Rabu, 4 Desember 2013 Kementerian Luar Negeri BEM FSSR UNS Kabinet Saseru Satu sukses menggelar sebuah diskusi. Ini merupakan diskusi perdana Kemenlu BEM FSSR UNS mengenai isu kekinian. Diskusi ini diisi oleh dua pemateri, yaitu M. Sidiq H. M dan Tori Nuariza S, keduanya merupakan pembesar BEM FSSR. Kemudian diskusi ini dihari oleh 16 peserta yang terdiri dari pengurus dan eksmud (eksekutif muda atau maganger) BEM FSSR.
Diskusi ini mengenai vandalisme yang diterima oleh BEM pada minggu kemarin, vandalisme tersebut berupa tembok depan sekre BEM yang dicoreti tulisan “Bukan Eksekutif Mahasiswa” oleh pelaku yang tidak diketahui. Kemudian hal ini dibedah melalui sejarah BEM. Misalnya, bagaimana tantangan yang dihadapi oleh BEM dalam perjalanannya. Selain itu pada diskusi ini juga dibahas seluk beluk mengenai konflik, mulai dari penyebab dan konflik BEM. Namun sebelum semua itu dibahas, diskusi ini membahas tujuan peserta diskusi mengikuti BEM dan alasan untuk bertahan di BEM, terutama bagi pengurus.
Berdasarkan pendapat dari beberapa pengurus BEM FSSR, alasan mereka bergabung di BEM karena ingin belajar berorganisasi, ingin mengisi waktu luang dengan kegiatan yang positif dan tertarik dengan hal-hal di bidang sosial. Kemudian alasan mereka masih bertahan di BEM karena menurut mereka mendapat banyak hal, pelajaran, dan pengalaman berorganisasi. Selain itu, mereka juga mendapatkan banyak teman dan jaringan, dan satu hal yang terpenting adalah mereka menemukan keluarga baru, yaitu BEM FSSR.
Sementara menurut pendapat eksmud, alasan mereka bergabung dengan BEM relatif sama dengan alasan pengurus. Misalnya ingin belajar berorganisasi dan ingin mengisi waktu luang dengan kegiatan yang positif.
Karakteristik FSSR
Pembahasan pertama diawali oleh latar belakang Fakultas Sastra dan Seni Rupa (FSSR) yang mempunyai karakteristik tertentu, berbeda dengan fakultas-fakultas lain di UNS. FSSR terdiri dua bidang keilmuan, yaitu sastra dan seni rupa. Keduanya pun juga berbeda, jika sastra terkenal dengan tulisan-tulisan serta pemikirannya sedangkan seni rupa terkenal dengan karya-karya seninya. Kemudian jika dilihat dari jumlah jurusannya, FSSR mempunyai jumlah jurusan terbanyak di UNS, yaitu sebanyak 10 jurusan. Mungkin FKIP juga mempunyai jurusan yang banyak, namun beda ceritanya karena FKIP mencetak guru-guru sedangkan FSSR tidak. Selain itu masalah aturan juga berbeda, jika FKIP mempunyai aturan yang ketat bahkan pakaian kuliah pun juga diatur. Hal ini sangat berbeda jauh dengan FSSR, disini kuliah dengan memakai kaos oblong pun tak dipermasalahkan. Selanjutnya dari 10 jurusan tadi, masing-masing jurusan mempunyai karakteristik yang berbeda. Semua ini dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa secara kultural FSSR berbeda dengan fakultas lain.
Kultur dan pemikiran di FSSR masih tergolong primitif, yaitu keduanya tidak mengarah ke depan. FSSR masih berkutat dengan kultur dan pemikiran kuno, senioritas pun masih eksis disini dan hal-hal yang berbau historis sangat dijunjung disini. Kita dapat mengambil contoh sederhana, misalnya passing grade. Jika dibandingkan dengan fakultas lain, FSSR mempunyai passing grade yang paling rendah, tentu dapat dibayangkan jika kualitas mahasiswa FSSR secara umum.
Sejarah BEM FSSR
BEM resmi dijadikan sebuah organisasi mahasiswa (ormawa) pada tahun 2009, sehingga BEM dapat dikatan sebagai ormawa yang relatif masih muda. Sebelum BEM berdiri di FSSR, ada Senat Mahasiswa dan BKM (Badan Koordinasi Mahasiswa). Keduanya terdiri dari perwakilan UKM, HMJ dan HMP. Senat Mahasiswa FSSR dibentuk pada tahun 2002 dan bertahan selama dua tahun, selanjutnya digantikan oleh BKM.
BKM terbentuk pada tahun 2004 dan bertahan selama tiga periode kepengurusan. Namun dalam perjalanannya BKM tidak mempunyai kegiatan yang jelas. Secara normal BKM bertugas menjembatani mahasiswa dengan dekanat dan memberikan pelayanan kepada mahasiswa atau advokasi. Namun BKM tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Terbukti dengan adanya kesulitan yang dialami oleh mahasiswa untuk mengadakan kegiatan pada waktu itu.
Selain itu BKM juga tidak mengupayakan untuk meningkatkan mutu FSSR, misalnya dalam hal fasilitas yang ada disana. Konon fakultas ini mempunyai bangunan tertua yang telah dibangun sejak berdirinya UNS pada tahun 1976. Sayangnya selama itu pula tidak pernah ada perbaikan yang berarti untuk fakultas ini, hanya ada satu perbaikan, yaitu pengecatan ulang. Hal ini menjadikan fakultas ini dengan bangunan tua, ruang-ruang kelas yang panas, serta kamar mandi yang tidak layak. Dalam masalah ini seharusnya BKM berperan untuk menyuarakan perbaikan fasilitas fakultas kepada dekanat. Hal-hal semacam inilah yang menggelisahkan banyak pihak di fakultas tersebut, terutama orang-orang SKI dan HMJ EDCOM.
Kegentingan kondisi ini ditambah pula dengan adanya sidang pembacaan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) dari BKM pada tahun 2008 yang tidak dihadiri oleh Ketua Umum BKM. Sehingga LPJ yang sedianya dibacakan oleh ketua umum, akhirnya dibacakan oleh perwakilan dari BKM. Hal ini menimbulkan dua kubu yang mempunyai masing-masing pandangan terhadap kejadian ini. Kubu pertama menganggap hal tersebut sebagai hal lumrah dan menerima jika LPJ dibacakan oleh perwakilan dari ketua umum. Sedangkan kubu kedua tidak menyetujui hal tersebut, bagi mereka hal itu tidak sah. Mereka juga menuntut pembubaran BKM dan digantikan oleh BEM.
Perkembangan selanjutnya yaitu adanya beberapa tahap sidang pembubaran BKM dan pendirian BEM. Tentu hal ini mempunyai liku-liku yang tajam, banyak pihak yang tidak menyetujui sidang ini. Mereka tidak setuju dengan pembubaran BKM, apalagi digantikan oleh BEM. Hal ini karena jika BEM berdiri di FSSR, mereka akan merasa diatur oleh BEM. BEM seolah-olah menjadi penguasa. Mereka juga merasa cemburu kepada BEM yang mempunyai posisi startegis terhadap dekanat.
Pada sidang yang ketiga dihadiri oleh Pembantu Dekan I (PD I), Bapak Sri Agus. Beliau menuntut pembentukan BEM karena uang hibah dari Dikti yang diberikan untuk membiayai kegiatan mahasiswa tidak akan bisa turun ke mahasiswa jika tidak ada BEM. Selanjutnya lahirlah keputusan untuk pembentukan BEM FSSR, namun keputusan itu sulit untuk diterima oleh orang-orang UKM. Hal ini disebabkan oleh kekhawatiran mereka terhadap BEM, jika BEM nanti menjadi penguasa.
Selang beberapa waktu kemudian BEM FSSR dibentuk dan dilantik. Maka BEM secara resmi berdiri di bumi FSSR. Sejak awal kelahiran BEM ini, lembaga pers FSSR akan mengawal berjalannya BEM FSSR.
Ibarat seorang bayi yang baru lahir, para pengurus BEM FSSR belum memahami apa itu BEM, bagaimana harus melangkahkan kaki-kaki BEM. Kemudian berkaitan dengan pengurus BEM yang didominasi oleh orang-orang SKI dan HMJ EDCOM. Sehingga muncul sebuah kritik mengenai kondisi keaparatan BEM, karena banyak yang berasal dari dua lemabaga tersebut. Ibarat ada bayangan di tubuh BEM dan BEM tidak independen. Maka dari itu secara pragmatis kita bisa menarik kesimpulan jika BEM di kemudian hari terlibat dalam konflik. Karena sejak pembentukannya saja telah melahirkan perdebatan dan ketidakpersetujuan, sehingga dalam perjalanannya pun akan diwarnai cobaan dan ujian, salah satunya berupa konflik.
Hakikat BEM
Menurut Muhammad Sidiq, pemateri dalam diskusi ini mengatakan bahwa BEM itu bukan sebuah organisasi politik, bukan organisasi seperti partai politik. Namun, politik bagi BEM merupakan sebuah unsur pendukungnya saja. Ibarat Negara Indonesia yang mempunyai tujuan seperti apa yang termuat dalam pembukaan UUD 1945. BEM FSSR juga mempunyai tujuan. Sehingga tujuan subjek BEM adalah mahasiswa, bukan pengurus atau dengan kata lain, tujuan BEM adalah memberikan kesejahteraan mahasiswa. Selain itu bentukan mental yang diharapkan agar dimiliki oleh pengurus BEM adalah mental pelayan, bukan mental buruh. Sehingga tolok ukur untuk kinerja BEM adalah sejauh mana mereka memberikan pelayanan kepada mahasiswa dan UKM. Kemudian hal yang wajib diadvokasi oleh BEM adalah kebijakan, kebijakan ini berkaitan dengan hubungan antara penguasa dengan rakyat serta sarana dan prasarana.
Selain itu BEM juga bukan organisasi kekeluargaan. BEM mempunyai proses politik, misalnya: suksesi pemerintahan di BEM, pemira presiden dan wakil presiden BEM, Rapat Presidium yang menghasilkan sebuah kebijakan, dll. Sedangkan proses berorganisasi di BEM itu linier, sehingga tujuan berproses di BEM itu harus jelas. Penting pula untuk kesiapan diri dalam mengorbankan waktu, harta, pikiran dan fisik.
Adanya konflik dalam perjalanan berproses di BEM tidak akan menjadi sebuah masalah yang besar. Jika kita mempunyai orientasi yang jelas di BEM. Kemudian muncul sebuah pertanyaan, apakah BEM mungkin dibubarkan? Jawabannya adalah mungkin. Kemungkinan itu terjadi jika BEM tidak menjalankan perannya. Peran BEM adalah kaderisasi, peningkatan mutu pelayanan. Jika BEM tidak menjalankan perannya, bubarkan saja BEM!
*Notulensi Diskusi Isu Kekinian
Kemenlu BEM FSSR UNS