Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Jelajah Tanakeke

9 Januari 2012   08:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:08 829 0

Di Makassar saya mendapat kesempatan untuk terlibat dalam mendukung kegiatan Focus Group Discussion (FGD) tentang pemanfaatan sumberdaya pesisir di beberapa dusun di desa yang ada di Pulau Tanakeke. Kegiatan ini merupakan rangkaian dari program Restoring Coastal Livelihood (RCL) atau disebut juga restorasi penghidupan pesisir yang di inisiasi oleh Oxfam Makassar yang bermitra dengan Yayasan Konservasi Laut Indonesia (YKL-I) di Kabupaten Takalar dan Kabupaten Maros.

Pulau Tanakeke bersama Pulau Bauluang, Pulau Satangga, dan Pulau Dayang-dayang termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar di Provinsi Sulawesi-Selatan. Pulau Tanakeke sendiri sebelumnya terdiri atas dua desa yang kemudian dimekarkan menjadi empat desa pada tahun 2011, yaitu Desa Mattiro baji, Desa Tompo tanah, Desa Rewatayya dan Desa Maccini baji. Wilayah kajian program telah sampai pada penentuan lokasi hingga tingkat dusun berdasarkan hasil assessment yang sebelumnya telah dilaksanakan oleh YKL-I. Lokasi dusun yang menjadi wilayah implementasi program yaitu Dusun Tompotanah dan Dusun Cambayya pada Desa Tompo tanah, Dusun Dandedandere pada Desa Mattiro Baji serta Dusun Lantang Peo dan Dusun Rewatayya pada Desa Rewatayya.

Tujuan program RCL adalah meningkatkan pengamanan mata pencaharian bagi masyarakat pesisir melalui kemitraan multi stakeholder yang diharapkan mampu meningkatkan upaya pengelolaan pesisir termasuk pemanfaatan sumberdaya mangrove. Atau dalam bahasa yang lebih gamblang, mendorong pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada di sekitar mereka dengan lebih baik. Dalam pelaksanaan program akan memberikan perhatian khusus pada pemberdayaan perempuan pesisir, kesetaraan gender, perlindungan hak-hak perempuan pesisir dalam peningkatan ekonomi masyarakat pesisir. FGD dimana saya akan terlibat dilaksanakan di dalam kelompok perempuan binaan YKL-I yang telah terbentuk pada beberapa dusun yang menjadi fokus pelaksanaan program.

Di Desa Tompo Tanah, kelompok perempuan binaan berada di Dusun Cambayya dan Dusun Tompo Tanah. Kelompok perempuan binaan tersebut masih dalam bentuk kelompok belajar, dimana yang banyak terlibat adalah kaum perempuan yang ingin belajar dalam hal tulis menulis maupun membaca. Pendekatan kelompok belajar yang digunakan ini untuk menghindari pendekatan kelompok berdasarkan program yang terkesan berorientasi uang yang selama ini telah sering terjadi dalam program-program pemberdayaan masyarakat sebelumnya. Pendekatan kelompok berdasarkan program akan memotivasi kelompok yang terbentuk hanya berdasarkan pada pemanfaatan program untuk mendapatkan keuntungan pribadi, bukan membangun kesadaran masyarakat sendiri dalam menerima manfaat program tersebut yang memang ditujukan untuk mereka. Pendekatan kelompok belajar merupakan strategi masuk yang baik mengingat tingkat pendidikan disebagian besar masyarakat pesisir pulau-pulau kecil masih sangat memprihatinkan. Jika melihat data-data statistik tingkat pendidikan, masyarakat tanpa pendidikan maupun putus sekolah akan sangat tinggi kita temui di pulau-pulau kecil. Sarana dan prasarana maupun aksebilitas masih belum cukup mendukung untuk peningkatannya.

Kondisi kelompok perempuan binaan masih sangat rentan karena belum ada struktur yang jelas dan pengorganisasian yang kuat. Namun hal ini masih merupakan dalam tahap awal program di tahun pertama dari target jangka waktu lima tahun program. Dalam FGD yang berlangsung di dusun cambayya dan tompo tanah, mayoritas anggota kelompok binaan (kaum perempuan) memiliki pekerjaan lain selain sebagai ibu rumah tangga, dan berperan penting menjadi motor penggerak ekonomi harian rumah tangga.

Dalam FGD yang berlangsung di beberapa dusun tersebut, dapat dipetakan pemanfaatan sumbedaya masyarakat pesisir terutama kaum perempuan di Pulau Tanakeke. Meskipun saat ini sebagian besar nelayan/masyarakat Pulau Tanakeke telah bertransformasi dari pemanfaatan mangrove ke pengelolaan budidaya rumput laut, namun masih ada sebagian kecil yang masih tetap mengakses hutan bakau (mangrove) untuk pemanfaatan sebagai patok tiang serta pembuatan arang bakar (cumi’) maupun untuk kebutuhan hari-hari di dapur. Selain sebagai pembuatan arang, masyarakat mengakses hutan bakau untuk pembukaan lahan tambak, sehingga terjadi penurunan jumlah luas hutan mangrove yang signifikan karena banyak yang telah beralih fungsi menjadi tambak. Setelah tambak melewati masa keemasannya dan mulai banyak mengalami kegagalan, masyarakat Pulau Tanakeke kemudian beralih ke budidaya rumput laut hingga saat ini.

Pemanfaatan bakau sebagai arang (cumi’) dilakukan oleh kaum pria dan perempuan Pulau Tanakeke. Kaum pria yang akan melakukan pekerjaan yang terbilang cukup berat yaitu masuk ke dalam hutan bakau kemudian memilih dan menebang batang bakau yang telah layak lalu membawa ke tempat pembakaran. Tebang pilih merupakan salahsatu bentuk kearifan lokal yang perlu dipertahankan dalam menjaga keberlangsungan sumberdaya. Di tempat pembakaran, kaum perempuan kemudian akan ikut berperan dalam membantu hingga proses pembakaran batang bakau menjadi arang selesai yang selanjutnya dikemas dan siap dipasarkan. Harga cumi’ tersebut bervariasi berkisar di Rp. 50.000 perkarungnya yang dipasarkan di daratan utama Kabupaten Takalar. Arang dari bakau atau cumi’ terkenal dengan kualitas pembakaran yang lebih baik dari arang jenis kayu lainnya.

Sementara pengelolaan tambak lebih banyak dilakukan oleh kaum pria. Komoditi utama yang dikembangkan yaitu ikan bandeng (bolu) serta udang. Sayangnya, akibat akumulasi penggunaan zat kimia dalam proses pembersihan pasca panen di tambak menyebabkan timbulnya penyakit pada komoditi sehingga berdampak pada gagal panen ditahun-tahun berikutnya.

Kaum perempuan juga banyak memanfaatkan sumberdaya moluscca (berbagai jenis kerang-kerangan) untuk konsumsi rumahtangga maupun diperjualbelikan di seputar lingkungan keberadaannya. Usaha kedai kecil maupun jajanan makanan harian menjadi alternatif bagi kaum perempuan dalam meningkatkan pendapatan rumah tangga.

Untuk pengelolaan rumput laut, kaum pria yang akan menangani mulai dari pemasangan, perawatan hingga proses pemanenan yang berlokasi di laut. Kaum perempuan membantu bekerja di darat dalam pemasangan bibit rumput laut dan pembersihan bentangan tali rumput laut yang akan digunakan.

Budidaya rumput laut juga menyisahkan masalah dalam tata ruang pesisir. Lahan budidaya rumput laut menjadi polemik dalam alur transportasi laut yang dapat berkembang menjadi konflik. Bagi nelayan setempat, hal itu belum menjadi masalah yang besar. Namun bagi nelayan di lokasi lain hal ini dapat menjadi masalah karena kapal/perahu nelayan yang salah dalam memilih jalur transportasi laut dapat menyebakan tertabrak dan rusaknya budidaya rumput laut yang ada pada jalur transportasi laut. Hal ini tentu saja dapat memicu konflik dalam pemanfaatan lahan terutama di laut. Selain itu, dilihat dari segi estetika, penataan areal budidaya rumput laut jauh dari segikesempurnaan, yang tentu saja dapat mempengaruhi dalam pengembangan wisata lokal masyarakat sekitar. Untuk itu perlu usaha bersama antara masyarakat nelayan dan petani budidaya rumput laut serta pemerintah sebagai regulator untuk mencari jalan keluar bersama dalam mengantisipasi permasalahan tersebut.

Harmonisasi kerjasama dalam keluarga sangat terlihat dari hasil FGD ini. Peran kaum pria dan perempuan dapat terpetakan lebih jelas. Peranan kaum perempuan lebih aktifdibandingkan kaum pria jika menggunakankan parameter jenis aktifitas yang ada meskipun dengan tingkat kesulitan yang berbeda. Kaum perempuan selain membantu dalam kegiatan ekonomi utama rumah tangga, juga harus membagi waktu dengan memberikan perhatian kepada keluarga (anak), lingkungan sosial (aktifitas bersama masyarakat sekitar) dan keseharian rumah tangga (masak, mencuci, mebersihkan, dll). Sehingga, tak jarang ditemui di pulau-pulau kecil dimana kaum pria terlihat lebih banyak bersantai dibandingkan kaum perempuan. Dari hasil pemetaan melalui FGD tersebut dapat disusun rencana strategi selanjutnya dalam pencapaian target program. Kajian yang lebih mendalam serta langkah-langkah strategi yang jitu tentu saja dibutuhkan untuk dapat lebih mematangkan proses dalam pencapaian target program.

Dalam hal pemberdayaan, bagaimana proses pendampingan itu berjalan dengan tidak menyebabkan ketergantungan dapat menjadi tolak ukur pencapaian proses pemberdayaan. Strategi masuk yang baik tentu saja harus dilengkapi dengan strategi keluar yang sama baiknya. Mudah-mudahan ketika berakhirnya program tersebut, masyarakat tanakeke mendapatkan manfaat yang signifikan dan mengalami perubahan yang berarti. Selain parameter keberhasilan yang dapat di ukur secara teoritis dalam bentuk laporan dengan indikatornya, ada karya nyata di lokasi implementasi program yang dapat dilihat dengan kasak mata. Idealnya, ketika program berakhir dengan penilaian sukses, maka tak ada lagi program yang sama atau menyerupai masuk ke dalam lokasi tersebut di masa-masa berikutnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun