Yang terjadi pada penyanderaan kali ini, di mana ketika 28 Agustus 1973 para penyandera ini dilumpuhkan, polisi malah dibuat kebingungan ketika para sandera justru mencintai penyandera dengan menganggap bahwa polisi yang akan membebaskan malah dianggap sebagai ancaman. Â
Tak hanya polisi, publik pun tidak mengira hal ini terjadi ketika Jan dan Clark dilindungi oleh semua sandera, memeluk dan menciumi mereka saat diangkut polisi. Â
Bagaimana mungkin para sandera mempunyai ikatan emosional dan menyayangi penyandera bahkan membela mereka? Bahkan diberitakan pula sandera yang bernama Kristin telah jatuh cinta dengan salah satu penyandera dan membatalkan pertunangan dengan pacarnya setelah dibebaskan. Bahkan para sandera membentuk ikatan emosional dengan para pelaku, bahkan menolak bersaksi di pengadilan dan membela pelaku.
Kondisi ini jelas membingungkan dan mendapat perhatian di masyarakat saat itu, segudang pertanyaan inilah yang pada akhirnya membuat kriminolog dan psikiater Nils Bejerot mencetuskan kondisi psikologis ini pertama kali dengan sebutan Stockholm Syndrome. Â
Beberapa tahun kemudian, Stockholm Syndrome ini setelah dipelajari dengan seksama dan intens pada akhirnya menemu pada ruang-ruang yang lebih kecil ibarat mengalami proses dematerialisasi dalam teori fisika kuantum. Â
Di mana sebuah benda jika dipecah jadi molekul, dipecah lagi jadi atom, dipecah lagi menjadi partikel dan sampai menjadi quanta. Quanta inilah energi terhalus yang membentuk seluruh benda padat (empty). Quanta tak terlihat hanya dengan energi dia nampak nyata. Seperti Albert Einstein bilang, sebelum semua mengada semua tak lebih imajinasi, imagination is everything.
Dunia sudah berkembang pesat, dari pendirian World Wide Web (90an), pemetaan genom (2003) hingga penemuan smartphone dan kecerdasan buatan (AI) yang memengaruhi kehidupan sehari-hari manusia. Â
Smartphone, perangkat kecil yang bisa ditenteng ke mana-mana itu memungkinkan tegur sapa tanpa batas dan memberi akses instan ke pengetahuan kolektif, kapan dan di mana saja. Ia memungkinkan tiap pengguna untuk berkembang cerdas, namun sering menimbulkan efek sebaliknya, sebab informasi yang terpampang sekadar hiburan murahan, membuat malas berpikir dan tampak bodoh.
Dan dalam penelitian mengenai konten pada platform sosial media (Facebook, Instagram, Tiktok dll) membuktikan bahwa efek sebaliknya dari perangkat kecil ini menuju keniscayaan. Prosentase kunjungan pada konten berbau kekonyolan, seksualitas dan kekerasan lebih besar daripada konten-konten yang beraroma pengetahuan. Dalam hal ini juga bahwa croc brain yang dimiliki manusia seperti terstimulus dan menemu kemanjaan untuk mencecap hal-hal negatif yang terpampang.
Pun begitu pada proses Pilkada serentak di Kota Semarang, "quanta" dari stockholm syndrome agaknya juga merembes pada ranah ini, ketika caci maki diartikan sebagai kritik dan didukung dengan riang gembira. Â
Vandalism pada APK dianggap sebagai ekspresi biasa. Teriak dan naik kursi di ruang debat calon wali kota dan wakil merupakan bentuk dukungan bahkan acungan jari tengah serupa salam silaturahmi. Sebenarnya ketika yang mengemuka dalam proses demokrasi ini adalah hal-hal di luar kepatutan, maka hal ini sudah mencederai akal sehat dan jauh dari kemartabatan.
Masyarakat harus disadarkan bahwa Stockholm Syndrome dengan segala macam turunannya bukanlah sesuatu yang membanggakan. Apalagi ketika dengan sadar membelakangi kebenaran yaitu sebuah tindakan yang mengacu pada tindakan membela atau membenarkan tindakan yang salah. Â
Dengan tidak mendukung ikatan emosional antara korban dan pelaku setidaknya "penyakit" ini tidak berkembang dan cenderung baik-baik saja.
Pun begitu proses menuju demokrasi yang sehat adalah keniscayaan, ketika kondisi Stockholm Syndrome beserta turunannya ini tidak diberi ruang atau kesempatan untuk berkembang. Â
Jika hal ini diabaikan bukan tak mungkin kesakitan akan selalu muncul di setiap pilkada. Dan kampanye damai, santun dan optimisme tentang demokrasi adalah kesiaan belaka.(John Doe)