Mirisnya, media massa baik cetak mau pun online, televisi, hingga medsos, kini justru menjadikan cuitan sebagai sumber utama berita. Tak pelak, semua media kini sangat menanti-nanti setiap cuitan tokoh dan pejabat publik sebagai bahan berita untuk dikutip. Lalu, menjadi bahan gorengan sesuai kepentingan media bersangkutan demi rating dan viewers atau sesuai pesanan pihak yang membiayai.
Oleh karenanya, kini masyarakat dan berbagai pihak juga sudah sangat prihatin dan resah atas budaya mencuit para tokoh dan pejabat publik, yang justru tidak membikin nyaman suasana, sebaliknya malah menambah keruh suasana dari akibat cuitannya karena media massa dan masyarakat bebas memaknai yang bisa jadi tak sesuai maksud dan tujuan dari si pencuit.
Atas kondisi ini, dalam webiner Sabtu (21/11/2020), Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menyebut, kemajuan teknologi masa kini khususnya perangkat berbasis internet dan sosial media telah membuat seluruh negara dunia merasa perlu menciptakan aturan kehidupan di dunia maya. Pasalnya, dampak penggunaanya dapat secara instan mempengaruhi keutuhan sebuah negeri.
Apa yang diungkap Hadi memang kini sudah menjadi fakta. Medsos telah dimanfaatkan sebagai media propaganda, media perang urat syaraf. Media untuk perang informasi atau pun perang psikologi dan kini kita mengenal ada hastag, ada tranding topic.
Masifnya propaganda melalui medsos, khususnya Twitter karena dilakukan oleh para tokoh dan pejabat publik di tanah air, sangat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Masyarakat pun jadi ikutan terbudaya mencuit penyebaran berita bohong atau hoaks yang mendiskreditkan pihak tertentu, kelompok tertentu, Â pemerintah, dan pihak lain yang berseberangan dengan sasaran utama menciptkan opini negatif pihak tertentu di benak pikiran dan hati masyarakat awam serta generasi muda agar terbakar emosinya.
Semua itu kini bukannya di cegah, namun justru semakin masif dan subur, sehingga medsos menjadi sarang mencuit hal-hal provokatif dan mengeksploitasi isu-isu seperti SARA, penistaan tokoh masyarakat, tokoh agama, perlakuan etnis tertentu, atau pun kasus rasisme.
Untuk itu, melalui tulisan ini, secara pribadi saya mengetuk hati Bapak Mahfud MD, yang juga sangat hobi mencuit di Twitter, dan setiap cuitannya pasti akan trending dan menjadi bahan gorengan berita media massa yang membikin suasana tambah tak nyaman.
Mahfud MD selaku mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), dikenal masyarakat sebagai tokoh politikus yang tegas dan karismatik.
Kini di NKRI, berposisi menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), dan cukup aktif sebagai pengguna medso, terutama Twitter. Sebab cukup aktif memberikan postingan atau cuitab, ditambah dengan sosoknya yang memang terkenal, menjadikannya memiliki banyak pengikut di Twitter.
Tak dapat dipungkiri, cuitan-cuitan di akunnya pun selalu menyorot perhatian dan menjadi topik perbincangan serta menimbulkan berbagai reaksi di kalangan Netizen.
Sudah tak terhitung Mahmud MD mencuit di akun Twitternya sebelum dan sesudah menjabat sebagai Menkopolhukam, dan hampir setiap cuitannya, pasti menimbulkan reaksi dan menjadi santapan empuk media massa untuk mengulik dan menggorengnya hingga ujungnya tercipta polemik baru.
Sikap Mahfud sebagai pejabat pemerintahan yang aktif mencuit ini, sungguh banyak disesalkan oleh netizen. Seharusnya, tokoh sekelas Mahfud MD dan sesuai jabatannya kini, Â justru menjadi penyejuk bagi NKRI. Berbicaralah di ruang-ruang yang resmi dan menyegarkan, bukan mencuit di medsos.
Coba, simak apa cuitan terbaru Mahfud MD yang diunggah hari Minggu, 1 November 2020? Mahfud mencuit perihal kehancuran bangsa dan penegakan keadilan di mata hukum.
Tentu, cuitan ini pun langsung trending dan menjadi bahan gorengan media massa dan terus menjadi pertanyaan netizen atau masyarakat. Haruskah seorang Menkopolhukam bicara hal yang penting hanya sekadar dalam cuitan?
Seperti apa yang diungkap oleh Hadi bahwa medsos telah dimanfaatkan sebagai media propaganda, media perang urat syaraf. Media untuk perang informasi atau pun perang psikologi dan provokasi, maka sudah saatnya Mahfud MD mengurangi atau bahkan menyetop budaya mencuit yang menimbulkan polemik.Â