Tri Budhi Sastrio
Kala masih remaja, sudah sering dicerita bagaimana
Bangsa yang besar ini gagah berani arungi samudra.
Takut tak pernah ada, gelombang gelora jubah senja
Sedangkan birunya langit, kelamnya malam, merona
Dihiasi bintang, diiringi percik haluan membelah tirta,
Jadi teman setia merambah jalur seta guna berjumpa
Sahabat bangsa-bangsa untuk saling bertukar sutera
Dengan rempah-rempah dari telatah mega nusantara.
Lalu setelah dicatat, cerita menyebar ke mana-mana,
Pertanda kehidupan di atas gelombang memberi rona
Pada semua aspek kehidupan bahari dirgantara nusa.
Warna kulit jenis perahu, bahkan juga sorot rona mata
Tidak pernah membuat risau para pengelana kembara
Yang bertekad untuk pergi ke mana saja asal bisa sua
Dengan sesama kelana sebarkan cita rasa ria gembira.
Semua dipertukarkan, semua ditawarkan, yang utama
Kita bangsa-bangsa dari beragam arena, bisa jumpa,
Lalu barter benda, berbagi cendera mata, pun budaya
Tanpa terasa melebur jadi budaya para arung kelana.
Begitulah, bangsa samudera lebur lewat anjangsana.
Tidak ada perang, tidak ada konflik, tak ada sengketa,
Tawa ria kerling mata, senyum manis mekar berbunga
Begitulah mereka, nenek moyang ini bangsa samudra,
Bertemu bertutur sapa, dan semua ya saling menjaga
Agar tujuan utama, setelah jauh arungi titi buih gelora
Tak rusak hanya karena tutur sapa dari beda budaya.
Berikut ini kisah seorang pemuda, pemuda nusantara.
Darahnya darah Cina bundanya dari Jawa, rona muka
Separuh Cina separuh Jawa, lahir karena titah surga.
Sang papa tak bisa kembali ke Cina ditinggal armada
Tetapi dengan gembira dia menerima nasib takdirnya.
Lahirlah di Jawa pemuda sipit kuning langsat kulitnya.
Lalu entah mewarisi dari siapa, pada sutera tertambat
Hatinya, setelah sempat bermimpi dengan tuan Xinru
Berbincang agak lama, tentang sutera produksi Cina.
Juga entah kenapa tuan Liu lancar berbicara tentang
Buku yang kelak menjadi cikal bakal isu Jalur Sutera.
Sang pemuda bicara pada papa tercinta, bisakah dia
Menyusuri kembali jalur luar biasa, buah mahakarya
Nenek moyangnya yang dari dua tanah beda budaya.
Walau heran tak terkira tapi karena si papa percaya
Putranya dapat diandalkan, jika hanya mengembara
Ijin diberikan dan mulailah kelana susuri Jalur Sutera.
Tak ada berita, tidak ada catatan, bahkan juga tanda,
Pemuda berangkat begitu saja, bekal juga seadanya.
Jalur selatan dirambah setelah tekun rambah kelana
Pesisir Tanah Jawa, seberangi Selat Sunda Sumatra
Sebelum tiba waktunya harus taklukkan Selat Malaka.
Begitulah bagian selatan Jalur Sutera, dulu berjaya
Membawa sutera buatan Cina untuk ditukar apa saja
Menjadi ajang kembara pemuda lugu dari tanah Jawa,
Lalu bagaimana akhir cerita pemuda yang begitu saja
Berangkat dengan bekal seadanya? Dimanakah dia?
Jangan harap ada catatan karena memang tidak ada
Tapi paling tidak bisa dikenang pernah ada masanya
Dalam jiwa para petualang, para pengelana kembara
Yang hanya mengandalkan jiwa raga serta alam raya
Tanpa teknologi tanpa rekayasa virtual di dunia maya
Pernah membuat prestasi yang mencengangkan dunia.
Ilmu pengetahuan dan teknologi memang terbukti bisa
Membuat semua jadi cepat mudah serta berdaya-guna
Tapi pemuda bangsa samudra ternyata jugalah sama
Walau dengan sarana sederhana karya alam semesta.
Jalesveva jayamahe itu semboyan nenek moyang kita.
Jayalah bangsa samudra, di laut kita ini selalulah jaya.
Essi nomor 432 -- SDA01072021 -- tbs/087853451949