Pada jaman dahulu kala dimana pemerintahan orde baru tengah berjaya raya, dan saya pun masih sangat ingusan pula. Dikisahkan dari sebuah desa yang sangat terpencil, ndeso… dan katro…. (Tukul mode on), cerita ini pun dimulai…
Untuk sampai ke desa tersebut, kami harus menempuh jarak puluhan kilometer dari Kota. Jalanannya kecil, berkelok, terjal karena batu kali dimana-mana, bertabur pasir dan dipenuhi kubangan sepanjang jalan. Kanan kiri yang terlihat hanya hamparan sawah, perkebunan tebu dan pohon-pohon jati, kalau pun ada rumah penduduk jarak rumah satu dengan rumah yang lain sangat berjauhan. Bahkan program listrik masuk desa pun saya rasa belum masuk dalam rancangan Pemerintah.
Ringkik kuda tua nan kurus menarik pedati sangat menyayat hati, kami biasa menyebutnya Dokar / Delman, itulah satu-satunya alat transportasi untuk menuju ke desa diujung Kota Santri kala itu. Disanalah aku tinggal bersama simbah Lurah. Simbah yang dipilih secara langsung oleh penduduk desa sebagai kepala desa, kemudian sebagai Lurah tempo doeloe, simbah digaji dengan bengkok. Bengkok itu sendiri artinya adalah sawah garapan milik desa yang dikelola dan hasilnya diperuntukan oleh Lurah yang tengah menjabat sebagai bayaran menjadi seorang Lurah.
Simbah hidup bersama warganya dengan adem ayem tentrem di atas bumi yang gemah ripah loh jinawi, dari sekian banyak penduduk pribumi ada satu keluarga keturunan Tionghoa yang rumahnya sangat berdekatan dengan rumah simbah. Babah Hongky beserta Istri yang sudah mulai sakit-sakitan dan ketiga anak-anaknya, Cik Usin, Cik Kathy dan Koko Abun.
Mereka hidup sangat sederhana, hanya mengandalkan dari hasil service jam yang buka setiap saat dirumah mereka yang terbuat dari papan dan triplek, berlantai tanah liat dari sawah yang dihaluskan menyerupai plester / mesteran semen. MCK alias Mandi, Cuci dan Kakus biasanya dilakukan disungai belakang rumah, seperti dilakukan kebanyakan orang didesa kami. Airnya masih sangat jernih, beda dengan sungai ciliwung atau sungai angke di Ibukota yang airnya pekat, dengan bermacam perhiasan yang menyumbat sana-sini, hingga airnya pun bingung mau mengalir kemana, akhirnya mengalir sampai jauh membanjiri kota.
Bisa dibayangkan, orang dikampung kami tidak banyak yang mengenakan jam tangan atau memiliki jam dinding dirumah. Paling yang sering saya lihat ya simbah, beberapa aparat desa lainnya, pak Mantri Puskesmas, dan beberapa guru di SD Inpres yang sering mondar-mandir ke rumah babah Hongky untuk service jam. Kalau sayasendiri yang masih imut (pada saat itu tentunya) takut kalau mau disuruh masuk rumah babah Hongky, karena Ketty anjing pudel kesayangan cik Kathy kalau menyalak galak dan memekakkan telinga.
Keluarga babah Hongky sangat dekat dengan simbah, mereka pun sangat menyayangi saya. Bahkan cik Usin, cik Kathy dan Koh Abun senang sekali mengajak saya bermain dan mendandaniku seperti Lingling, gadis cina berkepang dua berbaju sanghai. Simbah juga sering sekali berbagi makanan dan buah-buahan dari kebun untuk mereka. ( kenapa ya dulu mereka kok bisa tinggal didesa terpencil seperti itu? Terdamparkah mereka? )
Dulu, saya sering melihat koko dan cici menangis atau bersungut-sungut sepulang sekolah yang jaraknya cukup jauh dari rumah, dan ditempuh dengan berjalan kaki melalui pematang sawah. Atau sepulang bermain dengan teman-teman sebaya mereka. Setau saya mereka begitu biasanya jika anak-anak kampung memanggil mereka, “Cina… Cina… Cina” dengan gaya bahasa mengolok-olok. Ya! Koko dan cici paling tidak suka dengan panggilan itu. Makanya mereka lebih senang bermain dengan saya cucu simbah lurah yang masih ingusan dan sopan.
Babah Hongky, rajin sekali menyalakan batang hio tiap pagi didepan rumahnya sambil mengangguk-anggukkan kepala lalu menancapkannya ditempat yang selalu menempel pada dinding rumah. Suatu hari saya juga melihat babah mendapat kiriman berupa kotak besar yang isinya batang hio berdus-dus, jeruk mandarin berbungkus plastik merah, kue keranjang, amplop-amplop angpow merah dengan tulisan kanji dan pernak pernik lainnya seperti lampion dll.
Simbah dan tetangga-tetangga sebelah kebagian juga kue keranjang, jeruk dan kacang-kacangan yang katanya dikirim langsung dari sanak family nya di negeri Panda. Kalau kata simbah mereka sedang merayakan hari raya cina, lihat saja rumahnya dihiasi lampion merah-merah meriah sumringah, ada juga meja abu untuk menghormati leluhurnya yang telah meninggal dunia, ada foto leluhurnya, lilin merah besar, hio, kue, makanan dan buah-buahan yang ditata rapi. Saya senang sekali melihatnya, apalagi melihat cik usin, cik Kathy dan koko Abun berbaju rapi, klimis manis-manis. Terkagum kagum saat melihat mereka mengepalkan kedua telapak tangannya masing-masing sambil mengangguk-anggukan kepala dan dari mulutnya bersuara, “Gong Xi Fa Cai…, Gong Xi.. Gong Xi…” kemudian mereka berbicara mandarin yang merdu kedengerannya.
Kata Cik Usin, mereka sedang merayakan Imlek atau tahun baru Cina, jadi mereka bersuka cita dan sembayang bersama. Dengan polos saya bertanya, “tapi kenapa koko dan cici selalu menangis kalau dipanggil cina? Sayang saya lupa apa jawab cik Usin waktu itu. Yang jelas simbah juga pernah berpesan saya tidak boleh suka ikut-ikutan mengolok-olok dengan sebutan Cina! Saya harus mengormati perbedaan suku, bangsa dan agama, simbah juga menambahkan bagimu agamamu, bagiku agamaku…begitu
Ini tanggal 23 Januari 2012 bertepatan dengan libur Imlek, saya jadi teringat koko dan cici lagi, sudah berpuluh-puluh tahun saya tidak mendengar kabar beritanya. Terakhir saya dengar babah Hongky meninggal tidak lama dari sepeninggal istrinya. rumah didesa sudah dijual, lalu kemana cik Usin. Cik Kathy dan Koh Abun??? Saya sempat kembali ke desa dimana saya menghabiskan masa kecil bersama mereka saat simbah lurah wafat, dan saya lihat rumah babah Hongky sudah rata dengan tanah. Hingga saat ini saya sudah tidak pernah lagi singgah ke desa nan jauh disana.
Haiya… saya jadi kangen sama cici dan koko, haiya… dimana lu olang, Gong Xi Fa Cai koko…cici… Gong Xi.. Gong Xi…