Nasionalisme, yang dikukuhkan melalui upacara bendera, tumbang karena tak sarapan.
Maka, sungguh brengsek para kepala sekolah dan dinas pendidikan dan seluruh aparat negara dan para menteri serta presiden dan para lurah dan camat yang memaksakan nasionalisme pada bocah-bocah yang tak sarapan.
Apakah mereka tak tahu bahwa kejedot tanah itu menyakitkan dan bisa bikin benjol jidat berhari-hari? Apakah mereka tak tahu bahwa pingsan, dengan gaya jatuh dan posisi terkapar model apapun, akan terlihat memalukan dan sungguh tak keren?
Nasionalisme yang tak kalah memuakkan muncul dari mulut sok-sokan para artis. Grup band Cokelat meneriakkan nasionalisme ala upacara bendera dengan nada dan lagak yang bisa bikin mules. Lagu mereka, kalau tak salah berjudul Bendera, mereka nyanyikan dengan mata berbinar dan tangan mengepal. Netral: Garuda di Dadaku, saya yakin mereka tak pernah pingsan saat upacara bendera. Peewe Gaskin juga, entah apa judulnya. Begitu pula Titik Puspa dan Gombloh pada masa lalu. Seluruh lagu-lagu itu, bagi saya, hanya cocok untuk sumpal pantat di saat seluruh orang dengan sok khidmat dan bijak sedang merayakan hari kemerdekaan sambil makan nasi kuning.
Kenapa Nasionalisme menjadi memuakkan? Karena di saat yang sama kita tahu bahwa ada cerita Freeport kontra suku Amungme yang menyayat hati, lumpur Lapindo, kasus Mesuji, kisah kemiskinan yang mencekik, penggusuran, Illegal logging, gurita korporasi, korupsi yang gila-gilaan, partai politik yang menyerupai gerombolan preman, polisi yang tak terkendali, para petani yang digebukin dan dirampas tanahnya, masyarakat adat yang dikibuli dan diludahi.
Tai. Sungguh tai yang kekal!
Apalagi yang tersisa?
Dan Nasionalisme, juga bisa berarti strategi dagang.
“Pakailah Produk Dalam Negeri”. Bagi saya, slogan itu terasa menggelikan dan sekaligus mengerikan.
Kenapa? Karena toh kita tahu bahwa produk-produk Nasional itu sebenarnya hanyalah milik dan monopoli segelintir orang.
Karena sambil meneriakkan slogan di atas, sistem politik dan ekonomi negara ini tengah menggilas habis usaha kecil milik komunitas-komunitas lokal.
Karena sambil meneriakkan kampanye di atas, Negara ini tengah kawin dengan korporasi-korporasi raksasa, menyelewengkan dana publik, dan merampas kepemilikan bersama.
Karena sambil meneriakkan kampanye di atas, pupuk hilang dari pasaran dan harga kentang dan bawang dan buah-buahan dirubuhkan.
Karena sambil meneriakkan kampanye di atas, gurita korporasi membengkak. Monopoli terjadi dari hulu ke hilir.
Jadi kampanye untuk memakai dan membeli produk dalam negeri, bagi saya, tak lebih hanyalah sebuah upaya mendongkrak ketaatan kita pada produk-produk milik Si kaya, yang itu-itu saja, yang telah mencengkeramkan kukunya dalam-dalam dan menguasai seluruh jaringan dagang dan ruang-ruang publik.
Bagi saya, entah itu lokal atau global, kerakusan harus dihindari.
Tai tetaplah tai.
Nasional atau Internasional, orang brengsek tetap saja brengsek.
Terigu lokal atau bukan, kalau sama-sama berasal dari pabrik brengsek nan rakus yang kejam dan penuh manipulasi dan membuang limbah sembarangan, tetap aja berasa tai anjing.
Bagi saya, gerakan kemandirian yang sejati adalah apabila kita memihak pada produk-produk usaha kecil milik komunitas-komunitas lokal yang demokratis, dan yang tak gigantik, dan ramah lingkungan, dan melibatkan perempuan secara setara, dan berkelanjutan, dan egaliter, dan kolektif, dan tak memakai formalin, dan mempunyai suasana kerja yang menyenangkan, dan tak membunuh anjing sesukanya, dan tak menelantarkan orang jompo atau anak-anak, dan tak suka bergunjing, dan menolak rentenir, dan gemar berolah raga, dan bekerja sambil bersenang-senang dan bernyanyi, dan semacamnya dan semacamnya.
--
toha adog