Pasal 13
(1) Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa.
(2) Pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/ kota atau provinsi.
Pasal 14
(1) Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.
(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi :
a. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);
b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;
c. rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan
d. rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.
(3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat.
Pendapat saya:
Pendirian rumah ibadat sebagai salah satu sarana bagi para pemeluk agama untuk beribadat dan melaksanakan hak dan kewajiban agamanya (sesuatu yang dipercayai dan diyakininya) menjadi semakin sulit dan diarahkan menjadi lebih administratif. Pasal 13(1) dan 13(3) menyatakan bahwa pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk. Persyaratan komposisi penduduk itu kemudian diperkuat dalam pasal 14(2). Penekanan dasar pendirian rumah ibadat menjadi lebih kepada "komposisi jumlah penduduk" bukan karena adanya keperluan/kebutuhan nyata. Sebuah hal yang patut dipertanyakan. Apakah hal itu tidak menjadi kontradiktif dengan pernyataan:
(a) "Bahwa hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun,
(b) Bahwa setiap orang bebas memilih agama dan beribadat menurut agamanya,
(c) Bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu,
(d) Bahwa Pemerintah berkewajiban melindungi setiap usaha penduduk melaksanakan ajaran agama dan ibadat pemeluk-pemeluknya, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan, tidak menyalahgunakan atau menodai agama, serta tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum."
Persyaratan khusus (teknis) untuk mendirikan rumah ibadat dalam pasal 14(2) a, b, c, dan d juga menunjukkan semakin sulitnya mendirikan rumah ibadat karena sebuah rumah ibadat dapat didirikan jika, diminta (disetujui) oleh 150 orang yang terdiri dari 90 orang yang akan menggunakannya dan 60 orang dari agama lain (di lingkungan tersebut) dan juga adanya rekomendasi tertulis. Jadi, jika yang akan menggunakannya kurang dari 90 (sembilan puluh) orang, ada dasar untuk menolak permintaan untuk mendirikan sebuah rumah ibadat. Jika ada 90 orang yang akan menggunakannya tetapi didukung oleh kurang dari 60 (enam puluh) orang, maka ada dasar untuk menolak permintaan tersebut. Mengapa pasal 14(2)b itu harus ada? Bukankah pasal 14(2)a, c, dan d sudah cukup? Lalu apakah pasal ini hendak menekankan adanya mayoritas dan minoritas? Lalu apakah pasal 14 (2)b itu tidak menjadi kontradiktif dengan pernyataan (a) s/d (d) di atas? Yang ditakutkan adalah karena faktor ketiadaan rumah ibadat (sulitnya membangun rumah ibadat) akan terjadi pengkotak-kotakan daerah menurut agama dan kepercayaan, yang pada akhirnya akan mengancam persatuan dan kesatuan kita sebagai satu tumpah darah dan satu bangsa yang merdeka.
Peraturan ini menyebutkan tentang kewajiban aparatur negara tetapi tidak menyebutkan secara spesifik konsekuensi (punishment) jika mereka tidak mampu melakukan kewajibannya dengan baik dan benar.
Sebagai penutup, apakah semua rumah ibadat yang didirikan di Indonesia mulai dari 21 Maret 2006 sudah memenuhi persyaratan yang diharuskan dalam peraturan bersama ini? Jika tidak, lalu bagaimana?