Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Demi Perut!!Pertahankan Lumbung Pangan dengan 9 Triliun Rupiah

16 Februari 2012   08:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:34 153 1
Makanan pokok mayoritas orang Indonesia itu nasi dan semua orang sudah pada tahu tentang fakta tersebut. Namun banyak sawah di Pulau Jawa dan Bali beralih fungsi saat ini, menjadi: perumahan, hotel, villa, kondominium dan pabrik. Sedangkan di luar Jawa dan Bali --- semisal Sumatera ---  sawah berubah menjadi perkebunan sawit yang dianggap lebih menguntungkan. Tentu itu semua berdampak pada lumbung ketahanan pangan nasional, di mana kita sebagai negara agraris harus meng-impor beras dari negara Asia lainnya.Vietnam, Thailand dan juga India menjadi toko langganan kita untuk memenuhi stok pangan nasional. Swasembada beras yang dulu pernah kita rasakan sudah tidak tersisa bekasnya, seiring rontoknya rezim Orde Baru. Untuk mengembalikan supremasi sebagai negara agraris dan kemampuan ber-swasembada beras maka ada beberapa program yang telah dijalankan oleh pemerintah, baik melalui kajian ekonomi, ilmu pengetahuan, pendidikan ataupun kebijakan daerah dan pusat. Di banyak daerah terutama Pulau Jawa dan Bali, lahan persawahan banyak berubah dan beralih fungsi menjadi perumahan dan sejenisnya. Hal ini diperparah dengan penanaman Kelapa Sawit pada lahan persawahan yang masih produktif di luar Pulau Jawa dan Bali. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pengurangan luas sawah terlihat dari perbandingan luas lahan baku tahun 2002 yang masih mencapai 7.748.840 hektar dan tahun 2011 yang tinggal 6.758.840 hektar. Ada penyusutan sekitar 990.000 hektar pada kurun waktu 9 tahun atau penyusutan 110.000 hektar tiap tahunnya. Maka dibutuhkan lahan pengganti seluas lahan persawahan yang beralih fungsi tadi. Oleh sebab itu  pemerintah lewat tiga BUMN: PT Pupuk Sriwijaya (Pusri), PT Pertani, dan PT Sanghyang Sri(SHS) berencana mencetak 100.000 hektar lahan sawah baru di Kalimantan Timur. Sekitar 9 triliun rupiah dana yang akan digelontorkan untuk investasi lahan sawah baru (Antara News). Ini langkah pertama. Langkah kedua, pemerintah lagi semangat-semangatnya menciptakan padi bervarietas unggul. Padi yang menghasilkan beras lebih banyak tiap hektarnya, padi yang tahan hama dan tentu padi yang memiliki kualitas rasa yang tinggi. Galur Padi Gogo nama varietas unggul tersebut. Varietas padi yang dikembangkan oleh Dr. Enung Mulyaningshih, M. Si dari Pusat Penelitian (P2) Bioteknologi LIPI. Galur Padi Gogo bisa menghasilkan rata-rata 8,4 ton/ hektar, jauh melampaui prestasi yang dihasilkan oleh varietas padi lainnya, seperti padi Bestari hasil penelitian Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) yang tidak tahan terhadap serangan wereng (Antara) dan hasil produksinya yang tidak sampai menumbus angka 8 ton / Ha. Di samping mampu menghasilkan 8,4 ton per hektarnya, padi ini mampu beradaptasi dengan kekeringan, tahan terhadap serangan penyakit blas dan juga keracunan aluminum. (Biotek LIPI) Ketiga, memasyarakatkan makanan pokok selain padi atau nasi. Kentang, jagung atau umbi-umbian merupakan makanan pokok alternatif selain beras. Seperti yang dilakukan oleh Pemkot Depok yang melaksanakan program One Day No Rice tiap hari selasa di lingkungan kantor pemerintahan daerah. Sebuah langkah yang memang patut dicontoh oleh daerah lain. Bisa karena biasa bukan? Meskipun banyak tantangan akan program ini. Padahal jauh hari program ini sudah mengemuka di beberapa daerah meskipun ada yang hanya menjadi wacana semata. Semisal Pemkot Bandung yang mengkampanyekan program One Day No Rice pada bulan Mai tahun lalu dan Pemkot Tomohon pada tahun yang sama.

Bila lahan persawahan sudah terbentang luas. Padi yang akan ditanam memiliki kualitas nomer satu, namun semua itu akan percuma bila tidak ada petani yang menggarapnya.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun