Arga selalu membandingkan dirinya dengan teman-temannya yang dianggapnya lebih beruntung. Ada Riko yang pintar berbicara, atau Dina yang pandai melukis. Sementara Arga? Ia merasa dirinya tak punya keistimewaan.
Suatu hari, kakek Arga, seorang petani tua yang bijaksana, mengajaknya berbincang di bawah pohon mangga di belakang rumah.
“Arga, kenapa kamu sering terlihat murung?” tanya sang kakek sambil menyulut rokok lintingannya.
Arga menghela napas. “Aku merasa tidak punya apa-apa, Kek. Aku ingin menjadi seperti teman-temanku yang punya bakat dan bisa sukses.”
Kakek tersenyum kecil. “Kamu tahu, Nak, sebuah pohon mangga ini tidak pernah iri pada pohon kelapa. Ia tidak bisa menghasilkan buah yang tinggi menjulang, tapi ia tetap bermanfaat dengan caranya sendiri.”
Arga menatap pohon itu. “Tapi bagaimana kalau aku memang tidak punya apa-apa, Kek?”
Kakek mengambil sebutir mangga yang jatuh di tanah dan memberikannya kepada Arga. “Apa kamu pikir mangga ini tumbuh begitu saja? Ia butuh tanah, air, dan cahaya matahari. Sama seperti kamu, Arga. Kamu punya banyak hal untuk tumbuh—hanya saja kamu belum menyadarinya.”
Arga terdiam. Ia mulai berpikir, apa yang sebenarnya ia miliki?
Hari-hari berikutnya, Arga mencoba melihat hidupnya dari sisi berbeda. Ia menyadari bahwa meskipun ia tidak pandai berbicara seperti Riko, ia punya kekuatan fisik yang membuatnya bisa membantu orang tua di sawah. Ia mungkin tidak bisa melukis seperti Dina, tapi ia selalu sabar mendengarkan teman-temannya bercerita, dan itu membuat mereka merasa nyaman.
Pelan-pelan, Arga mulai memanfaatkan apa yang ia miliki. Ia membantu tetangganya memperbaiki atap rumah yang bocor, mengajari anak-anak kecil cara membaca, dan membantu petani lain memanen hasil panen mereka. Orang-orang mulai mengenal Arga sebagai sosok yang ringan tangan dan penuh semangat.
Suatu hari, kepala desa datang kepadanya. “Arga, aku mendengar banyak hal baik tentangmu. Aku ingin kamu memimpin kelompok pemuda desa untuk program pertanian baru. Kamu punya kelebihan yang jarang dimiliki orang lain—semangat untuk membantu dan membuat perubahan.”
Arga terkejut. Ia tidak pernah mengira bahwa apa yang ia anggap sebagai hal kecil bisa memberikan dampak besar.
Dari hari itu, Arga berhenti membandingkan dirinya dengan orang lain. Ia sadar bahwa setiap orang punya kelebihan masing-masing, termasuk dirinya. Hidup bukan tentang apa yang tidak kita miliki, tapi tentang bagaimana kita memanfaatkan apa yang sudah ada.
Seperti pohon mangga di belakang rumah, Arga belajar untuk tumbuh dan memberi manfaat dengan caranya sendiri. Kini ia tahu, ia tidak perlu menjadi seperti orang lain untuk merasa berharga. Ia hanya perlu menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.