Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Telaga Tak Bertepi

3 Mei 2012   09:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:47 155 0




Jangkrik sudah lama berhenti bernyanyi. Kian terasa sunyi.

Jendela terbuka lebar. Ada kawat kasa, nyamuk tak akan bisa masuk. Berhembus angin sejuk. Rumpun asoka di bawah jendela mulai mekar. Kuntumnya bak jarum dengan kepala yang memamerkan putik-putik cantik. Ibu sudah empat kali mengulang. "Rumpun itu lebih cocok kau tanam di sana, di dekat tembok. Di sini lebih cocok kau tanam yang wangi, semisal sedap malam."

Tapi aku menolak. Kukatakan bahwa aku suka asoka. Itu saja. Suka tidak mesti disertai alasan bukan? Maka diam itu menyimpulkan bagi ibu perkara wangi atau tidak cukup sampai di situ. Dibawa pergi, tidak usah diungkit lagi.

Puas menjenguk malam, aku berbalik. Tatapanku lantas tertuju pada penanggalan. Aku lantas menggeser meja belajar mendekat bingkai jendela. Memindahkan Kompas, Nh.Dini, John Grisham ke tempat tidur. Dari laci atas, aku menarik sebuah buku folio besar. Lalu membukanya tepat di pita pembatas.

Ada hela yang kulepas. Masih di halaman itu-itu juga. Punggung kuhempaskan ke sandaran kursi. Pena yang terjepit pada pita pembatas aku coret-coretkan di  baris bawah, ruang kosong tak berbaris. Satu, dua, tiga, sudah enam belas rumpun soka tergambar di sana.

***

"Beli BB napa, biar kita  gampang komunikasi?!" tanya Ganda di suatu sore.

Sore yang begitu indah. Langit memerah di ujungnya. Masing-masing kami tengah memangku sepiring rujak. Untuk yang satu ini tidak ada kamus sepiring berdua. Masing-masing satu sebab selera kami terhadap buah tak bisa sama. Untukku semangka dan nenas. Untuknya bengkoang, jambu, dan kedondong.

"Komunikasi apalagi? Hampir tiap hari jumpa, hampir tiap malam teleponan. Aku malas ngetik ah. Jempolku entar benjol." Aku mencoba bercanda. Bukan satu dua kali Ganda mengusulkan perkara yang terkadang membuatku geli ini.

"Citra, manfaat paling besar yah BBMan itu. Gratis, tiap hari kita bisa kirim-kirim pesan." Suaranya terdengar naik beberapa desibel. Aku menyapu-nyapukan potongan semangka terakhir ke bumbu rujak yang tersisa di piring.

"Kamu kira aku ga kesal apa sementara kita duduk di sini kamu terus-terusan megang BBmu itu? Yang di dekatmu terasa jauh. Eh yang jauh terasa dekat. Kamu jadi autis, sekarang diajak ngomong pada ga nyambung. Nyadar ga sih?" Suaraku naik melebihi desibel suara Ganda tadi.

"Ini nih yang ga aku suka dari kamu, ya udah kalau emang ga mau beli BB. Ga usah pake marah. Toh aku nyaranin itu buar kelancaran komunikasi kita, kan? Udah ah, cepatan makannya, biar pulang!"

"Pulanglah duluan. Lagi emosi kita. Biar masing-masing mendinginkan kepala." Aku menjawab tanpa mengalihkan pandang pada angsa-angsa yang tengah berenang. Anak-anak bermain bola di tepian danau. Bertelanjang dada mengejar dan menendang bola ke sana ke mari. Riuh rendah yang tak sampai ke telinga. Rasanya seperti menonton adegan di film bisu.

Tak kuduga, Ganda bangkit dari duduknya. Menarik kasar jaket yang tadi dihamparkan di rumpun soka. Kuntum-kuntumnya sampai ikut berjatuhan. Biasanya, dia tahu kami kaum perempuan ucapan bibirnya bertolak belakang dengan hati. Apalagi kalau marah-marahan begini. Kaum perempuan itu kan ingin dibujuk?

Aku berusaha keras tidak memedulikan kepergiannya. Tidak juga memalingkan wajah ketika deru motor meraung-raung meninggalkan asap di pelataran parkir di luar pagar yang membatasi danau buatan ini dengan gedung perpustakaan. Bah, pergilah! Pergi bawa BBmu itu!!! Teriakku kuat-kuat. Kepada danau yang cuma diam tak beriak sedikitpun. Kepada angsa-angsa yang terkejut mendengar ucapanku lantas cepat-cepat berenang. Kepada anak-anak yang juga terkejut dan menyadari bola yang mereka sepak bergulir masuk ke danau. Mereka berpandangan, tujuh anak. Ketujuhnya mengangkat bahu. Ketujuhnya menceburkan diri ke danau.

Angsa-angsa itu mengepak-ngepakkan sayap. Danau mulai beriak. Anak-anak berteriak. Ini baru senja yang bersahaja.

***

Halaman yang tersisa tempat pita pembatas terselip sudah penuh dengan goresan rumpun soka. Di bawah, di atas bahkan sampai menutupi larik-larik yang coba kususun enam minggu terakhir.

Aku menutup buku folio. Kalender meja telah kusilang. Minggu ketiga di bulan ini. Hari jadi Ganda. Tanggal, yang sebenarnya di saat itu aku ingin membawa kado istimewa. Lagu ini sudah lama aku karang. Sendiri. Aransemen gitarnya sudah pula direkam sederhana dan disimpan ke dalam bentuk CD yang sudah pula kubungkus.

"Kalian berdua memang keras kepala yah!" Pintu kamar dibuka. Ibu masuk membawa setumpuk handuk. Tanpa bicara membuka lemari dan menempatkkannya di rak paling bawah.

"Yah..gitu deh Mam." sahutku. Masih memandangi kalender yang tanggal hari ini kusilang besar-besar memakai pena merah. Hari ini, minggu ketiga di bulan ketiga tahun ini, hari ulang tahunnya Ganda.

"Mengapa kamu tidak menyanyikannya saja sekarang? Mam mau dengar." Setelah menutup pintu lemari, ibu duduk di tempat tidurku.

"Ah, buat apa. Lagunya jelek kok, Mam." Di luar jangkrik mulai lagi angkat suara. Ibu mengambil gitar dari tempat tidur. Dia sandarkan di dada dan mulai menyetem nada.

"Mm...mmm...mm.." Ibu mulai bersenandung. Mulanya aku tidak peduli. Tapi hei, itu laguku, Mam!

"Mam, bukan gitu nadanya, gini mmm..mmm...mm." Aku mengoreksi dan melantunkan lagu itu. Ah si Mama, bisa saja memancing responku. Mama tersenyum sambil memetik senar. Kami adalah pecinta akustik dan kalau sedang asyik, satu dua album lagu bisa kami mainkan.

Plok..plok..plok...ada tepuk tangan ketika aku mengakhiri lagu. Spontan aku berdiri dan membalik. Kursi sampai terjungkal ke lantai.

Ganda berdiri di muka pintu. Aplausnya dari tepukan tangan ayah.

"Ayo, kita ke ruang tamu semua. Ganda ada bawa kue buatan sendirinya, kue apa ini Gan?" Ayah pura-pura tidak melihat ke arahku.

"Bolu Kukus Sukun, Tulang." Giliran Ganda yang pura-pura tidak melihat ke arahku. Sudahkah kubilang kalau Ganda jago bikin kue? Mama saja kalah sama dia.

Jangkrik-jangkrik ikut bernyanyi ketika kami menyanyikan Selamat Panjang Umur.

"Tunggu dulu. Ga sah kalau ga niup lilin. Aku ambil bentar di dapur." Aku menginterupsi sambil buru-buru pergi ke belakang.

"Sekalian pisaunya Cit dan serbet!" timpal Ibu. Mana lilin-lilin itu, cariku. Sekali ini harus kena kau, Gan! seruku dalam hati. Nah, ini dia! Yess, aku lalu mengambil pisau dari laci.

"Hei!! Umurku kan belum sebanyak itu, Cit!" protes Ganda ketika aku menancapkan lilin-lilin di atas bolu kukus sukunnya.

"Tiup lilinnya..tiup lilinnya..." Aku bersorak-sorak sambil menepuk-nepukkan tangan yang diikuti oleh ayah dan ibu. Satu, dua, tigaaa...

"Kok lilinnya masih pada nyala?" Wajah yang bingung. Wajah yang culun. Hahaha..kami tertawa.

"Lebih kencanglah Gan, keluarkan tenagalah dikit." Ganda menarik nafas dalam-dalam. Pipinya kembung penuh udara.Ketika dia mengembuskan nafas, lilin-lilin masih menyala. Kami semua tertawa-tawa. Aku sampai memegangi  perut.

Ayah akhirnya pergi ke kamar mandi. Mengambil ember berisi air. Ibu mencabut semua lilin dan memasukkannya ke dalam ember. Magic-magic candle itupun padam.

Tepat jam sepuluh ketika Ganda pamitan. Aku menghantarkannya sampai ke pintu pagar.

"Apa yang membuatmu datang ke mari?" Pertanyaan itu telah aku tahan dari tadi. Kehadirannya setelah absen sekian lama tak urung mengguncang.

"Aku lewat dari perpustakaan tadi sore. Syok melihat danau buatan itu telah ditimbun. Mengapa kau tak memberitahunya padaku?"

"Perasaan itu dimuat besar-besarlah di koran. Ga pernah lagi kau kurasa baca koran yah sejak pake BB?"

Aku menggigit lidah. Terlambat! Aduh, kenapa aku mesti mengungkit benda mati satu itu.

Ganda mematikan mesin.

"Bosan, BB ga bisa diajak berantam kayak kau."

"Hei, maksudmu?" Desibel suaraku meninggi. Ganda menaruhkan telunjuk di bibir.

"Pakai toa kau Cit, biar satu gang ini mendengar."

Aku menjulurkan lidah ke luar. Mengayunkan jari-jari di telinga, mengejek Ganda.

"Jelek!!"

"Tapi kamu kangen kannn?" ledekku lagi berulang.

Ganda menaikkan kacamata yang melorot di hidungnya. "Yahhhhhh."

"Yah apa, bilang sekarang kalau kamu kangen!" usilku kumat.

Ganda mendelik. "Ini anak ribut kalilah."

"Bilang apa engga?"

"Aku kangeeee....n!. Puas?" Ganda melepas kacamatanya. Memasang tampang serius. Benar-benar serius. Aku tahu dia sungguh-sungguh. Dia tidak akan membuka kacamata kalau tidak bermaksud sebenar-benarnya.

"Ya udah, ga usah marah kayak gitu." Aku berusaha menetralisir suasana.

Ada hela panjang dilepas Ganda.

"Waktu lihat danau itu ditimbun, aku baru tersadar di situ aku pertama nemu kamu. Sendiri di dekat rumpun soka baca novel tebal .."

"The Rainmaker." Aku menyelesaikan kalimatmu.

"Ya, kamu begitu serius sampai ketika bola yang kami sepak bersama teman-teman mengenai lututmu, kamu cuma mengaduh sebentar dan lalu mengembalikannya kembali pada kami. Dengan tendangan yang sempurna."

"Ayahku pelatih bola."

"Ya, ya. Sampai akhirnya kita kenalan. Kamu dan aku punya minat yang sama."

"Kita sering bikin puisi bersama."

"Aku mengoreksi cerpen-cerpenmu. Ejaanmu parah sekali."

"Kau selalu menunjukkan karikaturmu pertama padaku. Kau tak pandai bikin kalimat yang singkat, padat dan jelas."

"Dan permainan gitarmu, apa kau sudah pandai menjaga tempo? Kau selalu buru-buru." Aku tak menjawab lagi.

"Aku kangen." Akhirnya sepenggal kalimat itu keluar juga. Alasan terbaik. Belum menjawab, aku berjalan ke arah kamarku. Dari bawah jendela aku mengambil satu keranjang rotan berisi polybag kecil.

"Ini rumpun asoka yang kuambil dari danau itu. Kutanam di bawah jendela kamar. Sudah kusisakan untukmu. Yah, pihak perpustakaan kota hendak membangun kafetaria di situ." Aku menggantungkan keranjang kecil itu di stang motornya.

"Terima kasih, Citra. Lama sekali aku menyadari banyak yang hilang yah? Masih boleh kita berteman kan? Aku ada rencana menulis buku, dan butuh kau menjadi pembaca pertamanya. Mau?"

"Boleh, asalkan selama kita berbincang semua aplikasi di gadget kamu disconnet-kan. Dengan begitu perbincangan kita baru connect. Jadi kamu bisa melihat indahnya pelangi yang terselip di antara awan dan birunya langit."

"Tapi kita tak punya danau lagi tempat nongkrong?"

"Ih, kreatif dikit dong. Kita bisa jadikan keluarga, sahabat, murid-murid kita danau itu sendiri kan? Mengapa tidak meluangkan waktu untuk duduk bersama dan bercengkerama, entahpun cuma bertukar canda di beranda. Itulah 'telaga' tak bertepi kita, tempat jiwa dan raga melepas dahaga."

Ganda mengacungkan kelingking, yang kusambut dengan menautkan kelingkingku juga di sana.

"Ini kado ulang tahun yang berarti banyak buatku." Ganda menepuk-nepuk keranjang rotan berisi rumpun asoka. "Terima kasih, Citra."

Aku melambaikan tangan sampai Ganda membelok di mulut gang. Jangkrik-jangkrik masih terus bernyanyi.

Betapa lega, hari-hari tak akan lagi sunyi. Masih ada telaga tak bertepi, hari-hari tak akan lagi sepi.

(Dimuat di Cerpen Minggu Koran Sinar Indonesia Baru, 15 April 2012).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun