Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Ingat Hardiknas, Ingat yang Kecil

28 Februari 2014   14:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:23 30 0
Sebenarnya saya bingung menulis apa. Saya tidak bisa menulis catatan harian begini, ini bukan karakter saya (almarhum2 diary-ku pasti nangis di akhirat sana). Kemarin-kemarin tulisan saya bergaya artikel, maka hari ini saya mencoba untuk menulis dengan short story, begini sepertinya lebih enak. Lebih nyaman, dan tak dianggap serius. Kemarin-kemarin saya ketika nulis, ditanggapin serius oleh Kompasianer, dan seram-seram komentarnya. Sebenarnya gak seram amat sih, sayanya aja yang lebay nanggepinnya.

Oke, saya akan menceritakan sedikit tentang kisahku. Ini dulu, saat saya masih SMP. Sekitar 11 tahun yang silam, saat saya masih tampan-tampannya. Saat masih gelar ABG tersandang di jidatku. Saat keriput di mata belum ada. Tentunya saat Comed dari Coboy Junior masih dalam bentuk Kalender kelahiran, dan tentunya belum ada pergantian nama menjadi CJR.

Nah, waktu mo persiapan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), teman-teman sekelasku dapat tugas dari sekolah untuk menjadi kelompok paduan suara di upacara Hardiknas nanti. Mungkin karena-karena teman-teman sekelas hobby nyenyong, jadinya dipanggil untuk ngisi paduan suara. Padahal, acara itu nantinya akan diramaikan semua sekolah di kampungku, mulai dari TK sampai SMA.

Yang paling, diandelin sama teman-teman sepertinya diriku. Kenapa? Jadi waktu itu saya sering sekali, dipuja-puji sama teman-teman, karena mampu membawakan lagu apa saja dengan seriosa. Entah bagaimana bisa, suara seriosa, padahal kala itu suaraku lagi pecah-pecahnya akibat peralihan baliq. Tapi dengan begitu, artinya sedikit banyak saya adalah tumpuan harapan teman-teman. Kujagalah suaraku, minum perasan jeruk saban hari, tidur secukupnya, tidak makan yang berminyak, agar kualitas suara tetap terjaga.

Tibalah di waktu yang ditentukan. Di lapangan sudah ada banyak siswa-siswa, dari anak TK yang mesti dikomando dengan lagu anak-anak, anak-anak SD yang kedengarannya seperti bebek berebut pakan, anak-anak Tsanawiyah sekolahku yang cerewet pula, dan anak-anak SMA yang serius-serius jaim. Bermenit-menit menunggu acara di mulai, hari sudah mulai panas. Mataharinya sudah menggila. Kadesnya pun sudah datang yang akan memimpin upacara.

Tapi ... ada gangguan teknis. Mic paduan suara rusak. Apppaaaa rusak! Kalau zaman sekarang, sudah ku tindih kepala teknisi mic itu (nyontek gaya Hariri). Akhirnya tentunya kami kecewa, peserta upacara juga kecewa, berarti acaranya ditunda lagi beberapa menit. Si petugas mic yang adalah marbot masjid, segera lari ke masjid, nyari mic cadangan.

Setelah bermenit-menit ... marbotnya datang dengan wajah sumringah. Dari air wajahnya ada harapan, bahwa Indonesia masih cerah. Badai pasti berlalu. Dia mondar-mandir lagi ke bagian Toa (heheheh dulu masih toa) dan ampli. Dan nampaknya sukseslah dia mengatur semuanya, tapi dimana micnya? Kami terheran-heran. Ouhw rupanya dia membawa mic ukuran kecil. Baru kali itu kami melihatnya, maklum, JADUL. Si marbot mengantungnya di tiang mic, tapi tidak bisa. Entah ide gila, atau karena keawamannya dicarinya siapa yang ada di tengah-tengah penyanyi. Dan itu adalah, saya! Mic dijepit di bagian kain kancing baju saya.

Sebelum menyanyi, saya diminta sama si Marbot Masjid, tak usah  ikut bernyanyi. Lha, saya kan sudah latihan berhari-hari. Masa diboikot begini, zalim namanya itu! Tapi dia tegaskan sekali lagi JANGAN BERNYANYI! Baiklah, saya terima dengan hati yang luka, pasrah.  Mulailah grup paduan suara bernyanyi. Dan di saat itu pula, pada bait-bait pertama, batinku selalu bergemuruh. Masa jiwa nasionalisme saya dipasung sama si marbot masjid. Akhirnya saya ambil inisiatif, bernyanyi dengan sedikit suara, dan mulutnya tak dibuka lebar. Kulihat si marbot masih ngelirik-lirik, sayanya cuek aja. Bodo amat!

Selepas, bernyanyi... semua peserta upacara pada ngakak dan senyam-senyum. Entah kenapa? Kami juga heran. Nanti ketika di sekolah teman-teman yang tidak ikut dalam paduan suara, langsung membully-ku. "Suaramu jelek!", "Suara kok ditahan-tahan!","Kamu malas nyanyi ya," "jangan-jangan kamu berak di celana!". Eh rupanya, dari semua teman kelompok paduan suara hanya suaraku yang paling kedengaran. Padahal itu udah suara hati banget. Semuanya gara-gara mic itu. Dari sanalah, saya tidak akan lagi memandang enteng sama yang kecil-kecil, dari mic kecil, sampe profesi kecil sebagai marbot masjid. *SEKIAN DULU CURHATAN SAYA.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun