Mohon tunggu...
KOMENTAR
Healthy Pilihan

Mengapa Peraturan Rapid Test Perjalanan Dicabut Kemenkes?

9 September 2020   13:39 Diperbarui: 9 September 2020   13:41 395 4
Ironisnya, pencabutan aturan tersebut juga bertepatan dengan terus menggeloranya virus corona di Indonesia dan Presiden Jokowi baru mengungkap bahwa sekarang memperhatikan kesehatan menjadi kunci memutus mata rantai corona.

Bahkan  ada pihak yang mengungkap bahwa Presiden Jokowi baru siuman dan sadar setelah kasus positif menembus angka di atas 200.035 pada Selasa (8/9/2020).

Namun, di hari yang sama, masyarakat Indonesia juga dikagetkan oleh sikap Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang tahu-tahu mencabut aturan untuk melakukan rapid test atau swab test sebelum melakukan perjalanan dan digantikan hanya dengan ukur suhu tubuh  secara resmi.

Pencabutan itu tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), orang yang melakukan perjalanan tidak akan dites, penemuan kasus baru akan difokuskan di pintu masuk wilayah.

Pada halaman 35 Surat Keputusan, disebutkan bahwa secara umum kegiatan penemuan kasus Covid-19 di pintu masuk diawali dengan penemuan kasus pada pelaku perjalanan.

Yang menjadi pertanyaan, pencabutan aturan secara resmi ini, apakah benar-benar telah dibicarakan dengan stakeholder terkait? Pasalnya dengan kondisi yang ada, kasus corona bahkan terus meningkat.

Mengapa lagi-lagi Kemenkes mengambil keputusan yang terkesan sepihak, tidak meminta masukan dan saran dari pihak-pihak yang juga berkompeten dalam masalah ini?

Bila test dihapus dan untuk melakukan perjalanan, masyarakat hanya diukur suhu tubuhnya, apakah ini bukan sedang melakukan blunder kebijakan untuk yang kesekian kalinya? Bukannya menambah ketat protokol kesehatan, ini malah membuat longgar protokol kesehatan yang sudah dipatuhi masyarakat.

Dengan hanya melakukan tes suhu badan, risiko penyebaran corona digaransi akan lebih subur, mengingat kondisi masyarakat Indonesia yang masih skeptis, abai dan cuek.

Meski akan kembali hanya mengetes suhu tubuh kepada pelaku perjalanan yang diartikan sebagai orang yang melakukan perjalanan dari dalam negeri (domestik) maupun luar negeri pada 14 hari terakhir dan melacak kasus di pintu masuk atau perbatasan, dengan cara yang dilansir oleh Kemenkes seperti:

a. Meningkatkan pengawasan terhadap pelaku perjalanan (awak/personel, penumpang) khususnya yang berasal dari wilayah/negara dengan transmisi lokal, melalui pengamatan suhu dengan thermal scanner maupun thermometer infrared, pengamatan tanda dan gejala, maupun pemeriksaan kesehatan tambahan.
b. Melakukan pemeriksaan dokumen kesehatan pada orang.
c. Jika ditemukan pelaku perjalanan yang terdeteksi demam melalui thermal scanner/thermometer infrared maka dipisahkan dan dilakukan wawancara serta dievaluasi lebih lanjut.
d. Jika ditemukan pelaku perjalanan terdeteksi demam dan menunjukkan gejala-gejala pneumonia di atas alat angkut berdasarkan laporan awak alat angkut, maka petugas KKP akan melakukan pemeriksaan dan penanganan ke atas alat angkut dengan menggunakan APD yang sesuai.
e. Tatalaksana terhadap pelaku perjalanan dilakukan sesuai dengan kriteria kasus dan kondisi, serta prosedur penanganan kasus.
f. Terhadap barang dan alat angkut dilakukan tindakan kekarantinaan sesuai SOP yang berlaku.

Maka, pola ini tetap akan lebih rentan karena selama ini pengawasan terhadap pelaku perjalanan telah terbukti banyak "bolongnya" akibat tidak seragamnya kebijakan masing-masing daerah.

Meski tetap ada kewajiban tes sebagai kelengkapan dokumen kesehatan dan untuk mematuhi aturan di tempat tujuan, maka pencabutan aturan tes tetap menjadi masalah dan rancu.

Pendapat epidemiolog

Atas pencabutan peraturan tes ini, menurut dokter Spesialis Patologi Klinik Rumah Sakit Cicendo Shinta Sri Ayuda mengungkap bahwa rapid test hanya untuk mendeteksi imun tubuh dan antibodi yang bereaksi apabila terkena virus dan tidak hanya beraksi pada Virus SARS CoV-2 saja, sehingga hasilnya tidak bisa dijadikan acuan apakah seseorang terkena Covid-19 atau tidak.

Karenanya, ketika reaktif belum tentu positif Covid-19, atau kalau nonreaktif belum tentu negatif Covid-19. Tapi ini bisa digunakan untuk skrining virus, dan masih digunakan karena memang harganya yang relatif lebih murah.

Artinya, apa yang diungkap Shinta dapat disimpulkan bahwa rapid test yang murah tetap dapat diandalkan sebagai alat skrining.

Pendapat Shinta ini pun diperkuat oleh Kepala Departemen Epidemiologi FKM UI Tri Yunis Miko Wahyono yang mengatakan bahwa penghapusan aturan test tersebut bisa berakibat fatal seperti diungkap Tri Yunis kepada Bisnis.com Selasa (8/9/2020).

Menurutnya, rapid test masih bisa diandalkan meskipun masa inkubasinya lama dan dari sisi akurasi masih kurang. Tapi, setidaknya ada upaya untuk skrining daripada tidak ada sama sekali.

Dengan adanya pendapat dari Shinta dan Tri, ini menunjukkan bahwa kebijakan Kemenkes mencabut aturan tes perjalanan menjadi kurang kuat.

Selama ini, masyarakat juga sudah banyak yang memahami bahwa akurasi rapid test tidak 100 persen. Namun, bila rapid test  yang sensitivitasnya baik, sampai 93 persen lalu di hapus, padahal dengan rapid test setidaknya  dapat mendeteksi kalau orang terkena virus dalam beberapa hari menjelang perjalanan, maka pencabutan aturan memang benar-benar akan kembali membikin masalah.

Selama ini, sejak aturan perjalanan wajib menggunakan rapid test khususnya untuk angkutan udara dan kereta api, masyarakat sudah tertib dan tidak sembarangan melakukan perjalanan.

Mengapa Kemenkes mencabut aturan rapid test yang kini sudah dipatuhi masyarakat? Pencabutan peraturan pun nampaknya tak melibatkan stakeholder terkait, para pakar maupun epidemiolog.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun