Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Empat Tipe Manusia dari Sisi Keilmuannya

31 Mei 2010   02:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:51 206 0
Negeri tercinta kita ini (rasanya) tidak kekurangan orang-orang yang berpendidikan tinggi. Mereka ada diberbagai tempat. Sebahagian masih merantau di tanah seberang dalam rangka menuntut ilmu maupun bekerja mengaplikasikan dan memperdalam ilmunya. Mereka ada yang duduk di posisi pengambil kebijakan (dari pusat hingga daerah), ada yang jadi pengusaha, ada yang berkarir di jalur profesional, dan lain-lain. Semuanya telah, sedang, dan akan berbuat sesuatu dengan ilmu yang dikuasainya, entah itu secara benar (jujur, amanah, berakhlaq) maupun secara keliru (korupsi, tipu-tipu, menindas rakyat, merusak alam). Sungguh amat menarik mengamati manusia dari sisi penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan. Setidaknya ada empat tipe manusia ditinjau dari sisi ini. Berikut uraiannya,

1. Orang bodoh. Ini adalah tipe paling rendah. Mereka tidak menguasai ilmu. Di sini ada dua sub tipe lagi yaitu:

(a) Orang yang tidak menyadari kebodohannya. Orang ini akan tetap konsisten dalam kebodohannya. Ia terus saja melaju dalam berbagai pemikiran dan perbuatan yang keliru karena tidak dilandasi oleh ilmu pengetahuan. Mereka ngeyel dalam kesalahannya. Ini diperparah oleh lahirnya sikap menolak kebenaran ilmu pengetahuan. Mereka akan "berkembang" menjadi manusia yang sombong dalam kebodohannya. Mereka adalah manusia yang tidak tahu dan tidak mau tahu. Ini jelas golongan yang merepotkan. Sub tipe ini jelas cukup repot diajak dialog. Terhadap mereka cukuplah diberikan bukti-bukti nyata (secara terus menerus) akan kebenaran ilmu pengetahuan dengan harapan hal ini akan membuka mata hati, meruntuhkan kesombongan, dan siap menerima ilmu.

(b) orang yang menyadari kebodohannya. Sub tipe ini masih "lumayan" ketimbang yang pertama. Mereka sadar sesadar-sadarnya bahwa mereka tidak memiliki ilmu pengetahuan. Sikap ini akan melahirkan rendah hati. Mereka akan dengan rela menyerahkan segala sesuatunya kepada yang ahli (memiliki ilmu). Mereka memiliki cukup rasa malu akan kebodohannya. Tapi terkadang rasa malu ini berkembang jadi minder dan rendah diri. Ini jelas tidak baik. Kesadaran dan rasa malu akan kebodohan seharusnya diarahkan kepada semangat mencari dan mempelajari ilmu. Orang-orang seperti ini harus dimotivasi untuk tidak lelah berupaya keluar dari jurang gelap kebodohannya dan menaiki puncak gunung ilmu pengetahuan.

2. Orang yang hafal ilmu. Ini adalah "orang sekolahan". Mereka rajin membaca dan menumpuk ingatan tentang ilmu. Hal yang menakjubkan adalah penguasaan mereka akan teks teori berbagai ilmu pengetahuan. Jika diberi pertanyaan tentang ilmu niscaya mereka akan menjawabnya dengan tepat sebagaimana teks yang mereka hafal. Namun mereka hanya terhenti di sini. Ilmunya hanya sebatas di otak dan lidah. Belum turun ke tangan, kaki, dan hati. Ilmunya belum membumi. Tipe ini juga perlu dimotivasi dan diajak untuk "magang" mempraktekkan ilmunya.

3. Orang yang faham ilmu. Kelasnya sudah naik satu tingkat dibanding tipe sebelumnya. Mereka termasuk orang yang hafal ilmu dan mempraktekkannya. Di sebut faham karena mereka sudah mengkaji ilmu yang dihafalnya itu hingga ke dalam-dalamnya. Teori yang mereka hafal, mereka sibak lagi ada apa dibaliknya. Mereka menggalinya dengan cara melakukan praktek. Karena itulah mereka disebut faham. Namun mereka adalah orang-orang yang kaku. Mereka bertindak berdasarkan ilmunya secara harfiah apa adanya (Betawi: saklek). Mereka (cukup sering) masih sulit menerima realita yang berbeda dengan apa yang difahaminya. Karenanya mereka cenderung bersikap eksklusif.

4. Orang bijaksana. Ini adalah orang yang peringkatnya paling tinggi dalam hal keilmuan. Mereka hafal ilmu, mempraktekkannya, dan menerima realitas yang ada di sekelilingnya. Mereka mampu berdamai dengan keadaan, tapi tidak untuk larut. Melainkan untuk dianalisa apakah keadaan ini sekadar peristiwa tidak penting belaka atau ada ilmu baru yang bisa digali atau bisakah ilmu yang telah dikuasainya itu diterapkan dalam keadaan itu untuk memperbaikinya dengan kelembutan cinta (jika keadaan itu salah) atau untuk memberikan nilai tambah (jika keadaan itu sudah baik dan benar). Mereka orang yang inklusif, jujur, amanah, siap menerima perbedaan, insting belajarnya selalu menyala, haus akan hal-hal baru, selalu ingin memberikan kebaikan, siap menolong, dan penuh kasih sayang. Mereka, dengan cara yang sedemikian rupa, selalu mendapatkan hikmah dari setiap keadaan. Hal itu dikarenakan mereka memiliki mata batin (Arab: bashiroh) yang mampu melihat hikmah di balik tembok keadaan yang seringkali cukup tebal.

Melihat situasi dan kondisi negeri ini, tampaknya kita lebih membutuhkan orang-orang yang bijak, bukan sekadar orang yang bertitel pendidikan tinggi. Rezim silih berganti tapi keadaan negeri masih juga jauh dari yang dicita-citakan. Padahal setiap rezim selalu dikelilingi oleh sekelompok orang yang luar biasa pintar. Kepintaran secara akademik belum menjamin kebijaksanaan. Nilai-nilai kebijaksanaan diperoleh dengan kerja keras penerapan ilmu dan interaksi dengan masyarakat dan alam semesta, serta pendekatan yang dalam dengan Tuhan.

Tipe yang manakah diri kita? Hanya Tuhan dan diri sendirilah yang tahu. Mari kita terus belajar agar jadi orang yang bijaksana.

Wallahu a'lam bisshowab.

Tomy Bustomy. Kalibata. 31 Mei 2010. 09:24WIB

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun