Sorotan lampu itu tajam menyapu lautan seperti tiada kehabisan energi untuk menjadikan panduan bagi kapal – kapal laut yang melintas dari terkaman batu karang yang mampu dengan mudahnya merobek lambung kapal dan mengkaramkannya sekaligus. Namun lampu itu tidak menyala dengan sendirinya, ada tangan manusia dibalik sorot tajam sinarnya. Ada otot manusia dengan balutan tipis kulit di balik dinding kokohnya yang menjulang tinggi. Merekalah para penjaga mercusuar yang sering terlupa, termasuk saya sendiri. Sinar hidup kesejahteraan mereka tidak seterang sorot lampu yang mereka jaga 24 jam. Kekuatan ekonomi mereka tidak sekuat dan sekokoh bangunan mercusuar yang menjadi tempat dinas dan menjalankan rutinitas pengabdian penjaga menara suar tersebut. Namun semua itu tidak berarti buat mereka demi pengabdian untuk selalu memandu kapal – kapal dari ganasnya lautan.
Kisah Penjaga Menara Suar Pulau Lengkuas Herman (47), Misdi (47) dan Tohir (50) bertiga mereka menjaga Mercusuar Pulau Lengkuas yang idealnya dijaga oleh lima orang. Bertiga bertugas dibawah naungan Distrik Navigasi Kelas 1 Tanjung Priok, Kementrian Perhubungan RI. Herman, Misdi dan Tohir merupakan Pegawai Negeri Sipil golongan 2C. Dengan gaji minim seorang PNS golongan tersebut, mereka dan keluarganya yang ditinggal di Jakarta harus semampu mungkin bertahan dan menjalin kelangsungan hidupnya. “Man….si Tohir kemana kok gak jaga semalam?” Misdi bertanya kepada Herman yang baru muncul pagi itu. “Tohir sakit, badanya panas. Mengigil hebat semalam,” jawab Herman. Bergegas Misdi turun dari menara suar dan menuju bangunan lusuh dengan atap yang bocor di sana – sini. Bangunan itu berjarak kurang lebih 15 meter dari menara suar kuno peninggalan Belanda yang dibangun 130 tahun lalu, tahun 1882 tepatnya. Segera dia masuk di salah satu kamar yang ada di bangunan tersebut. “Eee….eerrrgg…hheee….eee….eeerrg…eeeeh!!!” suara orang mengigil menyambut kedatangannya. “Hir…panas banget badanmu?!!” Misdi meletakkan punggung tangannya ke kening Tohir yang berselimut lapis dua. “Eeeeeg…..eeerrrrhh…ee!!!” Tohir menjawab dengan gigilan dari mulutnya.”Harus segera dibawa ke rumah sakit kamu Hir!” buru-buru Misdi kembali menuju menara suar. [caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Letak Pulau Lengkuas (Lingkaran merah)"][/caption] Pulau Lengkuas dan pulau – pulau luar lainnya di Indonesia merupakan pulau-pulau yang masih sangat rawan dengan penyakit Malaria. Dan penyakit itu yang ditakutkan Misdi menimpa rekan kerjanya, Tohir. Dia tidak mau harus kehilangan rekan kerja lagi yang jumlahnya saja sudah sangat terbatas saat ini. “Man kamu jaga sendirian dulu ya…saya akan mengantar Tohir ke Rumah Sakit Daerah Belitung!!” “Mau naik apa kalian?” Tanya Herman cemas. “Naik ambulan lah…ambulan gundulmu! coba lihat ada perahu nelayan sekitar pulau tidak?” Hardik Misdi tidak kalah cemas. Mendengar kata rumah sakit daerah dari mulut Misdi seperti ada desiran di hati Herman. Ingatannya tercerabut memaksanya mengingat kenangan pahit beberapa tahun lalu saat sedang bertugas menjaga menara suar di Selat Karimata. Hampir sama dengan kondisi Tohir saat ini, kala itu Herman terserang penyakit yang untungnya bukan Malaria. Saat berobat di RSUD Manggar Kabupaten Beltim, Herman sempat ditolak. Kartu ASKESnya hilang kesaktian, kartunya seolah tidak berlaku di sana. Herman yang saat itu sakit semakin sakit karena dipersulit. Beruntung Dinas Kesehatan kabupaten Beltim bertindak cepat dan Herman diterima untuk berobat di sana. “Mis…ati-ati ya..moga Tohir tidak sakit macam-macam,” dan perahu nelayan itupun menderu membelah lautan untuk membawa tubuh Tohir yang lemah segera menuju daratan Belitung. “Beruntung ada perahu nelayan melintas tadi, coba kalau sampai sore tidak ada kapal nelayan yang melintas….duh kasihan Tohir!” gumam Herman dalam hati. Suara deru mesin tempel dari perahu nelayan tadi membuyarkan lamunannya. “Andai kita yang bertugas di pulau – pulau terluar memiliki kapal sendiri, betapa mudahnya berhubungan dengan daratan. Ah sudahlah, tidak usah bermimpi untuk fasilitas mewah semacam itu!” Herman menyadarkan dirinya sendiri. Sudah beberapa bulan antena radio SSB di pulau Lengkuas rusak. Padahal radio tersebut berfungsi sebagai sarana vital dalam berkomunikasi dengan pusat dan mercusuar lainnya. Namun sudah lama radio tersebut tidak berfungsi sehingga Herman dan dua rekannya lebih sering menggunakan ponsel pribadi untuk berhubungan dengan dunia luar. Herman teringat tadi pesan Misdi untuk segera menghubungi kantor pusat tentang kondisi Tohir saat ini. Herman merogoh saku celana lapangannya dan memencet nomer yang sudah tersimpan dengan urutan paling atas. Beberapa kali Herman mencoba untuk menghubungi nomer tersebut, beberapa kali pula nada tidak tersambung berbunyi dari ponsel usangnya. “Ah masalah sinyal seperti biasanya….” pikir Herman. Herman segera naik menara suar untuk mencari sinyal…. “Bagus nih sinyalnya!!!” tanpa berpikir dua kali kembali jempolnya memencet nomer tersebut “Kantor Pusat” “Maaf pulsa anda tidak…………..” “Haaaaa aku lupa pulsaku habis …..!!! gara-gara telpon keluarga kemarin sepertinya…dancukkk!!” kutuk Herman. Bersambung........................
Kisah Para Penjaga Menara Suar (#2)
KEMBALI KE ARTIKEL