Alasannya, putra-putra terbaik yang selama ini komit dalam pemberantasan korupsi sedang dibabat. Di KPK, unsur-unsur pimpinan yang tak mau kompromi dengan para koruptor sedang dijadikan sasaran bidikan senjata hukum. Kemudian, di luar KPK, Gubernur DKI Jakarta, bang Ahok, juga sedang ditakut-takuti oleh anggota DPRD lewat pengajuan hak angket para anggota dewan. Alasannya sekali lagi karena upaya Ahok untuk menghapus praktek korupsi lewat 'titipan uang siluman' yang diselundupkan lewat RAPBD, ditafsirkan para anggota dewan sebagai sebuah pelanggaran hukum.
Pertanyaannya adalah: bagaimana memahami di satu sisi upaya Polri dan DPRD DKI yang seolah legitim dalam menggugat para pemberantas korupsi dan di sisi lain perasaan keadilan masyarakat luas yang dilukai oleh tindak-tanduk kedua lembaga ini?
Prahara korupsi ini dapat dipahami lewat dialog ideologi-utopia. Dalam keadaan sehat, ideologi adalah perekat sosial. Ia memberikan imajinasi bersama yang membangun identitas suatu kelompok. Polri, misalnya, meluncurkan semboyan "Pelayan masyarakat" yang diharapkan dapat menyatukan lembaga kepolisian ini dengan masyarakat. Atau DPRD yang mengklaim " wakil rakyat" memberikan gambaran bahwa kehendak lembaga ini adalah kehendak rakyat. Kesatuan dengan rakyat, yang direkatkan lewat ideologi tadi, menjadi salah satu sumber legitimasi mereka.
Utopia, dalam keadaan sehat, merupakan daya kritis atas ideologi dengan membongkar kesenjangan yang ada antara imajinasi yang ditawarkan suatu ideologi dan kenyataan. Kekuatan kritis utopia dibangun lewat suatu imajinasi akan suatu keadaan yang lebih baik daripada keadaan saat ini. Berbeda dengan ideologi, utopia tidak punya legitimasi; utopia datang dari "nowhere" dan justru karena itu ia adalah kekuatan subversif.
Suatu ideologi menjadi sakit ketika tuntutan suatu otoritas untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat sebagai sumber legitimasinya melebihi kepercayaan masyarakat atas otoritas itu. Dalam hal ini, Polri dan DPRD DKI sedang berada dalam sakit ideologis, karena mereka memaksa masyarakat untuk percaya pada kekuasaan mereka. Upaya hukum yang dilancarkan kedua lembaga ini dapat dilihat sebagai sebuah tuntutan yang ditujukan kepada masyarakat agar mempercayai mereka. Dalihnya adalah jalur hukum: lihat, kami memakai jalur yang sah. Tetapi, sekali lagi, tuntutan ini tidak berdasar karena imajinasi negatif masyarakat terlalu kuat. Jurang antara tuntutan untuk dipercaya dan imajinasi negatif ini hanya dapat dijembatani oleh rekam jejak positif yang sayangnya tidak kunjung datang. Imajinasi negatif inilah yang merongrong legitimasi Polri dan DPRD. Tidak perlu disebutkan contoh-contohnya. Kita semua tahu rekam jejak mereka.
Sebaliknya, para unsur pimpinan KPK dan Ahok terlanjur tampil sebagai personifikasi dari utopia yang sehat. Mereka, seperti utopia, tidak datang dari mana-mana dalam arti rekam jejak mereka tidak mengkaitkan mereka dengan kepentingan pribadi baik yang besifat politis maupun ekonomis. Sepak terjang mereka, dalam imajinasi masyarakat, merupakan perjuangan membuat Indonesia jadi lebih baik. Tampilnya personifikasi utopia yang sehat justru membuat nyata sakitnya ideologi Polri dan DPRD DKI. Oleh karena itu, untuk melawan para tokoh anti korupsi ini, Polri dan DPRD hendak menggoyahkan imajinasi positif masyarakat atas mereka. Caranya, agar kelihatan elegan, lewat jalur hukum.
Ini adalah peperangan ideologis, dalam arti merebut simpati dan kepercayaan masyarakat, yang merupakan sumber legitimasi utama suatu otoritas demokratis.
Salah satu solusi agar prahara seperti ini tidak terulang lagi di masa depan adalah mereformasi undang-undang partai politik. Pembentukan partai politik perlu dipermudah agar panggung politik tidak hanya dikuasai segelintir pihak yang punya modal ekonomis maupun koneksi. Saya memimpikan (utopia) berdirinya suatu partai politik anti korupsi, seperti Partai Orang Biasa yang memenangkan pemilu regional di New Delhi beberapa waktu yang lalu. Melalui partai seperti ini, suara rakyat yang datang dari utopia menemukan legitimasinya.
Ville de Lumière, Kemis Malem 26 Feb 2015