Untuk negara Indonesia yang mana merupakan negara hukum, apalagi hal tersebut secara tegas diatur dalam UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia yaitu dalam pasal 1 ayat (3) yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dalam kasus santet yang mengakibatkan adanya korban tersebut, dapat dipandang sebagai delik materiil atau tindak pidana materiil yang mana dalam delik tersebut perumusannya dititikberatkan pada akibat yang tidak dikehendaki. Jelas kan, kalau perbuatan dukun yang mengakibatkan korban cacat fisik, mental atau bahkan menghilangkan nyawa seseorang merupakan tindak pidana. Oleh karena itu, baru-baru ini DPR kita yang terhormat membuat Rancangan Undang Undang KUHP mengenai pasal santet yaitu pasal 296 RUU KUHP.
RUU KUHP sontak banyak menimbulkan pro dan kontra baik di kalangan masyarakat maupun di kalangan penegak hukum di Indonesia seperti para hakim kita yang agung yaitu Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya. Memang, dalam santet jelas secara nyata ada korbannya yang secara kasat mata tidak dapat kita lihat dan tidak dapat dinalar. Berarti dalam perbuatan tersebut ada akibat yang tidak diinginkan. Akan tetapi, dalam kasus perbuatan gaib seperti santet tersebut sulit untuk dibuktikan. Namanya saja perbuatan gaib, buktinya gaib juga.
Bingung. Mungkin itu pikiran para penegak hukum di Indonesia. bagaimana ya caranya menindak dukun? Kalau nanti dukun ditindak, bisa jadi hakimnya ikut disantet. Hal itu bisa saja terjadi di Indonesia. korban santet sudah ada, tapi siapa kira-kira yang menyantet? Bingung juga ya, tapi itu realitanya. Sungguh-sungguh terjadi. Dalam hukum, apabila ingin memproses hukum tersebut tentu harus dengan bukti-bukti yang jelas dan nyata. Masalah santet-menyantet ini memang membingungkan. Apa buktinya kalau dukun A telah menyantet B? Sampai jenggotan, bukti tersebutĀ mungkin tidak akan ketemu.
Dalam pasal 296 RUU KUHP memang mengancam orang yang mengiklankan diri bisa menyantet dipidanan paling lama 5 tahun atau denda 300 juta rupiah. Mana mungkin ada dukun yang mempublikasikan diri bisa menyantet. Bisa-bisa dukun itu dihajar massa, karena mereka menganggap dukun itu telah meresahkan. Bagi dukun yang mengkomersilkan keahlian menyantetnya maka hukuman ditambah 1/3 dari hukumannya. Kalau mengkomersilkan mungkin banyak, tapi dukun yang mana? Banyak kan dukun di Indonesia, tidak hanya satu dua. Bagaimana caranya si pencari bukti kalau dukun itu mengkomersilkan santet? Dengan adanya boneka fudu gitu, sekarang sudah jamannya gaul banget. Dukun bisa saja menyantet dari facebook ataupun twitter, mungkin.
Kesimpulannya, sayapun juga bingung menanggapi RUU santet ini. Kalau bisa dibuktikan dan menjerat dukun tak bertanggung jawab itu sih saya setuju-setuju saja. Karena keberadaan dukun itu menurut saya meresahkan. Tapi harus ada buktinya dulu loh. Bagaimana kalau menurut anda?