Matanya memandangi jalan yang terhalang gerobak yang didorongnya dengan penuh antusias. Berharap hari ini dagangannya bisa terjual habis.
Tak lupa sebuah handuk kecil selalu melingkar di lehernya. Cuaca panas jika siang hari tiba membuat badannya selalu kuyup dengan keringat. Belum lagi karena lelah mendorong gerobak sejauh 20 km setiap hari. Peluh sebesar biji kedelai menetes deras.
Seperti biasa, Pak Ris selalu berjualan di depan salah satu SD di kota tempat tinggalnya. Di tempat itu pula ke-tiga anaknya belajar. Dua anaknya lagi sudah menempuh jenjang perguruan tinggi di luar kota. Tak seperti 5 tahun yang lalu, Pak Ris ditemani istrinya berjualan. Istrinya meninggal saat melahirkan anak ke-enamnya. Bayi yang dilahirkan juga meninggal sesaat setelah ibunya meninggal.
Tak terbesit firasat buruk di benaknya hari itu. Saat hari mulai siang, Pak Ris beristirahat di bawah pohon. Semilir angin yang membelai-belai membuat matanya sayup-sayup. Sedikit-demi sedikit meredup. Dan akhirnya tertidur.
Pak Ris terbangun kala keributan terdengar. Sambil mengucek-ngucek mata Pak Ris samar-samar membuka matanya. Spontan dia kaget. Dimana gerobaknya? Dia menyapu pandangannya ke seluruh daerah sekitarnya. Keributan yang terdengar menjauh. Pak Ris mengejar sumber suara itu sebenarnya apa yang terjadi?
“Astaga, gerobakku kena razia satpol PP lagi...” ratapnya sambil terkuali lemas. Di kepala Pak Ris hanya tebayang lima orang anaknya yang masih menempuh pendidikan. Belum lagi tunggakan kontrakan yang sudah dua tahun belum dibayar.
Salahkah Pak Ris yang memilih untuk tidak menggantungkan hidupnya pada orang lain? Mengemis misal. Apa berjualan itu salah? Berwirausaha itu salah? Baiklah Pak Ris salah karena dianggap melanggar ketertiban dan keindahan kota. Tetapi, apa masalah selesai begitu gerobaknya dirazia? Bagaimana kalau Pak Ris akhirnya terlibat tindakan kriminal karena terhimpit kebutuhan hidup?