Pentas monolog Bambang Oeban di Gedung Pramuka Kebumen dua tahun lalu masih menyisakan banyak pertanyaan buatku. Selain kalangan internal penggemar seni sastra dan budaya, sejumlah murid SMPN 7 Kebumen dan alumninya yang konsisten berjalan di jalur ini, suguhan langka itu sebenarnya membawa muatan yang sarat nilai. Pertama, cara mengungkap isi hati dan pikiran yang sederhana (nampaknya) agar semua orang dari beragam strata sosial, akademik dan segudang pembeda semu lain yang akhir-akhir ini digandrungi tahu isi curahan hati dan pikirannya. Sebagai penyair, Bambang Oeban punya jam terbang sangat tinggi dan tergolong langka di dunianya. Hampir semua syair yang ditulis bergaya soneta. Ragam yang telah banyak ditinggalkan.
Yang menarik bagi saya adalah kesamaan rerangka berpikir: nasionalistik, anti penjajahan dalam segala bentuknya dan sebagai anak keturunan pejuang kemerdekaan. Ini hanya rerangka luar. Sementara yang ada di dalam kami berbeda sudut pencahayaan. Ia seorang duta budaya formal dari Kementrian Budaya dan Pariwisata (sekarang ditambahkan dengan Ekonomi Kreatif), saya orang kampung biasa. Dan sejumlah beda latar lainnya.
Dari seri antologi yang diterbitkan Ufuk Press 2011, satu dari banyak judul yang ada di buku “ Kepada Presiden Yang Ter…. “ dan sangat menarik perhatian saya adalah Buku Sejarah Bangsaku. Penggalan syair-syairnya :
Inilah kabar negeriku
buku sejarah dijajah kemajuan hayalan
selera gemar baca yang disimpangkan
dipertuan buku impor berjubal
menawarkan nikmatnya kekerasan
berbonus pukulan dan tendangan
Darah jadi simbol decak kagum
Entah mulai dari mana kabar ini berembus, tapi kegelisahan Bambang Oeban adalah miniatur kegundahan banyak orang yang menyadari bahwa negeri ini merdeka karena perjuangan anak-anak bangsa. Bukan hadiah dari bangsa penjajah seperti negeri seberang pulau kita. Dan tayangan kekerasan hampir jadi menu harian di televisi dan media massa lainnya. Dari kekerasan fisik yang menonjolkan kekuatan otot, sampai kekerasan mental berbuah teror dan penyingkiran orang-orang yang dianggap menghalangi hasrat kekuasan atas kehidupan dan penghidupan masyarakat. “Preman” bukan lagi mewakili keadaan orang yang benar-benar “prei makan” alias kelaparan karena tak ada bahan pangan untuk mengganjal perut kosongnya. Justru sebaliknya, kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang telah berkecukupan materi dan berkelebihan kalau sekadar untuk memakan makanan yang 4 sehat 5 sempurna. Mereka adalah para “preman berdasi” yang menduduki posisi atau hal penting di tengah masyarakat. Jika terusik kepentingannya, mereka tak segan memakai tangan sendiri atau orang lain untuk memaksa. Mulai dari intimidasi, penganiayaan dan kekerasan fisik lain. Sampai mematikan sumber-sumber penghidupan orang (orang-orang) yang mengusiknya. Sementara itu, derajat keterusikan itu tidak sebanding dengan “balasan” yang ia lakukan. Congkak dan pendendam yang mengemuka.
Caci maki jadi warna hidup sehari-hari
mengendap di otak anak bangsa
Medan laga berdarah
dianggap arena permainan
yang mengasyikkan.
Para orang tua kepusingan
mencari hiburan di lampu remang
menghamburkan uang hasil serabutan
Wajah rumah tinggal pucat pasi
Bangunan mewah hanya pameran
buku sejarah tak kelihatan
terkalahkan buku hiburan
Yah… buku sejarah adalah jurnal kehidupan yang berisi aneka ragam nilai. Ada yang bertambah, ada juga yang berkurang. Boleh jadi akan ada koreksi atas catatan keliru di masa lalu. Tujuan utamanya adalah menjaga akuntabilitas. Itu yang semestinya. Tapi, yang banyak terjadi, justru isi jurnal kehidupan menampilkan hal-hal negatif. Sementara itu, sisi positif sering diabaikan karena alasan yang mengada-ada. Mengasihani diri jadi pegangan. Minta belas kasihan tak lagi jadi nyanyi orang-orang papa di jalanan. Tanpa ragu dan malu, orang-orang yang berkecukupan harta benda itu menjadi pengemis. Penghasilan tambahan ini menjadi modal dugem (dunia gemerlap di tempat-tempat hiburan malam: diskotik, karaoke, pesta seks bebas dll). Bambang Oeban menyebutnya dengan hiburan di lampu remang. Di tempat seperti itu, uang hasil serabutan (mengemis, korupsi, manipulasi dan sejenisnya) dihabiskan untuk membuang kepenatan (kepusingan). Jangankan buku sejarah yang biasanya juga berisi nasihat dan teladan. Buku-buku pengetahuan umum yang mencerahkan cakrawala pandang manusia dan menguatkan derajat kemanusiaannya tentu akan diabaikan. Paling mungkin majalah hiburan semacam Playboy yang mempertontonkan aurat dan mengundang nafsu birahi. Imbas dari keabu-abuan sumber penghasilan dan kini semakin jelas dengan kasus tindak pidana pencucian uang hasil korupsi (Irjenpol Djoko Susilo), tindak pidana penggelapan pajak (Gayus Tambunan dll). Belum lagi sejumlah kasus korupsi yang melibatkan para pejabat publik, PNS atau warga masyarakat biasa. Keremangan lampu hanya satu bahasa kias dari ketidak-jelasan pengungkapan dan penyelesaian KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme). Termasuk di dalamnya adalah kasus-kasus konstitusional yang menguntungkan sebagian orang di lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif.
Inilah nasib buku sejarah bangsaku
sudah lama disingkirkan jadi pengangguran
Pengenangan perjuangan diabaikan
Para pahlawan dianggap jembatan
di abad kemajuan zaman
Di ruang perpustakaan
buku sejarah utuh bentuknya
terbengkelai terbungkus debu
terdiam dan dianggap bisu
dimakan waktu berlalu
Buku sejarah bangsaku
dibiarkan tertindas kemalangan
Buku-buku menggiurkan
membuat anak-anak jadi keranjingan
membuahkan imaji aa ii uu
menicu nafsu sebelum waktu
praktik uji coba berlaku tak ragu
orang tua sibuk mengisi saku
Buku sejarah bangsaku
selalu memendam
seribu gerutu
Inilah kabar negeriku
budaya tontonan jadi ladang persaingan
demi menjaring iklan meraup keuntungan
Aurat diperdagangkan
tak peduli nasib moral anak bangsa
sudah plesiran tak tentu arah mau ke mana?
Uang orang tua jadi sasaran
demi hasrat mengikuti
gaya hidup modern
Benang merah kegeraman Bambang Oeban kepada Rafles nampak mulai dapat dibentangkan dengan syair lain: “ Tembang Negeri Jajahan”. Ini yang akan jadi bahan galian berikutnya agar lebih memudahkan jalan dalam mereflesikan syair-syair kebangsaannya.