Atau,
Ibaratnya, suka sama satu minuman; matcha latte. Mau dicoba berulang kali pun rasanya tetap sama. Kecuali, dengan pembuat yang berbeda, bisa jadi rasanya juga ikut beda. Namun yang jadi permasalahannya, gimana kalau kita cuma suka dengan satu tangan? Lohh, gak bahaya?
Aku pernah membaca buku dengan judul yang sama secara berulang. Semuanya gak ada yang beda---masih tetap sama. Pun dengan perasaan saat pertama kali membaca prolog. Awalnya, senyum-senyum sendiri, sampai ke bab pertama, kedua, hingga ke pertengahan. Aku mulai membenci tokoh-tokoh pendukung yang membuat konflik. Padahal, tanpa konflik cerita itu bakalan hambar kan? Tapi kenapa aku begitu membenci konflik? Hingga mulai mendekati akhir cerita, aku semakin membenci semuanya.
Ending yang tak sesuai ekspektasi, bahkan aku bertanya-tanya. 'Haruskah ada ending dalam suatu cerita?' Bagaimana jika cerita itu tidak ada akhir? Bukankah itu tanda jika cerita terus berlanjut?
Bahkan kebiasaan menyebalkan ini ikut terbawa dalam kehidupan nyata. Aku mencoba untuk kembali mengulang suatu hal. Hingga kejadian menyesakkan itu pun ikut terulang. Bodohnya. Aku tertawa saat sadar. Kenapa perlu mengulang jika semuanya berujung sama?
Benar, mungkin tidak dengan begitu caranya. Hubungan yang sudah rusak jika ingin diulang kebanyakan akan berakhir sama. Harusnya, sejak awal tidak perlu adanya kata 'mengulang'.
Sebab, manusia berhak kembali jika memang sudah ditakdirkan, tetapi menurutku tidak lebih logis lagi jika ingin kembali mengulang. Cukup dengan kembali sebagai teman, tidak sebagai bagian dari masa lalu yang terulang.
Sampai sini paham kan?