Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Mengapa (Harus) Yoyok Sukawi?

4 Agustus 2024   12:42 Diperbarui: 4 Agustus 2024   12:44 72 1
EKSISTENSIALISME adalah aliran filsafat yang menekankan pada manusia, di mana manusia dipandang sebagai suatu mahluk yang harus berkeksistensi dengan mengkaji cara manusia berada dalam dunia dengan kesadaran yang dipunya. Boleh dikatakan bahwa inti eksistensialisme adalah manusia konkret, yang diartikan secara dinamis, sehingga ada unsur "berbuat" dan "menjadi", dengan begitu manusia dipandang sebagai seuatu realitas terbuka dan belum selesai, yang tersusun dari pengalaman-pengalaman konkret pula.

Keniscayaan eksistensialisme yang memandang manusia sebagai suatu yang tinggi dan keberadaan ditentukan oleh dirinya memiliki paradigma menarik dengan suatu penekanan bahwa ke"ADA"an manusia di dunia harus terus berkesadaran secara terarah. Dari eksistensialisme itu pula penekanan pentingnya eksistensi yang selalu diagung pada zaman modern, menitikberatkan penglihatan tentang fenomena terlebih dahulu.

Celakanya dunia modern yang ditandai neurotic mind, yaitu selalu "haus" dengan styles yang serba baru seringkali terjebak dalam fenomena "absurd", yang menurut Paul Virilio telah menggiring penganutnya ke arah ruang "epilepsi", yaitu ruang yang selalu meniscayakan kejutan dan frekuensi tinggi yang variasinya tak terduga. (Paul Virilio, The Aesthetics of Disappearance (New York: Semiotext[e], 1991).

Akselerasi ruang yang berganti dengan cepat menimbulkan pergantian jenjang waktu tak terduga, inilah yang menyemarakkan dunia modern dengan fenomena yang baru menjadi cepat kuno. Di mana predikat kuno atau "out of date" merupakan hantu yang menakutkan bagi para pengikut jiwa-jiwa modern ini. Tuntutan untuk modern ini karena terkena virus nACH (need for achievement), yakni dorongan untuk selalu mengejar kebutuhan atributif yang sekadar memenuhi tuntutan modern, padahal secara faktual kebutuhan tersebut tidak terlalu mendesak untuk segera dipenuhi (David McCelland, "The Impulse to Modernization", dalam Myron Weiner (ed.), Modernization: The Dynamics of Growth (Cambridge, Mass.: VOA Forum Lectures, 1966).

Dengan asumsi modern adalah meninggalkan sesuatu yang "kuno", maka kehendak untuk modern merupakan manifestasi untuk mengeliminir segala sesuatu yang menghambat laju "kehendak modern" itu. Asumsi-asumsi inilah yang terus berkembang linier dengan lajunya pandangan "modern" itu sendiri, modernitas yang kenyataannya telah diposisikan "sesuatu yang dicari banyak orang", pada saat yang sama kepentingan tersebut telah menjadi ideologi tersendiri, yang menurut Edwars Shils telah bertransformasi menjadi kehendak berkuasa. (Edward Shils sebagaimana dikutip oleh F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 150.).

Maka saluran efektif mengakses massa demi terwujudnya "kepentingan" tersebut adalah media. sehingga tidak salah ketika pada saat modernitas mengubah kesadaran manusia menjadi kesadaran massa, Diminic Strinati memposisikan media massa (TV, Internet, dll) menjadi satu-satunya "kiblat" masyarakat massa.

Media sosial yang dalam waktu belakangan ini menjadi salah satu senjata untuk mengedepankan eksistensi bagai babi buta telah sampai pada perhelatan yang akan berlangsung November nanti, yaitu Pilkada serentak. Berbondong para calon pemimpin ini memanfaatkan platform media sosial (Instagram, tiktok dan Xland) untuk mengedepankan eksistensinya dengan berbagai cara, yang kadang dengan flood content yang dihasilkan menimbulkan kemuakan.  

Karena masyarakat sendiri lambat laun sadar bahwa apa yang dilakukan calon pemimpin pada konten media sosial mereka lebih cenderung sebagai bentuk mempertahankan eksistensinya sebagai manusia, lebih jauh hal ini menimbulkan sifat malafide, yaitu kemunafikan yang lebih suka diatur untuk digariskan jalan hidupnya dan tidak mau menerima tanggung jawab kebebasannya.

Mengadaptasi Simone de Beavoir, calon pemimpin terbagi dalam sifat The Prostitute, di mana mereka selalu dengan rela dijadikan objek bagi siapa saja, menjadi apa saja, bisa apa saja, seolah mengerti dan paham semuanya. The Narsistic, banyak calon pemimpin yang menjadi sadar akan penampilannya dan berusaha untuk indah dilihat kemudian berusaha untuk memuaskan bagi siapa saja yang melihatnya. The Mystic, calon pemimpin yang menganggap dirinya lebih baik dari siapa saja, dan merasa menjadi pemimpin ideal.

Maka mengamati self branding para calon pemimpin Kota Semarang di media sosial belakangan ini, adalah salah satu cara mendeteksi dini kemampuan calon pemimpin ini dalam mengorganisir sebuah kota dan memanage seluruh penduduk yang ada di dalamnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun