Oleh: Tri Handoyo
Diikuti oleh anak-anaknya, Semar berniat istirahat sejenak, berteduh di bawah salah satu pohon rindang di tepian danau yang jernih. Di tengah hamparan hijau.
Setelah menarik nafas panjang, Gareng memantik perbincangan. "Meski ada banyak perbedaan perspektif dalam melihat suatu persoalan, tapi para ahli kebijaksanaan sepakat bahwa dalam sebuah kompetisi, kalah menang itu hal biasa! Bagaimana pendapat Romo?"
"Betul!" jawab Semar, "Apalagi di dalam sebuah  kompetisi yang sesungguhnya adalah kebutuhan kita semua untuk tetap menjaga kesatuan dan persatuan bangsa!"
Angin yang berhembus tenang, membelai pucuk ilalang. Membuat mereka ikuti irama alam, bergoyang riang.
"Tapi Romo," celetuk Petruk, "Realitas di lapangan ada kok yang hanya berbicara soal kepentingan sempit kelompoknya, yang diprioritaskan hanyalah soal kalah menang!"
"Itu yang membuat sebagian orang marah-marah, lantas lebih memilih sibuk mencari tungau di seberang danau, tapi kerbau di pelupuk mata ia silau!"
Bagong manggut-manggut dan menyahut, "Maksudnya bagaimana Romo?"
"Maksudnya sibuk mencari kesalahan orang lain. Misal tuduhan pihak lain curang, padahal masing-masing pihak sebetulnya melakukan hal yang sama!"
Semar, Gareng, Petruk dan Bagong yang dikenal dengan sebutan Punakawan itu, bukanlah jenis manusia yang suka menghambakan diri pada gemerlap gumebyarnya dunia, tidak mau merunduk pada berbagai gelar-gelar besar yang menghiasi dunia citra.
Apalagi kalau melihat penampilan mereka, sangat jauh dari cita rasa kaum elit yang menor dan glamor. Kendati demikian, keempat tokoh itu tergolong orang-orang yang sakti dan memiliki kawruh kang linuwih (memiliki ilmu melebihi orang kebanyakan). Namun, mereka tidak kemlinthi, tidak mentang-mentang, bahkan memilih posisi menjadi para abdi.
Mereka sejatinya adalah guru yang melayani. Tidak sekadar bisa 'muruk' atau 'mulang', melainkan harus bisa 'momong'. Tidak sekadar bisa 'momong' tetapi juga bisa 'nuntun', itulah kenapa di dalam setiap tindakan yang mereka perankan selalu terdapat kandungan makna keteladanan.
"Seharusnya kan ada mekanisme untuk mencari jalan keadilan," sambung Semar, "Jadi jangan malah menyebarkan hasutan kepada rakyat!"
"Iya betul, Romo," sahut Gareng, "Padahal, siapapun yang menang, semuanya adalah sesama anak bangsa!"
Ada yang melihat kekalahan itu adalah tantangan, dan sebuah tahap untuk melangkah maju. Sementara di sisi lain, kekalahan dipandang sebagai kegagalan, yang diikuti rasa penuh penyesalan dan keputusasaan.
Para kopetitor itu seharusnya adalah sosok-sosok yang berjiwa ksatria. Siap kalah dan siap menang. Kalah tidak putus asa dan menang tidak jumawa.
Sementara kalau pecundang itu pasti akan memilih sibuk mencari kambing hitam. Kenapa, karena ia merasa sebagai orang yang tidak pantas kalah. Ia merasa dirinya adalah orang unggul yang wajib menang. Pecundang itu memanv seringkali satu paket dengan sikap arogan.
Itulah dialog para Punakawan di hari yang penuh kedamaian. Semar adalah sosok yang menjadi simbol karsa, yang artinya kehendak atau niat. Gareng sebagai simbol cipta, yaitu nalar dan logika. Petruk melambangkan perasaan dan empati. Sementara Bagong, yang paling junior, melambangkan karya, yaitu usaha dan tindakan.