Di Indonesia, Ospek sering dimulai dengan PKKMB (Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru), yang merupakan program wajib dan syarat kelulusan. Jika seorang mahasiswa baru gagal dalam PKKMB, ia harus mengulang kegiatan tersebut pada tahun berikutnya. Di balik tujuan utamanya untuk membantu mahasiswa baru beradaptasi dengan dunia perkuliahan, Ospek di Indonesia sering kali berubah menjadi ajang “pembentukan karakter” yang sangat menekan.
Mahasiswa baru biasanya diminta untuk tiba di kampus pada pagi hari, sering kali sebelum pukul tujuh, dengan menggunakan atribut yang dibuat secara khusus seperti keplek atau tanda pengenal, buku catatan, dan perlengkapan lainnya. Mereka juga harus menyelesaikan serangkaian tugas dengan tenggat waktu yang ketat. Pelanggaran sekecil apapun, seperti datang terlambat atau atribut yang kurang lengkap, bisa berakibat pada hukuman dan teguran keras dari senior atau panitia. Tekanan mental ini kadang diperparah dengan interaksi dengan Komisi Disiplin (Komdis) yang dikenal dengan sikap tegas dan kritik tajam terhadap kesalahan mahasiswa baru.
Tidak jarang mahasiswa baru merasa kelelahan secara fisik dan mental karena jadwal yang padat, minimnya waktu istirahat, serta konsumsi yang tidak memadai. Beberapa mahasiswa bahkan harus dirawat di rumah sakit akibat kelelahan atau stres yang berlebihan. Dengan segala tantangan tersebut, muncul pertanyaan: Mengapa budaya ini tetap diterapkan?
Salah satu alasan utama adalah keyakinan bahwa Ospek yang keras melatih ketahanan mental dan disiplin. Budaya ini dianggap bisa mempersiapkan mahasiswa untuk menghadapi tantangan perkuliahan dan dunia kerja yang penuh tekanan. Meski demikian, banyak pihak yang menilai bahwa metode ini tidak lagi relevan di era modern yang lebih menekankan pada pendekatan edukasi yang inklusif dan suportif.
Orientasi Kampus di Luar Negeri: Pendekatan yang Lebih Inklusif