Beberapa sekolah di berbagai daerah Indonesia ternyata sudah melakukan pembelajaran tatap muka (PTM). Kendati PTM hanya dilakukan 2 sampai 2.5 jam dan kelas hanya diisi 50 persen siswa, namun orang tua dan berbagai pihak tetap khawatir dan cemas.
Pasalnya, sekolah yang berjanji melakukan PTM dengan menerapkan protokol kesehatan ketat, belum didukung sepenuhnya oleh siswa yang sudah melakukan vaksin serta belum adanya jaminan atau garansi sekolah dapat mengawasi siswa  melakukan protokol kesehatan ketat.
Untuk urusan vaksin, banyak sekolah yang telah mendata siswanya yang belum melakukan vaksin, namun hingga sekolah bersangkutan membuka PTM, tetap saja siswa belum mendapatkan vaksinasi. Bahkan, juga belum ada kejelasan akan ada vaksinasi atau tidak.
Atas kejadian ini, sebenarnya siapa yang harus bertanggungjawab, bila pada akhirnya, PTM kembali menjadi klaster corona lagi. Mengulang kejadian-kejadian sebelumnya?
Kebijakan Nadiem kontradiksi
Mengapa ada sekolah yang sudah melakukan PTM, meski terbatas? Hal ini karena memang mendapat izin dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Nadiem Makarim. Izin diberikan untuk sekolah yang berada di wilayah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM)Â level 1-3. Hal ini diungkapkan oleh Nadiem pada Kamis (19/8/2021) dan dirilis oleh berbagai media massa.
Namun, ada yang kontradiksi antara pesan Presiden Joko Widodo (Jokowi) Â dengan izin PTM terbatas dari Nadiem. Nadiem justru mengizinkan sekolah yang peserta didiknya belum mendapatkan giliran vaksinasi, tetapi sekolah tersebut berada di wilayah PPKM level 1-3 tetap dapat menyelenggarakan PTM terbatas dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian, kesehatan, dan keselamatan insan pendidikan dan keluarganya.
Sementara, pesan Presiden Jokowi dalam kunjungan kerja ke Madiun pada Kamis, 19 Agustus 2021, Jokowi justru mempersilakan opsi PTM terbatas digelar apabila seluruh pelajar telah mendapatkan vaksinasi Covid-19.
Inilah fakta drama betapa lemahnya koordinasi dan manajemen komunikasi di pemerintahan kita. Selalu saja terjadi miskomunikasi. Presiden menyatakan apa, menterinya bikin kebijakan sendiri dan seolah menentang dan melawan pesan Presiden.
Akibatnya berbagai pihak pun, menyesalkan kejadian terjadinya kontradiksi antara pesan Presiden dan kebijakan Nadiem. Terlebih, dengan masih berlakunya PPKM, ada empat syarat kesiapan sekolah yang memenuhi daftar periksa Kemendikbudristek untuk melakukan PTM terbatas, yaitu vaksinasi guru dan anak, izin orang tua murid, dan positivity rate di daerah tersebut.
Dengan demikian, kebijakan Nadiem mengizinkan ada sekolah yang melakukan PTM terbatas, namun siswanya belum divaksin, sangat berisiko.
Sayangnya, meski ada empat prasyarat sekolah boleh melakukan PTM terbatas, lalu Presiden pun sampai memberikan pesan sekaligus mengingatkan syarat itu, karena siswa wajib sudah vaksinasi, namun faktanya, progres vaksinasi anak usia 12-17 tahun masih sangat rendah. Rata-rata vaksinasi dibuka justru untuk usia 18 tahun ke atas.
Dikutip dari dashboard Kementerian Kesehatan per 21 Agustus 2021, dari target vaksinasi untuk 26,7 juta anak, ternyata baru 9,17 persen atau 2,4 juta anak menerima vaksinasi dosis pertama. Dan, baru 4,49 persen atas 1,19 juta anak yanh telah menerima dosis lengkap, hingga vaksin 1 dan 2.
Lebih memprihatinkan, meski gencar keinginan PTM, ternyata baru 57 persen sekolah di seluruh Indonesia yang baru mengisi daftar periksa Kemdikbudristek. Itu baru mengisi, belum tentu sudah diasesmen pemerintah daerah.
Keinginan sekolah PTM, tak serius?
Dari deskripsi yang tergambar tersebut, melihat identifikasi prasyarat sekolah membuka PTM terbatas, melihat fakta pencapaian vaksinasi untuk anak yang masih sangat jauh dari harapan dan target.
Hal ini mengindikasikan bahwa, nampaknya, niat pemerintah membantu membuka sekolah PTM terbatas dengan empat prasyarat saja tak serius. Meski masyarakat sangat berharap sekolah benar-benar dapat melakukan PTM, namun sarana dan prasarana, serta infrastruktur penunjang protokol kesehatan sekolah-sekolah belum siap.
Sebagai catatan, misalnya di DKI yang telah melakukan asesmen ke sekolah-sekolah, telah mengisi daftar periksa Kemendikbudristek, hingga cakupan vaksinasi guru dan anak juga terbilang cukup tinggi. Sebanyak 96 persen guru dan 87 persen anak usia 12-17 tahun di DKI telah divaksin, sebagian besar sekolah telah siap menggelar PTM, namun Pemprov DKI belum mengizinkan PTM terbatas karena masih PPKM level 4, serta tingginya angka positivity rate.
Untuk itu, terkait dengan pesan Presiden, juga empat prasyarat menggelar sekolah PTM terbatas, seharusnya Nadiem tak memberikan izin kepada sekolah membuka PTM terbatas yang belum memenuhi empat prasyarat seperti vaksinasi, kesiapan sekolah, izin orang tua murid, dan positivity rate di wilayah tersebut, walau pun lokasi sekolah sudah berada dalam PPKM level 1-3, kasus Covid-19 relatif sudah menurun.
Memang, kondisi pembelajaran jarak-jauh (PJJ) tidak efektif dan menimbulkan berbagai dampak dan masalah, sehingga PTM sudah tak dapat ditawar. Tetapi, izin yang disampaikan Nadiem yang kontradiksi dengan pesan Presiden, justru menjadi kontroversi dan kontraproduktif.
Masih banyak sekolah di daerah yang belum tersentuh vaksinasi. Padahal vaksinasi menjadi salah satu syarat sekolah PTM dibuka dan harapannya sudah mencapai 70 persen warga satuan pendidikan, khususnya guru dan siswa, telah tervaksinasi.
Dengan demikian, bagi sekolah yang sudah memenuhi syarat membuka PTM, guru dan siswa minimal dapat terlindung dari kekebalan Covid-19. Namun demikian, tetap tidak menggaransi dan tidak menjamin akan tetap terkena corona dan sekolah akan menjadi klaster corona lagi.Â