Terlebih, tidak ada rakyat yang lupa saat Presiden Jokowi marah dan kecewa karena kebijakan PPKM alias PSBB untuk mencegah dan mengantisipasi penyebaran virus corona dalam dua periode di nusantara, beliau sebut tak efektif. Implementasi di lapangan, para petugas negara hingga pemerintah daerah tidak tegas.
Sikap kecewa Presiden yang belum lama tersebut, sewajibnya menjadikan pihak Istana dan orang-orang di sekitar Jokowi menjadi awas dan teliti terhadap kegiatan-kegiatan Presiden, karena sebelum Jokowi menghasilkan kerumunan massa di Maumere NTT, rakyat sebelumnya sudah disuguhi tindakan Jokowi yang menghasilkan kerumunan massa.
Tak pelak, sikap Presiden akhirnya membikin gaduh dan kisruh serta terus memupuk perseteruan antara cebong, kampret, dan kadrun, julukan rasis yang dibuat oleh kelompok mereka sendiri untuk saling menyerang dan berpolemik tak berujung.
Herannya, julukan rasis itu pun hingga kini masih bertahan, tak ada upaya dari pemerintah untuk menghentikan pemakaian istilah julukan rasis itu baik dalam percakapan sehari-hari di tengah masyarakat maupun perbincangan dan perseteruan di media massa.
Mirisnya, tak cukup dengan lahirnya julukan rasis tersebut, pemerintah malah memelihara influenser dan buzzer yang kabarnya dibayar dari uang rakyat, tapi pekerjaannya tak amanah untuk rakyat.
Sementara, sejak kejadian kerumunan massa di Maumere, hingga kini masyarakat di Indonesia gaduh akibat dari perilaku semua yang sebut. Ironisnya, penjelasan dari pihak Istana juga kurang berterima di tengah masyarakat, namun Bapak Presiden sendiri belum meminta maaf kepada masyarakat Indonesia.
Terlebih banyak masyarakat yang akhirnya menuntut keadilan dan hukum yang tak memihak, karena meski disebut kejadian di Maumere adalah spontanitas, tetapi ternyata Presiden dari atas mobil di tengah kerumunan massa, malah tetap bagi-bagi souvenir yang telah disiapkan dan dibawa dari Jakarta.
Cara pemberian souvenir pun tak beda saat Jokowi bagi-bagi sembako atau nasi kotak pada peristiwa yang telah lalu.
Sungguh, Republik ini semakin bising masalah akibat Jokowi bikin kerumunan di Maumere. Berbagai media massa pun terus mengangkat berita ini sebagai bahan gorengan. Menampilkan pendapat Si A. Mengapungkan cuitan Si B dan seterusnya, hingga grup-grup media sosial pun penuh dengan sebaran kritik ataupun dukungan.
Saya juga membaca, kekecewaan beberapa anggota DPR RI di media massa, karena Presiden Jokowi yang sewajibnya menjadi teladan untuk kedisiplinan protokol kesehatan, justru memberikan contoh pelanggaran.
Anggota Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati mengatakan pemerintah harus melakukan evaluasi setelah kegiatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Maumere, Sikka, NTT yang menciptakan kerumunan orang pada masa pandemi COVID-19. Sebab, kata politikus yang akrab disapa dengan panggilan Mufida ini, sosok Presiden Jokowi yang berstatus sebagai pemimpin Indonesia bisa menjadi teladan bagi rakyat dalam menerapkan protokol kesehatan (prokes).
"Seharusnya menjadi bahan evaluasi. Kepala negara harus menjadi contoh bagi rakyat," kata Mufida kepada awak media di Jakarta, Rabu (24/2/2021).
Lebih parah dari Raffi?
Sejatinya, Presiden Jokowi sudah memberi contoh baik ketika tampil di publik, menjadi orang pertama di Indonesia yang menjalani vaksinasi. Tidak seperti Raffi Ahmad yang seusai divaksin pagi, malamnya langsung pesta dan berkerumun hingga membikin gaduh dan kisruh negeri ini.
Namun, atas kejadian di Maumere, sepertinya peristiwa Bapak Presiden bikin kerumunan lebih parah dari Si contoh milenial Raffi Ahmad yang sama-sama mencoreng diri sendiri.
Setelah di vaksin, pesan WHO yang juga digaungkan oleh pemerintah Indonesia, tetap harus disiplin prokes.
Masyarakat pun hingga kini masih sedih dan menyesalkan, mengapa harus Presiden Jokowi yang malah bikin kerumunan? Ini sama saja kejadian pemerintah yang membiarkan corona masuk Indonesia dan terus merajalela.
Di mana analisis pihak Istana? Apa tidak terbaca sebelumnya bila rakyat yang jarang melihat Presidennya secara langsung, mau mereka pendukung atau bukan, tentu tetap ada keinginan melihat Presiden secara langsung dari dekat, sebab kesempatan belum tentu datang dua kali.
Jadi, tentunya kerumunan itu juga bukan hanya karena persoalan rakyat Maumere cinta Presiden, pendukung Presiden, dan pemilih Presiden. Tetapi karena ingin melihat Presiden Indonesia dari dekat, sebab kesempatan langka.
Bila Raffi dianggap melanggar prokes setelah divaksin dan dipanggil Istana untuk dinasihati dan lepas dari jerat hukum, siapa yang akan memanggil Presiden? Mungkinkah pihak Istana? Atau polisi? Atau siapa?