Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Naluri yang Menunda Ajal dan Butir-Butir Nasi Amal Jariyah

2 Juni 2024   07:53 Diperbarui: 2 Juni 2024   07:57 566 7
Azan Jumat sedang berkumandang di masjid Al Hijrah, di Depok. Ponselku bergetar. Biasanya aku tidak angkat. Tapi di layar, tertera nama adikku. Dia sedang di RSCM, menunggui adik kami paling bungsu, Rizki Kahesti Wahyuningtyas atau akrab dipanggil Kiki."Mas, Kiki udah nggak ada," Suara diujung sana terdengar terisak..

Imam Jumat naik ke mimbar.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu," katanya membuka khutbah Jumat.

Hari itu, Jumat 17 November 2023, persis saat azan Jumat berkumandang, adik bungsu kami itu memenuhi panggilan Rabb-Nya dengan tenang.

Aku menyelesaikan sholat Jumat dengan hati gundah. Begitu salam penutup sholat diucapkan, aku langsung beranjak pergi.

Ibu di rumah harus diberitahu. Harus aku yang memberitahu, sebagai anak sulung, pengganti Bapak yang sudah almarhum.

Ibu sudah mengikhlaskan Kiki jika memang sudah saatnya berpulang. Itu yang disampaikan Ibu saat menunggui Kiki yang mulai kehilangan kesadarannya, sehari sebelumnya.

Tetap saja tangis Ibu pecah, ketika aku datang bersimpuh, mencium tangannya dan memeluk Ibu erat-erat, sambil berbisik menyampaikan kabar duka itu.

Buat Ibu, ini masa-masa yang berat.

Sebelumnya, pada bulan Juni 2023, anak Ibu yang kedua, Bhimo Sambodo Trahutomo, wafat sepulang dari dirawat di rumah sakit di Malang, Jawa Timur. Almarhumah Kiki masih sempat melayat. Lima bulan kemudian, Kiki ternyata menyusul berpulang.Tidak mudah bagi Ibu untuk memikul duka kehilangan dua anak berturut-turut, hanya dalam hitungan bulan. Apalagi dalam usia beliau yang sudah menginjak 80 tahunan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun