Buat yang baca judulnya dan berharap ini adalah review novel Voyage au centre de la Terre (Journey to The Center of The Earth)-nya Jules Verne, silahkan tutup tab ini karena anda akan kecewa. Ini adalah curhat (tanpa) colongan, yang ditulis dalam kondisi badan masih remuk redam sisa caving di Buniayu weekend kemarin. Buat yang masih minat baca, silahkan lanjut ke paragraf berikutnya, kalo bisa sambil putar lagu Going Under-nya Evanescence buat backsound.
Now I will tell you what I've done for you // 50 thousand tears I've cried // Screaming, deceiving and bleeding for you // And you still won't hear me // going under
Don't want your hand this time - I'll save myself // Maybe I'll wake up for once // Not tormented daily defeated by you // Just when I thought I'd reached the bottom // I'm dying again
I'm going under // Drowning in you // I'm falling forever // I've got to break through // I'm going under
Blurring and stirring - the truth and the lies // So I don't know what's real and what's not // Always confusing the thoughts in my head // So I can't trust myself anymore // I'm dying again
I'm going under // Drowning in you // I'm falling forever // I've got to break through // I'm...
So go on and scream // Scream at me I'm so far away // I won't be broken again // I've got to breathe - I can't keep going under // I'm dying again
I'm going under // Drowning in you // I'm falling forever // I've got to break through
I'm going under // I'm going under // I'm going under
(Evanescence)
Disclaimer: Sekali lagi, ini curhat blak-blak-an, bukan curhat colongan, apalagi liputan.
Semua berawal dari thread di Forum NGI berjudul Update event Buniayu 26-27 Mei 2012 (http://ngi.cc/tw7). Rada kaget karena list peserta udah segambreng, apalagi quota Regional Bandung yang cuma 20 orang udah full. Alhasil modal nekat langsung transfer ke rekening Fahri, trus reply thread bilang udah bayar, hehe.. Lucky me, ada yang cancel jadi masih bisa ikutan. Infonya, aktivitas caving bakal dibagi dua: caving di gua horizontal di hari pertama dan caving di gua vertical di hari kedua. Konon, caving vertical jauh lebih menantang dibanding yang horizontal, jadi ceritanya mau save the best for last. Pembicaraan di forum berkembang dari hitung-hitungan biaya adventure, transportasi baik dari Jakarta maupun Bandung, dan penginapan (guest house dan saung) yang di foto terlihat kurang seksi, sampai akhirnya pada diminta bawa tenda. Berhubung saya nggak punya (dan males ngediriin) tenda, jadilah cuma berbekal sleeping bag andalan dengan niat mulia akan ngampar dimana aja yang ada atapnya. :D
The D-day! Utada Hikaru bernyanyi mulai jam 3 pagi, kekeuh membangunkan saya walaupun sudah di snooze berkali-kali. Setengah hati saya menyeret badan dari tempat tidur yang nyaman untuk mandi, sadar diri kalo dah nyampe lokasi suka males mandi karena dingin. :D Masih ngantuk juga. Maklum malam sebelumnya sempat berjuang menembus macetnya Cikampek-Bandung, demi acara CouchSurfing Bandung di Observatorium Bosscha. Nyampe Bosscha dah pada bubaran gitu, cuma kebagian foto-fotonya aja. Gapapa lah udah pernah juga neropong bulan, Mars, ama Saturnus disana. Kelar mandi, buru-buru deh ke DU buat ngumpul bareng ama anggota Forum NGI Regional Bandung. Nyampe sana jam 4 pas, baru ada dua orang di dekat elf yang menurut tebakan saya adalah calon alat transportasi ke venue. Setelah 10 menit menunggu dan belum terlihat ada tambahan personel, maka saya meluncur cari burger dulu ke fast food terdekat yang buka 24 jam. Biasalah, kalo perut kosong kan takutnya ntar masuk angin di perjalanan.. (alibi! padahal mah emang dasar gembul..). Pas balik lagi ke DU, buru2 turun dari mobil karena kelihatannya udah rada ramean, tapi ternyata pasukan belum lengkap juga. Kelar ngabisin burger, kenalan-kenalan dulu ama teman-teman baru yang udah pada ngumpul, plus sempet foto-foto narsis dengan background elf. :p Pas nge-tek tempat duduk dibelakang driver, barulah ngeh kalo jaket ketinggalan di mobil. Untung suami cukup baik hati untuk balik lagi ke DU, tepat sebelum kita berangkat. Posisi duduk saya bersebelahan dengan Rika, Riky, dan Fahri, sementara Hani duduk manis di depan. Kurang tahu posisi di belakang gimana sih, yang jelas jumlah peserta dari Bandung kata Fahri ada 17 orang. Cuss…
Perjalanan yang lumayan panjang dengan rute berliku layaknya roller coaster dan medan yang mengocok perut sukses membuat beberapa teman mengeluarkan isi lambung waktu Pak Oka (driver elf) berhenti untuk nanya jalan. Sempet salah belok di samping pangkalan ojeg Buniayu bersponsor rokok warna cokelat, yang membuat kami nyaris nyasar ke suatu madrasah. Jalannya sempit pas satu mobil, dengan jalur turunan curam dan pinggiran jalan yang berbatu, cukup menyulitkan untuk putar balik. Beberapa dari kami sampai ikut tahan nafas lho.. Kekuatan mesin elf menanjak dan kegesitan Pak Oka mengoper persneling inilah yang membuat teman-teman sepakat bahwa saat putar balik dengan elf termasuk dalam agenda petualangan team Bandung. Doa sebelum perjalanan yang saya panjatkan sebelum berangkat dikabulkan, kami sampai di lokasi (wilayah karst di Kawasan Wana Wisata Buniayu, Desa Kerta Angsana, Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi) dengan selamat.
Kedatangan kami disambut oleh kue moci khas Sukabumi dan welcome drink berupa teh panas yang disajikan dalam poci dan cangkir kaleng yang oldies. Sambil menikmati moci, kami menyimak penjelasan Pak Ferry dari Buniayu Adventure mengenai aktivitas yang akan kami lakukan disini. Beberapa teman yang kelebihan energi mengajak jalan-jalan seputar saung dan main permainan anak-anak yang pake lari-larian, saya sendiri memilih kembali mengisi dan menghangatkan perut di warung seberang saung (hmm.. memang gembul!). Begitu team Jakarta datang, tim Bandung menghentikan permainan mereka untuk ikut bergabung ke saung, untuk briefing bareng. Waktunya makan siang. Menunya sih sederhana, nasi plus ayam goreng, tempe goreng, sayur asem, serta lalap sambal dan kerupuk. Meskipun menunya nggak istimewa, makan siang ini terasa berbeda. Mungkin karena dinikmati bersama teman-teman baru, beralas tikar ditengah hamparan rumput, dihembus semilir angin, dengan pemandangan lutung berlompatan di pohon pinus. Hayah! Etapi seriusan, kita makan sambil nontonin lutung, yang bisa jadi sedang nontonin kita juga, ngarep diajak makan siang bareng. :p
Selesai makan, teman-teman pada sibuk memilih sepatu boots dan helm yang akan dipakai. Karena nggak mau berebutan, saya nunggu sepi aja. Sepatu boots-nya jangan dibayangin keren kayak di toko-toko peralatan musim dingin, ya. Ini sepatu boots karet biasa, mirip kayak yang dipake Pak Tani di sawah. To be honest, saya nggak ngerti ukuran boots. Kaki saya yang biasa pake sepatu kets ukuran 38, tampak tenggelam dalam sepatu boots ukuran 28. Malah mungkin kedua kaki saya muat dalam sebelah sepatu. (mulai lebay deh!) Nyari yang ukuran lebih kecil udah nggak ada, jadi pasrah aja dengan sepatu boots kegedean, tanpa sadar bahaya yang mengintai. Nggak seperti kaki yang ribet cari sepatu yang pas, helm pertama yang saya coba cukup pas di kepala. OK, sudah keren sekarang.. Fotografer, ayo foto kami! *narsis mode on*
Begitu semua siap dengan helm dan sepatu boots, kami diajak Kang Hamdan membentuk lingkaran untuk melakukan gerakan senam yang sangat sulit. Mau tau seberapa sulit senam yang kami lakukan? Gerakan pertama: kepalkan tangan kanan di samping kepala, gerakkan memukul kedepan dan kebelakang seperti tarian purba pemanggil hujan, sambil berhitung satu sampai delapan. Gerakan kedua adalah gerakan serupa dengan gerakan pertama, tapi dilakukan dengan tangan kiri. Gerakan ketiga adalah menghentakkan kaki kanan sambil berhitung satu sampai delapan, dan tentunya kalian sudah menebak bahwa gerakan keempat serupa dengan gerakan ketiga tapi dilakukan dengan kaki kiri. Terdengar mudah? Coba dulu! Gerakan sesederhana inipun masih ada yang salah lho, contohnya salah satu peserta terlalu bersemangat sehingga saat dikomando untuk melakukan gerakan pertama, yang terjadi adalah dia menggerakkan tangan dan kaki secara bersamaan, lebih heboh dibandingkan tari pemanggil hujan. :D Seolah tak puas dengan kekompakan kami melakukan gerakan senam, Kang Hamdan memanggil Jho untuk memimpin senam. Hitungan satu sampai delapan diganti dengan Bahasa Minang: ciek, duo, tigo, ampek, limo, anem, tujuh, delapan! Jho bolak-balik berpesan jangan sampai salah mengucapkan ampek alias angka empat, karena didengernya jadi nggak enak. Sampai sekarang masih nggak ngerti, kira-kira apa arti ambigu dari ampek yang salah ucap itu. Sukses dengan senam versi Minang, kami berdoa bersama untuk kelancaran acara caving hari ini.
Dengan sepatu boots kegedean, sungguh bukan suatu hal yang mudah untuk menuruni puluhan anak tangga menuju mulut gua. Beberapa kali kaki saya terpeleset dalam sepatu, meskipun sudah memakai kaos kaki yang lumayan tebal. Kami berbaris tidak rapi, mengikuti para pemandu yang mengenakan helm ber-api memasuki gua. Yup, api. Api beneran lho, bukan cuma headlamp biasa. Tinggi apinya sekitar 3 hingga 5 cm, bisa disetel seperti korek gas yang biasa untuk menyalakan rokok. Terlihat ada selang kecil yang menghubungkan helm dengan tabung gas. Belakangan saya baru tahu, itu namanya carbide lamps, sementara gas yang dibakar adalah acetylene (C2H2). Saya sendiri pake headlamp mungil berkekuatan tiga baterai ukuran AAA. Biarpun mungil, headlamp ini bersejarah lho.. Ini hadiah ulang tahun dari anak-anak buah saya di departemen lama. Dari kegemaran saya mencoba berbagai aktivitas luar ruangan mulai dari parasailing, rafting, paragliding, dan belakangan juga diving, rupanya mereka bisa menebak suatu saat saya akan caving. They know me so well, hiks… jadi terharu.
Di mulut gua, pemandu menjelaskan zonasi dalam gua. Yaitu zona terang, zona senja, dan zona gelap abadi. Dari namanya saja sudah kebayang, kalo di zona terang kita masih bisa melihat dengan bantuan cahaya matahari yang masuk. Di zona senja, intensitas cahaya sudah berkurang, jadi remang-remang seperti waktu senja. Zona gelap abadi, wah, ini saya tebak seperti merem aja, udah nggak bisa lihat apa-apa saking nggak adanya cahaya. Hiy… saya sedikit bergidik membayangkannya. Masuk dalam gua, sebenarnya ada di paling bawah daftar to-do-list saya. Alasannya sederhana, saya takut gelap. Ini nggak becanda, seumur hidup saya selalu berusaha tidur dengan lampu menyala. Di sisi tempat tidur saya selalu ada sebuah senter yang berada dalam jangkauan tangan. Sewaktu-waktu mati lampu di tengah malam, saya akan terbangun dengan reflek pertama mencari dan menyalakan senter, lalu tidur dengan senter menyala hingga saya bangun keesokan paginya. Nah, saya nggak mau seumur hidup mengidap Nyctophobia alias takut akan kegelapan, karena umumnya fobia ini umum pada anak kecil dan hilang begitu beranjak dewasa. Segede gini masih takut gelap? Kalah ama Tasya dong! :p
Setapak demi setapak kami masuk dalam gua. Kembali ke masalah penerangan, rupanya pernah ada instalasi lampu dalam gua untuk keperluan wisata. Sayangnya (atau untungnya), sekarang semua penerangan tersebut tidak berfungsi. Sementara headlamp yang saya pakai cuma bisa menerangi satu-dua langkah kedepan, api yang ada di helm para pemandu bisa menerangi radius dua meter kedepan, keatas, dan kesamping. Benar saja, saat masih di zona terang dekat mulut gua, keindahan stalactite dan stalagmite masih dapat terlihat tanpa bantuan headlamp. Oya, barangkali ada yang lupa, stalaktit itu yang menggantung di langit-langit gua, terbentuk dari deposit rembesan air yang menetes kebawah karena gravitasi. Kalo stalakmit, itu yang mencuat dari lantai gua, terbentuk dari deposit tetesan air dari langit-laingit gua. Nah, saat stalaktit dan stalakmit bertemu, bisa membentuk pilar yang disebut column. Tangga buatan berubah menjadi jalan setapak yang menyempit. Setiap menemukan lokasi yang (menurut kami) keren, pasti saya dan teman-teman akan mendaulat para fotografer untuk memotret. Senangnya bisa narsis rame-rame, hehe.. Karena ramai, saya nggak takut lho masuk ke zona senja. Selain memang masih remang-remang cahaya matahari, headlamp yang kami pakai juga cukup untuk menerangi area sekitar. Lantai gua yang basah dan tergenang di beberapa bagian membuat langkah kami mulai berkecipak menuju lorong-lorong gua yang lebih dalam. Sampai di satu lokasi terdapat beberapa kursi dan sebuah meja buatan, yang menandakan bahwa lokasi tersebut adalah ‘ruang tamu’. Beberapa kali kami bertemu dengan jangkrik dan laba-laba, yang bentuknya sedikit berbeda dengan hewan sejenis yang ada diluar gua. Di ujung lorong ada kolam dengan air setinggi paha, beberapa teman nyebur dan berfoto narsis disana. Kembali ke arah ‘ruang tamu’, disini kami diajak untuk merasakan darkness sensation, semua headlamp dan senter dimatikan, disisakan satu lampu api di helm pemandu. Sejenak kemudian satu-satunya penerangan itu dimatikan. Gelap total. Saya coba menutup dan membuka mata, nggak terasa bedanya. Saya dekatkan tangan ke arah muka, sampai sekira satu senti didepan mata, tetap nggak kelihatan. Saat itu karena tau pasti banyak orang, saya nggak takut, padahal gelap total. Perlahan pemandu menyalakan lampunya, diikuti oleh teman-teman menyalakan lampu mereka satu persatu. Fiuh! Saya merasa jadi orang paling bahagia saat itu.
Kami melewati jalan yang sama untuk kembali ke arah mulut gua. Saya senang sekali melihat sinar matahari yang masuk, tetapi beberapa langkah sebelum anak tangga keluar, kami dibelokkan kekanan. Melalui suatu celah sempit yang ngepas badan, satu persatu kami melewati lorong sempit dengan langit-langit rendah sehingga harus merunduk. Sesekali ada rekahan di lantai goa, sehingga untuk melewatinya harus berjingkat. Setelah lewat area yang agak luas seperti aula, kami kembali dihadapkan dengan celah sempit untuk dilalui. Terlihat semburat cahaya matahari dari atas, yang terhalang bebatuan berlumpur. Saking sempitnya celah itu, kami tak lagi sekedar berjalan, tapi juga merayap. Yak, merayap macam cicak. Beberapa kali helm saya terbentur langit-langit gua saat saya berusaha mengangkat muka untuk melihat kedepan. Parahnya lagi, saking licinnya lumpur dan longgarnya ukuran sepatu boots, sekali waktu sepatu boots saya meluncur bebas mengenai helm seorang teman yang berada dibawah. Bletak! Duh, kasihan. Maaf, ya. Tak hanya dia berbaik hati merangkak maju untuk memberikan sepatu boots, tapi juga memasangkannya di kaki kanan saya karena posisi saya tak lagi memungkinkan untuk memakai sepatu boots sendiri. Khawatir dengan insiden tersebut, saya memintanya untuk berhenti dulu supaya saya bisa naik dulu sampai lolos ke permukaan tanah. Merangkak sampai mulut goa, saking senangnya melihat cahaya matahari, saya tidak lagi konsentrasi dengan kondisi pijakan yang licin. Dalam sekejap saya merosot turun sekitar dua meter dengan posisi kanan badan terantuk bebatuan berlumpur. Susah payah saya berusaha kembali merangkak ke mulut gua, dan akhirnya berhasil keluar. Whoozah! Mengikuti jalan setapak, kamipun sampai kembali ke anak tangga di depan mulut gua tempat kami masuk tadi. Waduh, perjanjiannya kan hari ini goa kering n horizontal, gimana besok yang basah dan vertical ya?
Kembali ke saung, kami ngantri kamar mandi untuk bebersih, lalu makan malam dengan sayur sop yang hangat. Agak kecewa karena acara sharing malam ini diundur karena pada mau nonton bola, Indonesia vs Internazionale. Sementara yang lain heboh nonton bola sambil membersihkan alat-alat fotografi, saya pun diam-diam menyusup dalam sleeping bag. Ketenangan saya tidak berlangsung lama, karena tiap kali ada gol atau hampir gol, gemuruh sambutannya mengembalikan kesadaran saya. Alhasil ketika Dicky dan Mila mengajak saya keluar untuk barbeque dan foto-foto, sayapun keluar dari kepompong. Diluar sudah ada bakar-bakaran suatu tumbuhan yang belakangan diketahui bernama trubuk. Tampangnya seperti rumput versi besar berdiameter sejari, dengan daun berlapis seperti jagung. Trubuk yang selesai dibakar, dikupas hingga memunculkan sebentuk batang rapuh seperti asparagus berwarna putih. Menurut saya rasanya campuran antara jagung dengan singkong, dengan tekstur rapuh seperti ketela. Disediakan juga kecap asin dengan potongan cabai untuk cocolan, jadilah trubuk cocol berasa ajaib. Untuk meredam keanehan itu, untungnya panitia sudah menyediakan bandrek special dengan rasa mantap. Manisnya pas, hangatnya mengaliri kerongkongan terasa sampai kedalam tubuh (mulai lebay lagi deh..). Tentunya acara barbeque trubuk dan minum bandrek juga diabadikan oleh para fotografer.
Kembali kedalam saung, pertandingan bola berakhir dan dimulailah sharing session dari Mas Cahyo Rahmadi mengenai wilayah karst dan kehidupan didalamnya serta Mas Sigit mengenai kelelawar. Jadi ya ternyata, binatang yang ada dalam gua dengan kegelapan abadi itu, sudah nggak menggunakan indera penglihatannya lagi (ya iyalah, mo lihat apa coba gelap begitu). Trus indera lain berkembang jadi lebih sensitif, misalnya sungut / antena jangkrik yang memanjang dan kaki laba-laba yang memanjang serta berbulu halus untuk menangkap arah angin, pigmen yang berkurang / menghilang sehingga ada yang namanya ikan transparan, dan ada juga ikan yang rongga matanya kosong dan cekung karena nggak punya mata sama sekali. Interesting! Tentang kelelawar, ternyata nggak semuanya hitam legam macam batman lho.. ada yang warnanya cokelat / cokelat muda, bentuk kepalanya pun bermacam-macam, dan struktur giginya juga berbeda, tergantung jenis kelelawar tersebut makan apa. Sambil menyimak penjelasan tersebut, saya pun kembali menyusup dalam sleeping bag. Sesekali acara ini diselingi intermezzo dengkuran dari beberapa teman yang sudah duluan menuju ke alam mimpi. Kelar acara sharing sekitar jam 11 lewat, semua mencari posisi masing-masing untuk tidur. Saya yang sebenarnya sudah sangat ngantuk, masih belum bisa tidur karena suara dengkuran teman-teman mulai bersahutan. Suaranya mirip seperti deruman motor Formula 1 yang saling berkejaran, membuat saya dan Mila tertawa terbahak-bahak sampai sakit perut. Bahkan Dicky yang sudah hampir pulas ikut terbangun dan tertawa-tawa.
Keesokan paginya saya bangun, sikat gigi, lalu meluncur ke warung menghangatkan perut (gembuuul!) menunggu sarapan siap. Sempat curi start memilih wearpack ukuran S yang terbatas, tak lupa sepatu boots yang berukuran lebih kecil dari 28. Saya berhasil menemukan sepatu boots kiri berukuran 27 dengan bagian telapak kaki yang retak halus, dan sepatu boots kanan tanpa ukuran yang kira-kira sama panjangnya. Setelah mengamankan wearpack dan boots, saya sarapan nasi goreng dengan suwiran ayam dan telur didalamnya. Setelah senam, peserta dibagi dalam 3 grup dengan membentuk lingkaran dan berhitung 1-2-3 tanpa cewek. FYI, cewek yang ikut acara ini cuma enam orang, jadi kami berhitung terpisah 1-2-3 supaya ada 2 cewek dalam tiap regu. Saya dan Jho tergabung dengan grup 3, dengan banyak member yang bawa kamera. Asyik! Grup 1 jalan duluan, disusul dengan Grup 2. Giliran terakhir Grup 3 melalui jalan setapak, melewati perumahan penduduk (ada kandang kambing juga lho!), dan saat sampai di lokasi, ternyata grup 2 masih berkumpul karena untuk menurunkan teman-teman satu persatu cukup memakan waktu.
Ini dia, turun dari vertical hole. Kami meminta para fotografer diturunkan terlebih dahulu, supaya ada yang motret kita turun dari bawah (tetep narsis!). Pemandu memakaikan harness dan webbing melingkari perut dan paha kami. Menurutnya untuk cewek nggak masalah, tapi cowok kudu hati-hati takut ada yang kejepit. :p Pemandu mengajari kami untuk memakaikan karabiner yang terikat dengan webbing di perut satu persatu saat berpindah dari satu tali ke tali lainnya, dan jangan melepaskan keduanya secara bersamaan (ya iyalah..). Giliran saya, waduh, deg-deg-an juga.. bakal diturunin kedalam gua dalam kondisi digantung. Lepas satu karabiner, pasang ke tali kanan, lepas satu karabiner lagi, pasang ke tali yang sama. Mendekat ke lubang. Pemandu memasangkan carabiner super gede ke harness yang melingkari perut, melepaskan satu carabiner dari tali dan memasukannya ke tali lain, menggantungkan satu carabiner lagi ke pinggan, lalu hoop.. saya menggantung. Saya melihat kebawah, gelap, nggak kelihatan apa-apa. Perlahan lahan saya diturunkan dengan tali yang terhubung dengan katrol, jadi berasa kayak ember yang diturunkan dalam sumur. Sambil berusaha mengerjap-ngerjapkan mata menyesuaikan dengan kegelapan dalam gua, saya mulai melihat bahwa ruangan dalam gua ini sangat luas. Saya mencoba memutar diri untuk melihat berkeliling, mengagumi struktur bagian dalam gua. Tak jauh dibawah, saya mulai melihat kelebat headlamp teman-teman. Reflek saya adalah bergaya dengan kedua jari membentuk huruf V sambil berteriak: “fotoin doooong!” (narsis akut!). Jadilah saya digantung sebentar untuk berpose, setelah beberapa jepretan, lanjut turun lagi sampai menyentuh lantai gua, dan dibantu untuk melepaskan karabiner dan harness. Woohoo… sampai juga! Nggak kerasa ih, 18 meter diturunin kayak ember. Hehe..
Setelah semua turun, di awal perjalanan kami sudah mulai bertemu aliran sungai. Di beberapa titik sepatu boots saya terendam air, sehingga saat bertemu lokasi yang agak kering, saya buru-buru meluruskan kaki keatas supaya airnya mengalir keluar. Jalan yang kami lalui lebih berliku dibanding kemarin, dan sebagian besar terendam aliran air sungai bawah tanah dengan kedalaman bervariasi. Nggak cuma ada stalaktit dan stalagmit yang mencuat dari langit-langit dan lantai gua, tapi ada juga bebatuan berlapis-lapis yang terbentuk dari tetesan air dari atas. Ada beberapa yang bentuknya menyerupai payung atau kanopi, dengan alur yang terbentuk dari aliran air, dan berakhir membentuk stalagtit di ujung-ujung kanopi. Keren deh pokoknya. Pas nyampe aliran sungai dari luar gua yang melalui bebatuan bertingkat yang disebut air terjun bidadari, Jho dan saya menawarkan pada para fotografer untuk melengkapi objek tersebut dengan para bidadari, yaitu kami (wuuuu!). Sesekali kami bertemu dengan para penghuni gua, jangan horror dulu, maksudku itu jangkrik dan laba-laba. Di satu titik kami berhenti untuk istirahat, minum, dan makan wafer cokelat. Lah! Di tengah perut bumi kok bisa ada wafer cokelat? Ada dong, pemandu kami yang baik hati memberikannya sebagai penyemangat. Sambil beristirahat, kami juga merasakan sekali lagi darkness sensation. Sama seperti kemarin, saya berusaha mendekatkan tangan ke muka. Lembabnya sarung tangan yang basah dan berlumur lumpur tercium, tapi tetap tidak terlihat. Jalur yang ditempuh semakin menantang, dengan batuan karst yang semakin runcing, serta rekahan di lantai gua yang mengharuskan kami melompat, merayap, dan juga ngesot. Beberapa kali ada bebatuan yang harus dilewati dengan sedikit memanjat, lain waktu kami harus merangkak penuh lumpur karena kalo berjalan sudah nggak bisa ngangkat sepatu yang terbenam. Syukurnya sepatu saya kali ini nggak segede kemarin, walaupun tetap kegedean dan susah diangkat kalau sudah nancep di lumpur. Puncak dari perjuangan setelah melalui medan berlumpur adalah meluncur turun pake pantat, untuk kemudian naik tangga dengan kondisi diikat webbing. Oya, webbing yang dikaitkan ke badan itu pertama dilewatkan ke tangan kanan, disilangkan di belakang punggung, lalu dilewatkan tangan kiri. Webbing itu dikaitkan ke tali yang ditarik katrol dari atas, untuk mengamankan barangkali kita terlepas dari tangga. Nah, posisi tangga itu agak mepet dengan dinding tebing berlumpur, sehingga menyulitkan untuk dinaiki. Sesekali ujung sepatu boots saya kegencet antara tangga dengan dinding, sehingga saya stuck ditengah dan nggak bisa bergerak. Saat seperti itulah saya meminta bantuan pemandu yang dibawah untuk menarik tangga tali, untuk melonggarkan jarak tangga dan dinding gua. Sampai diatas, webbing dilepaskan oleh pemandu. Kami yang belepotan lumpur sampai ke muka udah tinggal ketawa-ketawa, sambil menunggu teman yang naik keatas. Setelah sedikit merayap gaya cicak, lalu naik tangga, sampailah kami di mulut gua dan disambut sinar matahari dan welcome drink minuman isotonic dingin tersegar yang pernah saya minum (lebay lagi!).
Kami diangkut denggan mobil pick up yang dulunya dipakai untuk mengangkut kayu, karena tak akan ada angkutan umum yang bersedia mengangkut manusia gua penuh lumpur. Tujuan kami adalah air terjun Bibijilan, tempat kami nyebur, membersihkan wearpack, helm, dan sepatu berlumur lumpur. Setelah agak ringan tanpa lumpur, kami kembali diangkut menuju saung melewati jalur terjal dan berbatu. Setelah mengantri mandi, kami makan siang dengan menu nasi plus sayur kari trubuk (itu lho, yang semalam dibakar). Dengan foto bareng dibawah spanduk, selesai sudah acara masuk gua bareng Forum National Geographic Indonesia. Team Regional Bandung dan Jakarta bersalam-salaman, lalu menuju kendaraan masing-masing untuk pulang. Backsound yang cocok buat akhir cerita ini adalah lagu ini..
What doesn't kill you makes you stronger // Stand a little taller // Doesn't mean I'm lonely when I'm alone
What doesn't kill you makes a fighter // Footsteps even lighter // Doesn't mean I'm over cause you're gone
What doesn't kill you makes you stronger, stronger // Just me, myself and I
What doesn't kill you makes you stronger // Stand a little taller // Doesn't mean I'm lonely when I'm alone
(Kelly Clarkson)