di Indonesia. Burung jenis ini hanya
terdapat di Papua yang sekaligus
menjadi ciri khas pulau tersebut. Warna
bulunya yang sangat indah membuat
cenderawasih dijuluki sebagai bird of
paradise (burung dari surga). Oleh
karena itu, sebagian masyarakat Papua
percaya bahwa burung cenderawasih
adalah titisan bidadari dari surga.
Namun menurut masyarakat Fakfak,
cenderawasih merupakan penjelmaan
seorang anak laki-laki bernama Kweiya.
Bagaimana kisahnya? Simak dalam
cerita Asal Usul Burung Cenderawasih
berikut ini.
* * *
Pada zaman dahulu hiduplah seorang
perempuan tua bersama anjing
betinanya di daerah Pegunungan
Bumberi, Kabupaten Fakfak, Provinsi
Papua Barat. Suatu hari, si perempuan
tua dengan anjing kesayangannya
sedang mencari makanan di hutan. Hari
itu, mereka harus berjalan cukup jauh
karena persediaan makanan di sekitar
rumahnya sudah mulai berkurang.
Setelah berjalan cukup jauh, mereka tiba
di suatu tempat yang dipenuhi oleh
pohon buah merah (sejenis pandan khas
Papua) yang kebetulan telah berbuah.
Perempuan tua itu segera memetik buah
merah lalu diberikan kepada anjingnya
yang kelaparan. Anjing betina itu
langsung melahap buah merah hingga
badannya terlihat segar kembali.
Namun, beberapa saat kemudian, tiba-
tiba anjing itu merasakan sesuatu yang
bergerak-gerak di dalam perutnya.
Perut anjing betina itu semakin
membesar seperti sedang bunting. Ajaib,
hanya dalam waktu yang tidak lama,
anjing betina itu melahirkan seekor anak
anjing yang mungil. Melihat keajaiban
itu, perempuan tersebut juga bermaksud
memakan buah merah agar
mendapatkan keturunan seperti yang
dialami oleh anjingnya.
“Oh, ajaib sekali buah merah itu,” kagum
perempuan itu. “Aku ingin mencoba buah
itu agar aku bisa melahirkan anak.”
Perempuan itu segera memetik buah
merah lalu memakannya. Begitu ia
menelan buah tersebut, perutnya tiba-
tiba mengalami hal yang serupa dengan
anjingnya, perutnya semakin lama
semakin membesar. Segera saja sang
perempuan bergegas pulang ke pulang.
Setiba di rumah, ia akhirnya melahirkan
seorang anak laki-laki. Anak itu diberi
nama Kweiya.
Sepuluh tahun kemudian, Kweiya telah
tumbuh menjadi remaja. Kweiya sangat
rajin membantu ibunya bekerja dengan
membuka hutan untuk dijadikan kebun
sayur. Namun karena hanya
menggunakan kapak batu, ia hanya
mampu menebang satu batang pohon
setiap hari. Sementara itu, ibunya hanya
bisa membantu membakar daun-daun
dari pohon yang telah rebah. Akibatnya,
asap tebal pun mengepul dan
membumbung tinggi ke udara. Tanpa
mereka sadari, ternyata asap tebal
tersebut telah menarik perhatian
seorang pria tua yang sedang mengail di
sebuah sungai.
“Hai, dari mana asal asap tebal itu?
Siapa yang sedang membakar hutan?”
gumam pria tua itu.
Oleh karena penasaran, pria tua itu
segera mencari sumber asap tebal
tersebut. Setelah menempuh perjalanan
yang cukup melelahkan, sampailah ia di
tempat asap itu berasal. Di tempat itu,
ia mendapati seorang remaja tampan
sedang menebang pohon di bawah terik
matahari.
“Weing weinggiha pohi (selamat siang),
anak muda,” sapa pria tua itu. “Siapa
kamu dan mengapa menebang hutan di
sini?”
“Nama saya Kweiya. Saya ingin
membuat kebun untuk membantu ibu
saya” jawab Kweiya
Pria tua itu mengerti bahwa Kweiya
adalah anak yang berbakti kepada
orang tua. Maka, ia pun memberikan
kapak besinya kepada Kweiya.
“Kalau begitu, ambillah kapak besi ini.
Kamu akan lebih cepat menebang
pohon,” kata pria tua itu. “Terima kasih
Pak,” jawab Kweiya.
Kweiya pun dapat menyelesaikan
pekerjaannya dengan cepat. Dalam
waktu singkat, ia mampu merobohkan
beberapa pohon yang besar. Setelah itu,
ia bergegas pulang untuk menceritakan
hasil pekerjaannya kepada ibunya.
Ibunya pun amat heran saat mendengar
cerita itu.
“Bagaimana kamu bisa secepat itu
menebang pohon-pohon, anakku? Alat
apa yang kamu gunakan?” tanya ibunya
heran.
Kweiya terdiam sejenak. Ia tampaknya
ingin merahasiakan pria tua yang telah
membantunya itu.
“Aku tidak tahu juga, Bu. Kebetulan tadi
tangan saya terlalu ringan mengangkat
kapak sehingga dapat menebang pohon
dengan cepat,” jawab Kweiya.
Mendengar jawaban itu, ibu Kweiya
percaya begitu saja. Sementara itu,
Kweiya meminta agar ibunya
menyiapkan makanan yang banyak.
Rupanya, Kweiya bermaksud mengajak
pria tua itu ikut makan bersama
sekaligus memperkenalkannya kepada
ibunya.
“Bu, besok tolong siapkan makanan yang
banyak,” pinta Kweiya.
Keesokan harinya, ibu Kweiya memasak
makanan yang cukup banyak.
Sementara itu, Kweiya ingin membuat
kejutan untuk ibunya. Ketika dalam
perjalanan pulang ke pondoknya, ia
membungkus pria tua itu dengan
sejumlah pohon tebu lengkap dengan
daunnya. Setiba di rumah, bungkusan
tersebut diletakkan di depan pintu.
Setelah itu, ia masuk ke dalam rumah
dan seolah-olah merasa sangat haus. Ia
pun meminta ibunya agar mengambilkan
sebatang tebu untuk melepas rasa
dahaganya.
“Bu, aku haus sekali. Tolong ambilkan
sebatang tebu di depan pintu itu,” pinta
Kweiya.
Ibu Kweiya pun menuruti permintaan
anaknya. Saat sang ibu membuka
bungkusan daun tebu, ia sangat terkejut
karena mendapati seorang pria tua
sedang berbaring di dalam bungkusan.
Seketika, ia pun menjerit ketakutan
seraya berlari masuk ke dalam pondok.
“Kweiya, siapa pria tua itu? Kenapa dia
ada di dalam bungkusan itu?” tanya
ibunya heran.
Kweiya tersenyum seraya menenangkan
hati ibunya.
“Maafkan aku, Bu,” ucap Kweiya. “Aku
tidak bermaksud menakuti-nakuti Ibu.
Sebenarnya, pria tua itulah yang telah
menolongku menebang pohon di hutan.
Aku mohon Ibu mau menerimanya
sebagai teman hidup!”
Ibu Kweiya terdiam. Setelah berpikir
sejenak, akhirnya ia menerima
permintaan anaknya. Sejak saat itu,
pria tua tersebut tinggal bersama
mereka. Kweiya dan ibunya pun tidak
merasa kesepian lagi.
Selang beberapa tahun kemudian, ibu
Kweiya melahirkan dua anak laki-laki
dan seorang perempuan dari hasil
perkawinannya dengan pria tua itu.
Kweiya menganggap ketiga adiknya
tersebut sebagai adik kandung. Mereka
hidup rukun dan saling menyayangi.
Namun, hubungan persaudaraan mereka
akhirnya menjadi retak karena kedua
adik laki-lakinya merasa iri terhadap
Kweiya. Mereka iri karena Kweiya selalu
mendapat perhatian khusus dari ibu
mereka.
Suatu hari, ketika kedua orangtua
mereka sedang ke kebun, kedua adiknya
mengeroyok Kweiya hingga luka-luka.
Meskipun merasa kesal, Kweiya tidak
tega membalas perbuatan kedua
adiknya. Ia lebih memilih bersembunyi di
salah satu sudut pondoknya sambil
memintal tali dari kulit binatang
sebanyak mungkin. Pintalan benang
tersebut nantinya akan dibuat sayap.
Sementara itu, orangtua Kweiya baru
saja tiba dari kebun. Ketika mengetahui
Kweiya sedang tidak ada di rumah, sang
ibu kemudian bertanya kepada adik-adik
Kweiya.
“Ke mana abang kalian pergi?” tanya
sang ibu.
“Tidak tahu Bu,” jawab kedua adik laki-
laki Kweiya serentak.
Kedua adik laki-laki Kweiya ini rupanya
takut menceritakan peristiwa
perkelahian mereka yang menyebabkan
Kweiya pergi dari rumah. Namun, adik
bungsu mereka yang menyaksikan
peristiwa tersebut menceritakannya
kepada ibu mereka. Betapa sedihnya
sang ibu saat mendengar cerita putri
bungsunya itu. Ia kemudian berteriak
memanggil-manggil Kweiya agar cepat
kembali ke rumah. Namun, bukan Kweiya
yang datang, melainkan suara burung
yang terdengar.
“Eek.. ek... ek... ek..!” begitu suara
burung itu.
Suara itu ternyata suara Kweiya yang
telah menyisipkan pintalan benang pada
ketiaknya lalu melompat ke atas
bubungan rumah dan selanjutnya
terbang ke atas salah satu dahan pohon
di depan rumah mereka. Kweiya rupanya
telah berubah menjadi seekor burung
yang amat indah dan bulunya
berwarna-warni. Melihat peristiwa ajaib
itu, sang ibu pun menangis tersedu-sedu
sambil meminta benang pintalan kepada
Kweiya.
“Kweiya, anakku. Apakah masih ada
benang pintalan untukku?” tanya sang
Ibu.
“Bagian Ibu aku sisipkan di dalam
payung tikar,” jawab Kweiya.
Sang ibu pun segera mengambil pintalan
benang itu lalu menyisipkan pada
ketiaknya. Setelah berubah menjadi
burung, ia kemudian mengepak-
kepakkan sayapnya lalu terbang
menyusul Kweiya yang bertengger di
dahan pohon. Konon, kedua burung yang
kini dikenal sebagai burung
cenderawasih tersebut terlihat
bercakap-cakap dengan kicauan
mereka.
“Wong... wong... wong... wong...! Ko... ko...
kok... ! Wo-wik!” demikian kicauan
mereka yang tidak diketahui maksudnya.
Sejak itulah, burung cenderawasih
jantan dan betina sering muncul di
Fakfak, Papua Barat, dengan warna
berbeda. Oleh masyarakat Onin, burung
cenderawasih jantan yang bulunya
cenderung lebih panjang kemudian dalam
bahasa Lha disebut Siangga, sedangkan
burung cenderawasih betina disebut
Hanggam Tombor .
Kedua adik laki-laki Kweiya yang
menyaksikan peristiwa ajaib itu hanya
bisa pasrah ditinggalkan oleh ibu dan
kakak mereka. Mereka akhirnya saling
menyalahkan sehingga mereka saling
lempar abu tungku. Wajah mereka pun
menjadi kelabu hitam, abu-abu, dan ada
juga yang menjadi warna merah.
Seketika itu pula, mereka pun berubah
menjadi burung dan kemudian terbang
ke hutan rimba untuk menyusul ibu dan
kakak mereka. Itulah sebabnya, hutan
rimba di Fakfak lebih banyak dipenuhi
oleh beragam burung yang kurang
menarik dibandingkan dengan burung
cenderawasih.
* * *
Demikian cerita Asal Usul Burung
Cenderawasih dari Fakfak, Papua Barat.
Pesan moral yang dapat dipetik dari
cerita di atas adalah bahwa sifat iri
hati terhadap saudara sendiri seperti
kedua adik laki-laki Kweiya bukanlah
sifat terpuji, melainkan justru akan
merugikan diri sendiri.