Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Menguak Gejolak Kyoto Part 2

14 April 2014   03:04 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:43 31 0
Sembari menunggu dia membuatkan teh, aku memandangi langit malam yang terlihat dari jendela rumahnya. Bulan sabit yang menerangi malam bersama para bintang, membuatku merasakan kehangatan yang terpancar.

Entah mengapa kenangan masa kecil kembali muncul di hadapanku. Aku tak menyangka, Airen mirip dengan seseorang yang kukenal dahulu. Saat Airen menggenggam tanganku, aku jadi teringat saat gadis itu mengajakku untuk menemaninya jalan-jalan di taman. Mata bulat dan wajahnya mirip sekali dengan Airen, hanya rambutnya dahulu yang hitam dan pendek sebahu. Seseorang yang menjadi teman sepermainanku, dan ia pula yang menjadi salah satu alasanku untuk pergi ke Nagasaki. Ya, demi dia, aku ingin menjadi pendekar pedang yang terkuat dan terhebat, agar bisa melindunginya.

“Ai-chan, bagaimana kabarmu kini? “ tanyaku kepada langit malam, yang seolah menjadi saksi bisu kehadiranku di Kyoto. Tak sengaja aku mengucapkan pertanyaan itu, hingga kemudian terdengar langkah kaki yang memasuki ruang tengah.

“Rizuki-san, ini tehnya. “ Airen pun datang dengan segelas teh hijau yang ia bawa. Tapi, kurasakan keanehan saat melihat pipinya nampak memerah.

“Airen­-san, apa kamu tidak apa-apa? Maaf jika aku merepotkanmu. “

“Ah, tidak apa-apa kok. “

Tak tahu diriku dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Aku hanya berpikir ia sedang kelelahan.

“Airen-san, apa yang terjadi selama tiga tahun di Kyoto ini? Dan mengapa ada banyak sekali ninja di sini? “ aku pun memulai pembicaraan dengannya. Tampak ia mulai gugup saat mendengar pertanyaanku.

“Dua setengah tahun lalu, terjadi perang antara Kyoto dan Nagoya, yang dihuni para ninja terhebat. Tapi, Kyoto mengalami kekalahan setelah pemimpinnya, Izuno Kyoto tewas. Setelah itu, para petinggi ditawan, ataupun dihukum gantung. Sedangkan para pendekar pedang yang tersisa beserta para penduduk melarikan diri. “ ujar Airen.

“Lalu, mengapa kamu tetap berada disini, Airen-san? “

“Karena aku telah berjanji kepada seseorang, dimana ia ingin aku tetap disini, menunggu ia bisa kembali dengan mimpi yang ia ingin gapai. “ ujarnya. Kulihat matanya mulai berkaca-kaca saat mengatakan hal itu. Seolah aku memutar kenanganku tiga tahun lalu, saat berjanji kepada Ai-chan. Seolah kisah Airen mirip dengan aku dan Ai-chan.

“Apakah engkau tak takut kecewa jikalau dia mengingkari janjinya? “ tanyaku, mencoba membuka opininya terhadap orang tersebut.

“Aku sudah mencintainya, layaknya cintaku kepada orang tua yang telah membesarkanku. “ balasnya.

“Ngomong-ngomong kemana orang tuamu? Aku tak melihatnya sejak tadi. Ataukah engkau tinggal sendiri? “ aku mencoba mengalihkan pembicaraannya.

“Ibu telah meninggal saat ia melahirkanku. Sedangkan ayah saat ini ditahan oleh mereka. Aku mencoba untuk menyelamatkannya, tapi gagal. “

“Jadi, yang kamu lakukan pada waktu itu untuk mencari lokasi ayahmu dipenjara? “

“Iya. Tapi, mereka telah mengetahuiku. Mungkin, aku takkan bisa menyelamatkan ayah. “ air mata mulai membasahi pipinya. Aku pun merasa iba dengannya. Kuusap air matanya dengan jemari tangan.

“Airen-san, bolehkah aku membantu untuk membebaskan ayahmu dari penjara? “ aku mencoba menghiburnya dengan memberi pertolongan. Terlihat ia mulai menahan tangisnya. Setelah itu, kukecup keningnya, membuat ia merasa tenang.

“Apakah kamu yakin? Mereka sungguh kuat. “ ia tak yakin dengan perkataanku sebelumnya, meski ia juga telah melihat pertarunganku dengan para ninja itu.

“Memang, jikalau aku sendirian, aku takkan bisa mengalahkan mereka semuanya. Maka dari itu aku mempunyai rencana. “

“Rencana? “

“Ya. Rencana itu bisa menempuh dua tujuan sekaligus, yakni melibas para ninja itu, dan membebaskan ayahmu. Akan tetapi, aku memiliki satu permintaan. “

“Apa yang ingin kau minta, Rizuki? “

“Aku ingin engkau menemaniku. Dalam rencana ini, aku ingin meminta bantuan teman-temanku. Akan tetapi, mereka tinggal berjauhan. “

“Baiklah, aku mengerti, Rizuki. Tapi, bukankah aku akan menjadi beban jika menemanimu? Aku bahkan tak bisa bertarung sama sekali. “ tampak kegelisahan mulai merayapi wajahnya.

“Tak apa, Airen-san. “ lalu kuberikan sebuah pisau, yang kuambil sebelumnya dari ninja.

“Bawalah pisau ini. Gunakanlah saat musuh menyerangmu. “

“Te.. Terima kasih, Rizuki-san. “

“Sekarang tidurlah. Besok pagi, kita akan berangkat. “ ujarku.

Ia pun segera beranjak, menuju ruang tidurnya. Sementara  aku tetap di ruangan itu, memandangi pekarangan rumahnya. Kurasakan kejanggalan pada pekarangan rumahnya.

“Koak koak koak! “ terdengar suara burung gagak, yang terbang bergerombol di dekat pohon itu. Aku segera keluar, mencari sosok yang sedang bersembunyi.

“Burung gagak di malam hari? Tak seperti biasanya. “

Aku pun sedikit heran dengan suasana ini. Aku pun mulai menebak-nebak siapa sosok tersebut. Tapi, tetap saja tak terterka siapa orang itu.

“Apakah engkau telah melupakanku, Rizuki-san? “ terdengar suara lembut, yang disertai hembusan angin malam.

Tiba-tiba, seorang perempuan berambut pirang dengan yukata berwarna merah dan bermotif bunga sakura berdiri di atas dahan pohon.

“Huft, ternyata Karasu Hana. Kau membuatku takut saja, Hana. “

Karasu Hana, ia adalah salah seorang sahabatku di Kyoto. Bersama Ai-chan, kami bertiga juga satu sekolah dan berada di kelas yang sama. Ia lebih sering menggunakan sai sebagai senjata untuk menyerang ataupun bertahan, meskipun aku sering melihatnya menyelipkantanto di yukatanya.

“Rizuki, kemana saja dirimu selama ini? Sampai bosan aku mencarimu. “

“Maaf, aku selama ini pergi ke Nagasaki. “

“Nagasaki? Kenapa kau tak mengajakku juga? “ ia pun memegang pundakku.

“Aku benar-benar kangen sama kamu. “ berkaca-kaca matanya saat kulihat. Lalu, dia memelukku, melepaskan rasa rindu yang lama tak terbalas.

“Aku mengira engkau telah mati, Rizuki. “

“Ah, kamu ini. Sudah kubilang kalau aku ini kuat . Demi mimpiku, aku menuju kesana, menjadi seorang pendekar pedang yang terkuat dan terhebat. “ ujarku berbasa-basi, mengungkit sedikit masa laluku.

“ Terus, kamu sudah bisa mewujudkannya, Rizuki? “

“Ya, sudahlah. Kalau belum, aku takkan mungkin sampai kesini. Atau, aku bakal jadi hantu, terus kuhantui deh kamu. “ candaku, dengan memasang mimik muka seram.

“Ih, jangan menakut-nakuti aku deh, Rizuki. Sudah tahu aku takut dengan hal-hal seram. “

“Lebih seram kamu deh, bisa membunuh orang dengan tanto­-mu itu. “ kami pun tertawa kecil dengan obrolan kami sendiri.

“Ngomong-ngomong apakah engkau masih tinggal disini? “ kumulai pembicaraanku dengannya. Tapi, tiba-tiba raut wajah Hana berubah menjadi murung.

“Sejak perang tiga tahun lalu, aku sudah pindah ke Osaka, bersama kakak. “

“Apakah kamu tahu siapakah pemimpin para ninja dari Nagoya itu? “ ia hanya bisa bergeming. Sesaat ia memejamkan mata, memikirkan siapa tokoh dibalik perang itu.

“Seingatku, menurut desas-desus yang beredar dia bernama Tatsumi Genji. “

Mataku terbelalak mendengar nama Tatsumi Genji. Namanya seolah membuatku merasa merinding dan shock. Bagaimana tidak, tiga kota telah ia kuasai. Sebelum Kyoto, Hiroshima, Fukui, dan Mito ia taklukkan. Sedangkan aku? Aku baru bisa menguasai Nagasaki, yang notabene relatif terpencil dan belum banyak penghuninya.

“Rizuki, apakah kau tak melihat atau mendengar kabar Ai-chan? “ tiba-tiba ia mengubah alur pembicaraan. Sontak, aku tak bisa bilang apa-apa selain diam. Aku hanya bisa bingung dan gundah, merisaukan keadaan Ai-chan saat ini.

“Rizuki, jawablah pertanyaanku! “ ujarnya disertai suara keras, membuat tersadar dari lamunanku.

“Maaf, aku baru sampai disini. Jadi, aku belum bisa mencari keberadaannya. Apakah kamu sudah menghampiri rumahnya? “

“Aku sudah menghampiri rumahnya, tapi yang ada malah para ninja. Saat aku melihatmu, segera saja kuikuti. Dan ketika engkau bersama perempuan itu, entah mengapa wajahnya mirip sekali dengan Ai-chan. “

“Yah, mungkin saja dia adalah Ai-chan. Tapi, aku tak begitu yakin jikalau ia Ai-chan, meski …. “

Aku mulai merasa sulit untuk berbicara. Tak kulanjutkan lagi pembahasan mengenai dia. Entah apakah Airen adalah Ai-chan, orang yang telah membuatku berjanji untuknya. Aku sendiri seolah telah hancur saat mengetahui kampung halamanku telah diserang para ninja. Ditambah oleh musuh yang akan kuhadapi kali ini. Hana mengerti keadaanku. Ia pun tak lagi melanjutkan perkataannya yang tadi.

“Dan engkau sudah mendengar pembicaraan kami? “

“Ya. Bisakah engkau memberiku rencana tentang apa yang akan kamu lakukan untuk mengalahkan para Ninja? “

“Rencanaku, aku akan berkunjung ke Kobe, Yokohohama, Kofu, dan Hokkaido, untuk meminta bantuan teman-temanku. Lalu, berikutnya, bersama mereka, kami akan menuju Nagasaki, untuk mempersiapkan orang-orang yang bersedia menjadi prajurit. ”

“Hmm, rencana yang sulit. Tapi, aku akan tetap mendukungmu. Besok pagi aku akan menunggu di pos Barat, tak jauh lokasinya dari rumah ini. Jangan sampai telat ya. “ setelah berbicara, ia pun melepaskan ciuman ke bibirku. Hanya sebentar, lalu ia membelakangiku dengan wajah tersenyum dan pipi yang memerah, sebelum ia pergi sekejap. Cepat, hingga bayangannya seolah hilang tertelan kabut yang menutupi rembulan.

Ia hanya meninggalkan beberapa gagak, yang terlambat untuk mengikuti pergerakannya. Gagak-gagak itu lalu terbang, menerobos kabut yang menutupi bulan. Aku hanya bisa membalas senyumnya, sembari menatapi tingkah para gagak itu.

“Kamu benar-benar tak berubah, Hana. Masih tetap sama seperti dulu.“

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun