Artikel ini akan diawali dengan komentar. Pendapat sang guru besar yang sekaligus seorang pastor Katolik benar dan tidak salah. Pendapat yang disampaikan oleh sang juru bicara presiden, sebagai tanggapan terhadap pendapat sang guru besar, benar dan tidak salah. Meskipun yang satu tampak menegasikan yang lain, tetapi anehnya masing-masing pendapat ternyata benar dan tidak salah. Mengapa? Karenanya keduanya melihat dari jendela kamar masing-masing. Sialnya, pemandangan dari jendela kamar yang seharusnya berupa cakrawala langit biru eh ternyata berubah drastis karena persis di depan jendela dipasang pipa raksasa. Pipa boleh saja sangat besar diameternya tetapi tetap saja itu pipa, dan lubang pipa tentu membatasi banyak hal.
Pikiran picik dan wawasan sempit, dari dulu sampai sekarang, menjadi milik banyak orang. Bahkan mungkin menjadi milik semua orang. Pendidikan, pergaulan, pekerjaan, dan banyak kegiatan dalam hidup ini membantu meluaskan yang picik dan melapangkan yang sempit. Ada yang keberhasilannya dapat dilihat dengan mudah, tetapi ada juga yang samar-samar.
Ini adat dunia.
Penyakit lain yang menjangkiti banyak orang bernama persepsi. Sebagai tanggapan langsung atau pengetahuan langsung seseorang terhadap dunia luar melalui pancaindra dan pikirannya, persepsi sudah sejak lama menjerat manusia. Jeratan ini begitu halus dan kuatnya, sehingga tidak banyak orang yang menyadari dan hampir tidak ada orang yang berhasil lepas dan ke luar dari jeratannya. Dua orang ini – dan juga semua orang – berada dalam persepsi masing-masing. Persepsi yang dirasa benar dan rasional karena didukung fakta dan realita. Yah, silahkan saja.
Ada contoh begini. Dewasa ini ada kelompok penganut agama tertentu yang anggotanya banyak sekali menjadi korban sia-sia. Jumlahnya belasan dan mungkin puluhan juta. Penyebabnya karena pembantaian yang memang disengaja atau karena dampak ikutannya. Tahu siapa pelakunya? Ternyata dari penganut agama yang sama. Medan kejadiannya terjadi di banyak negara dan populer dengan nama ‘perang saudara’. Apa reaksi pemeluk agama yang sama di negara-negara lainnya? Tidak terlalu nyata. Reaksi yang jelas justru ditujukan pada kasus lain yang kebetulan dilakukan oleh pemeluk agama yang berbeda. Jumlah korban tidak terlalu besar, tetapi reaksi meraksasa. Memang jumlah korban yang kecil pun tetap tidak dapat diterima, tetapi yang aneh, mengapa reaksi begitu hebat untuk yang kecil, sementara pada kejadian yang sama dengan korban yang berpuluh, beratus, bahkan beribu kali lipat, reaksi sama sekali tidak tampak. Apakah ini semua karena pengaruh persepsi? Mungkin saja.
Kembali pada fokus masalah untuk catatan ini. Komentar singkat telah diberikan. Sekarang tiba waktunya pembaca membuat komentar sendiri. Inilah surat yang dimaksud dan tanggapannya. Suratnya dari seorang mahaguru filsafat, tanggapannya dari juru bicara presiden yang seorang doktor.
Tuan-tuan dan Puan-puan dari
Appeal of Conscience Foundation (ACF),
Saya seorang pastor Katolik dan profesor Filsafat dari Jakarta. Kami di Indonesia mendengar bahwa Anda akan memberikan Penghargaan Negarawan Dunia tahun ini kepada Presiden kami, Susilo Bambang Yudhoyono karena jasanya dalam merawat toleransi beragama. Rencana itu sangat memalukan, dan mempermalukan Anda sendiri. Itu dapat mendiskreditkan klaim apapun akan Anda buat sebagai sebuah institusi berlandaskan moralitas.
Bagaimana mungkin Anda dapat mengambil keputusan seperti itu tanpa meminta masukan dari kami yang mengalaminya langsung Indonesia? Mudah-mudahan Anda tidak membuat keputusan tersebut sekadar untuk menanggapi desakan dari orang-orang yang dekat dengan Pemerintah kami ataupun rombongan di sekitar Presiden.
Apakah Anda tidak tahu tentang kesulitan umat Kristen untuk berkembang dan mendapatkan izin membuka tempat ibadah, tentang meningkatnya jumlah penutupan paksa terhadap gereja-gereja, tentang banyaknya regulasi yang membuat kaum minoritas lebih sulit beribadah kepada Tuhan, serta intoleransi tumbuh begitu pesat di tingkat akar rumput? Dan secara khusus, apakah Anda tidak pernah mendengar tentang sikap memalukan dan sangat berbahaya dari kelompok agama garis keras terhadap apa yang disebut ajaran sesat, seperti jemaah Ahmadiyah dan warga Syiah? serta pemerintah yang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono tidak melakukan apa-apa dan enggan mengatakan sepatah kata pun untuk melindungi mereka? Ratusan orang yang hidup di bawah kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah diusir dari rumah mereka, mereka masih hidup sengsara di tempat-tempat pengungsian seperti gedung olahraga, bahkan sudah ada jemaah Ahmadiyah yang dibunuh dan warga Syiah yang tewas (sehingga muncul pertanyaan apakah Indonesia akan memburuk kondisinya seperti di Pakistan dan Iran [seperti yang dikatakan Presiden GW Bush] di mana setiap bulan ratusan orang Syiah dibunuh dengan dalih agama)?
Tidakkah Anda juga tahu bahwa presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak pertama kali menjabat sampai 8 1/2 tahun kini, di istananya belum pernah satu kali pun ia mengatakan sesuatu kepada rakyat Indonesia, bahwa kaum radikal harus menghormati kaum minoritas? ia telah mempermalukan diri sendiri dengan menghindari tanggung jawab terhadap meningkatnya kekerasan yang menimpa jemaah Ahmadiyah dan warga Syiah?
Sekali lagi, siapa sih yang Anda mintai informasi sebelum membuat keputusan terkait penghargaan Anda tersebut? Apa yang menjadi motivasi Anda untuk memberikan penghargaan itu kepada Presiden terkait toleransi beragama padahal ia sangat jelas tidak memiliki keberanian sedikitpun untuk menunaikan tanggungjawabnya melindungi kaum minoritas?
Saya harus menambahkan bahwa saya bukan radikal, juga bukan "ekstrimis hak asasi manusia" (jika ada istilah seperti itu). Saya sekadar menunjukkan bahwa begitu banyak kemunafikan. Anda dipermainkan oleh mereka - yang jumlahnya masih sedikit - kaum radikal yang ingin memurnikan Indonesia dari apa saja yang mereka anggap sebagai ajaran sesat dan kafir. Franz Magnis-Suseno SJ
Lalu, berikut adalah tanggapan dari Dr. Julian A. Pasha sebagai jurubicara presiden
Terkait adanya rencana penghargaan World Statesman Award kepada Presiden SBY dari Appeal of Conscience Foundation (ACF), perlu disampaikan hal berikut:
Penghargaan itu diberikan oleh sebuah lembaga internasional independen yang kredibilitasnya diakui oleh dunia. Lembaga ini telah beberapa kali memberikan awards kepada Kepala Negara, seperti: PM Canada, Presiden Korsel, Kanselir Jerman, dan PM Inggris Gordon Brown. Awards diberikan dalam konteks kenegarawanan seseorang, yang dinilai berjasa dan berhasil bagi terciptanya perdamaian, toleransi beragama dan demokrasi.
Untuk diketahui, kami tidak pernah meminta agar Presiden SBY mendapat penghargaan apa pun, dari mana pun. Bila kemudian itu award dari ACF dipersoalkan oleh seseorang atau sekelompok orang di dalam negeri, tentu kami mendengarkan itu dalam konteks kebebasan berbicara dan berpendapat. Namun bila pandangan yang mengatasnamakan wakil suatu komunitas, kemudian memprotes dengan memaksa untuk menolak rencana pemberian award oleh ACF, yang disampaikan secara terbuka seolah dirinya mewakili semua, maka itu jelas satu cara pandang yang sempit didasari penafsiran filsafat politik minus etika.
Jadi sesungguhnya, protes atas rencana pemberian award dimaksud, hanya membuat orang tahu bahwa di sini masih ada orang yang berpikiran sempit (narrow-minded) kepada Kepala Negaranya. Kami berharap, pihak pemberi award tidak merasa dilecehkan oleh mereka dan memaklumkannya. Julian A. Pasha
Bagaimana? Sudah mempunyai pendapat dan ingin ikut memberikan komentar? Bukankah keduanya sedang melihat ke luar melalui jendela kamar masing-masing yang sudah dipasangi pipa?
Dr, Tri Budhi Sastrio – tribudhis@yahoo.com – HP, 087853451949
Department of Modern Languages and Literature
University of Adam Mickiewicz - Poznan, Poland.