150 juta orang penduduknya yang beragama Islam, menjadikan Bangladesh sebagai populasi Muslim terbesar keempat di dunia.  Namun negara ini juga dinaungi mendung konflik. Sebuah kudeta yang dipimpin oleh perwira militer muda, Sheikh Mujibur Rahman, menyingkirkan dan membantai dengan tangan dingin Perdana Menteri Pertama Bangladesh berserta semua keluarganya. Kudeta ini mengantar periode pemerintahan militer yang otoriter dan berlangsung selama 15 tahun. Bangladesh adalah sebuah negara berdasarkan hukum Islam tapi ironisnya menjadi salah satu negara pusat perdagangan manusia di dunia.

Mari kita tengok negara Afganistan. Serangkaian kudeta di tahun 1970an, menghancurkan sebagian besar Afganistan. Setelah bebas dari cengkeraman pasukan Soviet, negara ini menjadi negara Islam. Sebagian besar wilayahnya telah dikuasai oleh kelompok Taliban, yang memerintah negara itu selama hampir lima tahun sebagai rezim totaliter. Taliban berusaha menerapkan interpretasi hukum Syariah Islam yang kaffah dan ketat. Apakah dengan menerapkan hukum Islam lantas membuat negara itu baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur? Tidak! Afghanistan telah menjadi tempat bersarang bagi individu dan organisasi yang terlibat terorisme, terutama jaringan Al-Qaeda.

Sampai sekarang Afghanistan masih dilanda konflik paling rumit. Kemiskinan, ketiadaan jaminan kesehatan dan perang etnis, membuat Afghanistan menjadi negara paling tidak bersahabat bagi kaum wanita dan anak-anak di dunia.

Pada pertengahan tahun 2012, beberapa faksi di Suriah gegap gempita angkat senjata untuk menggulingkan Presiden Assad. Mereka berdalih bahwa Assad itu Syiah yang tengah memusuhi dan membantai warga  Sunni.

Hoax tersebut disebarkan dengan  gencar dan terus-menerus, hingga tembus ke mancanegara. Tidak sedikit yang akhirnya meyakini itu sebagai suatu realitas. Fakta-fakta framing pun diproduksi untuk pembenaran keyakinan itu.

Beberapa faksi yang bersatu memberontak kepada pemerintah yang sah itu adalah Ikhwanul Muslimin (IM) Suriah, Hizbut Tahrir Suriah, dan Al Qaida Suriah (Jabhah Al Nusra). Di tahun berikutnya muncul ISIS, yang akar ideologinya tidak jauh beda dengan Al Qaida, ikut bergabung menggempur Pemerintahan Assad.

IM mendapatkan dukungan dana dari banyak negara, antara lain Turki, Qatar, AS, Prancis, Inggris, dll. Turki menjadi pilihan untuk menjadi markas mereka, dan membentuk "Free Syrian Army" (FSA), yang terdiri dari banyak milisi juga, salah satunya yang terkenal yaitu "Jaysh Al Islam".  

Saudi Arabia juga terlibat ikut mendanai proyek penggulingan Assad, tapi karena Saudi sebetulnya anti IM, maka uangnya mengalir ke faksi Al Qaida. Oleh karena itu Qatar dan Saudi sempat putus hubungan diplomatik gara-gara beda jagoan.

Pada tahun 2013, Al Nusra pecah. Sebagian gabung dengan ISIS. Al Nusra ysng oleh PBB dinyatakan sebagai organisasi teroris itu kemudian ganti nama menjadi "Haiat Tahrir Al Syam" (HTS). Bermarkas di Idlib. HTS berkolaborasi dengan milisi-milisi IM, yang sama-sama bercokol di wilayah tersebut.

Di sisi lain, Pemerintah Suriah mendapat bantuan dari Rusia untuk membasmi para teroris di Idlib, yang hingga sekarang masih belum berhasil mengambil alih Provinsi tersebut dari tangan teroris.

Yang lumayan menggelikan, para teroris yang mengaku mujahidin itu selalu mengklaim pro kemerdekaan Palestina, tapi saat Gaza digempur Israel, mereka justru meningkatkan intensitas serangan bom ke warga Suriah sendiri.

Sebetulnya ini bukan hal aneh, sebab ISIS pun pernah minta maaf ke Israel lantaran bomnya nyasar ke wilayah tersebut. Mengaku pejuang khilafah tapi menyerang sesama umat Islam dan tunduk kepada Yahudi. Unik dan menarik.

Kenapa para teroris berkedok jihadis di Idlib itu belakangan kok aktif melancarkan serangan ke Suriah, tujuannya yakni agar pemerintah Assad tidak bisa memberikan bantuan ke Palestina. Suriah selama ini kan pendukung kemerdekaan Palestina yang konsisten.

Petinggi Hamas, Ismail Haniyah dan Khaled Mash'al, juga pernah melakukan kesalahan fatal, yakni turut serta membantu penggulingan Assad.

Presiden Assad masih mampu berdiri kokoh, bahkan berhasil menumpas para pemberontak, sehingga membuat para petinggi Hamas mengungsi ke Qatar. Qatar merupakan bohir penting proyek penggulingan Assad.

Hamas sbetulnya juga terdiri dari beberapa faksi. Ada faksi yang menentang keputusan Haniyeh & Mash'al, dia adalah Yahya Sinwar. Apalagi, setelah Iran menghentikan dukungannya ke Palestina gara-gara ksalahan Hamas tersebut. Padahal Iran yang selama ini mendukung Palestina.

Akhirnya Hamas pun berhenti ikut campur tangan urusan Suriah. Tahun 2017, terjadi perubahan politik, Hamas memutuskan tidak lagi berideologi IM. Ini tertuang dalam Piagam Hamas 2017. Kemudian berupaya memperbaiki hubungan dengan Iran.

Tahun 2022, Yahya Sinwar menyatakan bahwa Hamas akan memperkuat hubungan dengan pejuang muqawwamah lain (yang sama-sama melawan AS dan Israel), yaitu Hez Lebanon, Irak, Yaman, dan berikutnya akan memperbaiki hubungan dengan Suriah.

Bagi sebagian orang, perang adalah sebuah proyek. Rakyat sipil, anak-anak, wanita dan lansia jadi tumbal yang manjur untuk dieksploitasi demi mencari simpati dan materi. Urusan kemerdekaan Palestina itu urutan belakangan.

Semoga kita berkenan belajar dari sejarah, sehingga apa yang telah terjadi di berbagai belahan dunia, seperti di Libya, Somalia, Sudan, Afganistan, Iraq, Syiria, tidak terjadi di Nusantara tercinta ini. Kemerdekaan bisa direbut, tapi damai yang tak ternilai itu belum tentu bisa diraih.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun