Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Simpati, Empati, dan Peduli Tercermin dalam Perbuatan

7 Juli 2021   14:19 Diperbarui: 7 Juli 2021   14:57 6712 2
Bila kita berharap orang lain menghargai dan peduli serta menghormati siapa pun diri kita, maka berikan dulu rasa simpati, empati, dan peduli kita kepada orang lain dulu. Jangan kita berharap, tetapi kita sendiri tak berbuat sesuai harapan kita. Tapi begitu orang lain membicarakan dan protes kepada kita, kita malah ngeles dan berkelit dengan seribu dalih. Tetapi sayangnya, sikap ngeles dan berkelitnya sudah bisa dibaca arah dan maksudnya.

Begitulah deskripsi yang sekurangnya dapat menggambarkan apa yang kini terus terjadi berulang di negeri kita khususnya dalam kasus pandemi corona di saat berlangsungnya PPKM darurat.
 
Rakyat yang cerdas intelegensi dan emosi, tentu akan terus berupaya memahami apa pun dalih pemerintah, tatkala mereka melakukan tindakan yang secara kalkulasi matematis tak konsisten dan tak adil bagi rakyat (WNI), karena ada perlakuan yang berbeda kepada pihak lain (WNA).

Menciderai kepercayaan

Tetapi alih-alih menjaga perasaan rakyat, sudah bersikap tak adil, tak simpati dan empati, malah semakin mempertontonkan sikap arogansinya kepada pihak yang mencoba menanyakan dan memprotes sikap mengapa lagi-lagi WNA terus dibiarkan masuk Indonesia disaat rakyat Indonesia sendiri dibatasi pergerakannya hingga sampai menimbulkan berbagai dampak sosial yang tak etis.

Bila sikap simpati dan empati di contohkan oleh setiap pemimpin, apalagi pemimpin negeri, maka masyarakat pun dengan sendirinya tanpa diminta dan dipaksa akan membalas sikap simpati dan empati hingga rasa peduli dengan sendirinya.

Simpati adalah keikutsertaan merasakan perasaan (senang, susah dan sebagainya) orang lain. Sementara empati adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.

Peetanyaanya, meski secara prosedur masuknya WNA ke RI sudah sesuai aturan prokes Covid-19, tetapi mengapa pemerintah tidak pernah dan tidak mau menjaga perasaan rakyat?

Lihatlah bagaimana rakyat berteriak dan saling beradu argumen, diputarbalik, dan didenda atau dihukum, karena tidak mematuhi PPKM darurat dengan alasan tidak termasuk sektor esensial dan kritikal yang diperbolehkan bergerak. Sebab pemerintah resmi menerapkan PPKM darurat untuk menekan laju penularan Covid-19 yang kian tak terkendali dan berlaku mulai 3-20 Juli 2021.

Memang, dalam dokumen aturan PPKM darurat, pemerintah memberlakukan aturan yang lebih ketat terkait sektor mana saja yang boleh beroperasi.
Untuk sektor esensial, aktivitasnya diperbolehkan sebanyak 50 persen staf yang bekerja di kantor dengan protokol kesehatan yang ketat. Sektor esensial mencakup keuangan, perbankan, pasar modal, sistem pembayaran, teknologi inofrmasi dan komunikasi, perhotelan nonpenanganan karantina Covid-19, serta industri ekspor dan impor.

Sementara sektor kritikal diperbolehkan sebanyak 100 persen staf yang bekerja di kantor dengan protokol kesehatan yang ketat, mencakup energi, kesehatan, keamanan, logistik dan transportasi, industri makanan dan minuman, petrokimia, semen, objek vital nasional, penanganan bencana, proyek strategis nasional, konstruksi, utilitas dasar, serta industri pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat.

Dan, Presiden telah menunjuk Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan sebagai koordinator PPKM daurat Jawa-Bali. Bahkan Presiden juga meminta masyarakat berdisiplin mematuhi peraturan PPKM darurat ini.

Tapi di dalam praktiknya, lagi-lagi pemerintah mengulang sikap yang menciderai rasa keadilan kepada rakyat. Meminta rakyat disiplin tapi mereka sendiri tak disiplin dan tak menghargai perasaan rakyat. Malah membela diri, bukannya ada simpati dan empati dengan berlindung di balik aturan yang mereka buat dan menguntungkan pula buat mereka, bukan untuk rakyat.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun