Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Hari Penggantungan Itu

13 Januari 2014   14:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:52 61 0
"Naas ... naas ... naas ... naas ... naas ... ."

Kata - kata itulah yang terus digumamkan penduduk kota raja, yang sejak pagi buta itu berkumpul di alun - alun. Para wanita dengan kain menutup di kepalanya dan sisanya terjuntai hingga setengah tubunya, sambil menepuk - nepuk dada. Para lelaki, dengan kain sarung penutup dinginnya pagi, membungkus tubuhnya.

Pagi itu memang muram. Sejak semalam mendung menggantung, laksana tangis haru kesedihan menyesak dada sang alam. Seolah menyatu dengan hati penduduknya. Rantak merah di timur tak mampu menghalau kabut pagi. Mendung dan kabut tetap memenuhi alun - alun kota raja di mana di tengahnya tugu menara berdiri gagah. Puncaknya yang  berlapis emas, seolah musnah meleleh hilang. Semakin ke atas semakin samar, lalu sama sekali hilang. Hanya kabut pagi yang nampak.

Tua muda masyarakat kota raja makin menyemut. Dari empat penjuru mata angin, barisan warga terus mengalir ke alun - alun. Mereka ingin menjadi saksi, saksi keberanian seorang muda akan janjinya.

"Apakah benar dia akan menepati janjinya?" Tanya seorang laki - laki kurus dengan sarung menutup kepala hingga sebagian wajahnya dengan suara berbisik. "Kita tunggu saja, dia seorang yang pemberani dan selalu menepati janji." Jawab orang di sebelahnya dengan suara lebih lemah, seolah takut percakapannya didengar yang lain.

Menit demi menit berlalu. Bumi pun tetap muram berkabut. Rumput di sekitaran alun - alun masih terus memeluk embun, menimang berayun, tak rela lepas menembus bumi. Kesenyapan masih menyelimuti. Hanya  mata - mata warga kota rajalah yang riuh berbicara, menatap, menggeleng dan mengangguk.

Namun setelah sekian menunggu, keresahan pun mulai menyebar. bisik - bisik makin mengeras seiring sembulan sang surya. Embun menghilang, kabut naik terbang mengangkasa dan terang meraja. Wajah - wajah makin nyata. Sarung mulai turun jadi pengikat pinggang, kain para wanita menyelempang dipundak. Kesenyapan berubah menjadi riuh, saat iring - iringan kereta memasuki alun - alun kota raja. Para pengawal beriring rapi di sekitar kereta. Sesekali mengepal dan mengacungkan tangan ke atas tanda kebanggaan. Kereta kuda berhenti tepat di bawah menara, di mana sebuah panggung telah dipasang.

Keriuhan terus menjadi, terlebih saat seorang pemuda gagah lagi tampan keluar dari kereta lalu naik ke panggung. Warga kota raja makin bergemuruh. Teriakan dan tepuk tangan saling bersusulan saat sang pemuda mengangkat ke dua tangannya memberi salam balasan. Lalu senyap nyap saat tangan sang pemuda itu dikatubkan di depan dada.

"Warga kota raja yang saya cintai, terima kasih sudah hadir di alun - alun kota raja ini."  suara sang pemuda menggelegar, memecah kesenyapan. Lalu sepi lagi. Mata - mata menyorot tajam ke panggung menunggu dengan menggebu, kata - kata lanjutan sang pemuda. " Hari ini aku akan mepati janjiku. Ini hari kebanggaan bagiku, karena aku  akan menunjukkan kepada seluruh warga kota raja akan kesetiaan ku pada janjiku sendiri. Aku ingin memberi contoh bagi yang lain, tentang makna sebuah janji. Ini bukan hari yang naas. Ini hari yang harus dikenang oleh warga kota raja, sebagai hari bersejarah di mana para pelayan warga kota raja, harus mendahulukan kepentingan warga. Wargalah raja sesungguhnya. Saat saya terlena, dan membiarkan warga kota raja menderita karena kelalaian saya, seperti janji saya, saya siap untuk digantung di puncak menara alun - alun kota raja ini." Warga kota raja membisu, dan kesenyapan melanda. Tak ada yang berani berkata - kata. Ada yang air matanya mulai menetes, ada yang tersenyum bangga, ada yang mematung tanpa ekspresi.

"Kematian dengan cara begini bukanlah aib. Kematian seperti ini adalah rahim dari keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh warga kota raja. Kematianku akan melahirkan pemahaman baru akan arti pelayan warga kota. Tidak boleh main - main dengan mementingkan kepentingan sendiri dan golongan. Aku dengan bangga memilih jalan mulia ini, demi kalian semua seluruh warga kota raja!" Tepuk tangan dan sorakkan pun pecah membahana.

"Tak perlu ada yang bersedih. Tak boleh ada air mata. Ini bukan hari yang menyedikan, juga bukan hari  kemalangan. Ini jalan kebanggaan dan kebahagiaan yang kupilih. Banyak kenikmatan yang sudah ku dapat, juga sanjungan yang membuatku mabuk dan lupa diri, hingga aku mengira diriku raja.  Ini hari pertobatanku demi kalian seluruh penduduk kota raja. Cam kan ini, jika kelak ada pelayan bagi warga kota raja yang ingkar janji, jalan seperti akulan yang harus ditempuh. Puncak menara kota raja inilah rumah terakhirnya. Biarkan seluruh warga kota raja dapat melihat, juga alam sekalian isinya. Tak ada yang boleh bermain - main dengan jabatan sebagai pelayan warga kota raja. Camkanlah ini agar kebahagian, kesejahteraan, keadilan menjadi milik mu berserta anak cucumu. "

Kesunyian kembali meraja saat sang pemuda mengakiri kata - katanya, lalu berjalan dengan gagahnya mendekat ke arah kaki menara. Di sana seutas tali menjuntai dari puncaknya, siap mengantarkannya ke alam kebanggaanya. Saat matahari sepenggalah tingginya, tubuhnya tergantung gagah di puncak menara. Sisa senyum dan kebanggaan akan pilihannya, masih tersisa di antara kesakitan derita penghantar ajalnya.

Seluruh warga kota raja mematung memandang tubuh tak bernyawa di puncak menara kota raja. Mereka masih belum percaya, pemuda gagah telah berani menepati janjinya walaupun harus mengorbankan nyawanya, demi kesejahteraan, keadilan dan kebahagiaan warga kota raja dan seluruh anak cucunya.

(Hanya fiksi semata)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun