Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Siapakah Kita?

15 September 2012   08:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:26 168 8

Siapakah kita?

Jika kau ingin melanjutkan petanyaan ini, bertanyalah padanya, siapa? dia, ya dia itu siapa?

Bisa siapa saja, bertannya pada mereka juga bolehlah…

Kepada mentari pagi misalnya, kepada bulan, bintang, awan dan petir yang menggelegar juga tak apa.

Apa yang akan kudapatkan dengan bertanya kepada mereka? Bertanyalah dulu… jawabanya ada padanya, bukan padaku, memangnya aku ini siapa?

Seonggok tulang yang terbungkus daging dan lemak tak akan dapat menjawab pertanyaan itu.

Segumpal otak terbungkus tengkorak, kulit dan rambut juga tak akan berdaya menjawab Tanya yang sempurna.

Jika kau mau bertanyalah kepada mereka, disaat ia sedang menampakan keindahanya…

Lalu siapa kita? Kau masih mengulanginya, dan ternyata kau belum bertanya… aku sudah bertanya, lalu apa jawabnya?

Mentari hanya bisa berkata aku tak kuasa menjawab pertanyaanmu yang kaku, karena tugasku hanya keluar pada pagi hari dan tenggelam pada senjakala, lalu cahayaku dipinjam sang rembulan untuk menyinari malam, jika kau mau, bertanyalah pada rembulan, sebab ia yang setia meronda saat dirimu teronggok diperaduan, maupun saat dirimu melangsukan tresno mathuk dengan permaisuri sah atau buatan.

Rembulan menjawab apa? Tak ada jawab… hanya ada kata, lalu apa katanya?

Katanya hampir serupa dengan mata yang meminjamkan cahayanya, boro-boro aku, cahayaku saja hanya barang pinjaman, bagaimana mungkin aku dapat menjawab pertanyaanmu, jika yang memiliki mata saja tak kuasa…

Katanya kau yang setia merondaiku pada saat gelap menyelimutiku… meronda juga tak selalu berjalan mulus, terkadang sang bintang tetanggaku turut beradu pengaruh , sinarnya yang kecil-kecil namun banyak membuat mataku kabur, apalagi jika sang awan sudah teronggok didepan kornea mataku, pada saat itu aku hanya dapat menggerutu… mungkin awan dan gelap lebih tahu tentang pertanyaanmu itu…

Lalu…?

Sebelum kubertanya pada awan dan gelap… ia menghapiriku, jangan bertanya padaku sebab aku tak memiliki mata, miliku hanya telinga yang senantiasa pekak ketika petir menyambar dan Guntur mengelegar, pada saat itulah tubuhku luruh, tercabik-cabik menjadi sang hujan, tau apalah aku mengenai pertanyaanmu itu…

Lalu…? Galau…!

Seketika petir menyambar dengan bahasa tubunya yang kasar, dibarengi Guntur menggelegar dengan perangainya yang sangar, awan berubah menjadi hujan, setiap benda terbelah, telinga tak mempunyai makna, rasa-pun tak tentu arah, semuanya menjadi alpa.

Tiba-tiba hadir suara yang tak terduga… kodok mengkrotok, jangkrik mengkritik, ayam berkokok, dan cempek (kambing) mengembik, suara yang nyata, dimana sebelumnya tak pernah kusangka…

Lalu siapakah kita?

Percuma kau berkelana memanggul Tanya, jika pada akhirnya dibawa pulang juga… demikian kata suara yang nyata…

Mereka tempatmu bertanya-tanya adalah semua yang tak mampu memikul amanahNya… adalah salahmu menerima takdir sebagai dutaNya… lalu kini kau menghambur mencari-cari jawaban dari sebuah tanya, lari kesana kemari seperti tak ada arti, menghabiskan energy yang tak mampu kau beli. Sekarang lepaskanlah kepalamu, musnahkanlah lemak dan dagingmu, lalu hancurkanlah tulang dan belulangmu hinga yang tertinggal seonggok kalbu…

Lalu siapakah kita?

Aku, dia, mereka, dan kita adalah kelompok yang terbiasa bahkan suka dengan tipu-tipu… masih juga tak mau mengaku… mengulangi pertanyaan yang sama, siapakah kita? Mana kutau… aku hanya kodok, jangkrik, ayam dan kambing yang menghiburmu, jika kau yang memiliki altar kabu saja tak mau tau, apa lagi aku.

Disadur dari karya Ariyani Na, berjudul Semua Hanya Sementara

=================================================

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun