Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Dewa Terbijak pun Terpaksa Berpihak

13 Maret 2024   20:17 Diperbarui: 27 Juni 2024   08:12 383 6

Oleh: Tri Handoyo

Dalam sebuah kisah epik India kuno, Mahabharata, dianggap sebagai karya sastra terpanjang serta tertua di dunia. Penulisnya bernama Vyasa. Nama lengkapnya Krishna Dvaipayana Vyasa.

Vyasa yang juga dikenal sebagai seorang penyair dan filsuf besar itu memasukan dirinya dalam cerita sebagai Krishna, sosok yang berperan paling penting.

Konflik utama Mahabharata adalah perebutan kekuasaan. Ini merupakan cerminan dinamika politik yang sering terjadi dalam sejarah kehidupan umat manusia. Perebutan kekuasaan sering mewarnai jatuh bangunnya, bahkan bubarnya sebuah kerajaan.

Para pemimpin kedua belah pihak yang bertikai, Pandawa dan Kurawa, menggunakan berbagai strategi politik untuk mencapai tujuan. Namun yang paling menonjol adalah Sangkuni dari pihak Kurawa, yang kemahiran retorikanya tampak mewarnai berbagai persekongkolan, propaganda dan jebakan serta perangkap politik licik.

Sementara para tokoh seperti Krishna dan Vidura lebih mengedepankan diplomasi untuk menyelesaikan konflik dan mencegah meletusnya perang saudara.

Sri Krishna yang dikisahkan sebagai titisan Dewa Wisnu itu bertugas melindungi Pandawa yang didholimi pihak Kurawa. Sebagai duta Pandawa, ia datang ke Hastinapura, dalam rangka menawarkan solusi damai. Misi utamanya adalah mencegah jangan  sampai perang dasyat pecah. Perang hanya akan membuat rakyat semakin terperosok ke dalam jurang penderitaan. Yang kalah jadi abu, yang menang jadi arang.

Khrisna menyampaikan permintaan Pandawa agar diberi setengah wilayah kerajaan, andaikata tidak dikabulkan, bagaimanapun juga Pandawa tetap ingin menempuh jalan damai, yakni rela kendati hanya diberi lima wilayah pedesaan saja. Mereka memang berhak memperoleh itu. Lima desa yang diminta yaitu Awisthala, Wrekashala, Waranawata, Makandi, dan Awasana.

Sangkuni, sebagai penasehat utama Raja Duryodhana, otak jahat di balik semua rencana pengkhianatan dan intrik licik terhadap Pandawa, membisikan hasutan-hasutan.

Duryodhana akhirnya menolak mentah-mentah permintaan Krishna. Dia bahkan mengerahkan seluruh kekuatan Kurawa untuk mengepung dan membinasakan Krishna.

Dalam keadaan terdesak Krishna sempat melakukan tiwikrama, berubah menjadi raksasa dan hendak menghancurkan Kurawa. Batara Narada segera hadir mencegahnya, dan menjelaskan bahwa menurut Serat Jitabsara, perang Baratayuda memang harus terjadi. Itu sudah menjadi kehendak Sang Hyang Widhi.

Krishna sadar dan mengurungkan niat tersebut. Namun dengan kecerdikannya, ia berusaha tetap 'cawe-cawe'. Ia harus berpihak.

Sedkit demi sedikit ia mencoba melemahkan posisi Kurawa, misalnya yang paling mencolok adalah dengan membujuk Karna agar beralih memihak Pandawa. Alasannya karena Karna sesungguhnya adalah saudara tua Pandawa.

Karna yang memiliki pusaka paling dasyat itu menolak bujukan Krishna. Ia sadar bahwa dirinya telah banyak berhutang budi kepada Duryodhana, sehingga ia tetap memilih untuk berpihak kepada Kurawa, sekalipun ia tahu itu pihak yang salah. Betapa pun juga, ia adalah orang yang sangat paham akan kewajiban balas budi.

Sementara itu, Sangkuni sebagai sosok jenius dalam memanipulasi situasi dan juga ahli retorika, sebetulnya hanya memanfaatkan situasi demi kepentingan pribadi, yakni melampiaskan dendam kesumatnya kepada keluarga Kuru, terutama Bhisma dan Yudhishthira.
Sangkunilah yang berperan besar dalam menciptakan segala konflik dan kekacauan.

Kitab Mahabharata menceritakan bahwa Sri Krishna merupakan reinkarnasi dari Dewa Wisnu yang menyamar sebagai seorang penggembala yang mahir bermain seruling, tapi memiliki keluasan dan kedalaman ilmu, sehingga mampu untuk selalu bersikap arif bijaksana.

Di kemudian hari, sebagai pemimpin yang disegani dan dicintai oleh rakyatnya, tentu ia tidak bisa tinggal diam menyaksikan pertikaian antara Pandawa dan Kurawa.

Kehancuran sudah di depan mata. Dalam perang Baratayuda yang tak terhindarkan, Krishna berperan sebagai penasehat Pandawa. Di medan Khurukasetra, ia juga rela menjadi
kusir kereta perang Arjuna.

Krishna sebagai pelindung yang mengayomi tokoh-tokoh yang memiliki sifat baik, benar, adil, merasa wajib menjaga dan memelihara keseimbangan alam semesta.

Dalam sebuah kajian yang menggunakan prinsip hermeneutik, tokoh Krishna yang hidup berreinkarnasi di berbagai jaman tersebut dipandang sebagai simbol raja binathara (dewa raja) dan raja pinandhita (pendeta raja).

Krishna tampil sebagai raja binathara memiliki sifat benar, tegas dan adil. Di saat lain ia tampil sebagai raja pinandhita bersifat arif (wicaksana) dan mengayomi.

Sifat-sifat itulah yang mendorongnya untuk selalu berpihak kepada kebaikan. Ia tidak mungkin bersikap netral, yang itu berarti mengabaikan prinsip keadilan. Dewa terbijak pun akhirnya terpaksa berpihak.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun