Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

You are What You Wear

10 Maret 2011   09:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:54 167 2
“You are what you wear”. Banyak dari kita yang pasti pernah mendengar ungkapan ini. Busana telah berevolusi dari fungsi dasarnya sebagai penutup tubuh. Busana pada saat ini telah jauh berkembang fungsinya.

Evolusi Busana
Busana sebagai salah satu penanda dari identitas seseorang. Dari busana yang dikenakannya, kita bisa menebak apa profesi atau status sosial seseorang. Contoh paling gampang adalah seragam. Dari seragam, kita bisa tahu apa orang itu bekerja sebagai petugas kebersihan taman kota, penjaga loket busway atau polisi.

Busana sebagai alat aktualisasi diri. Kemarin malam, di O Channel, ada dibahas soal salah satu komunitas pecinta Cosplay di Jakarta. Buat yang belum tahu, cosplay ini adalah istilah untuk kegiatan dimana orang-orang membuat dan memakai kostum tokoh anime kesayangannya. Tidak sedikit orang yang menganggap aneh orang-orang yang menggemari cosplay ini. Karena memang biasanya busana yang dipakai itu rada ”ajaib”. Tapi bagi pecinta cosplay, cosplay adalah sarana untuk merasakan (baca: aktualisasi) menjadi tokoh anime kesayangannya.

Busana sebagai alat penunjang dalam pekerjaan kita. Dalam salah satu seminar James Gwee yang saya ikuti minggu lalu, salah satu tips yang dibagikannya untuk dapat sukses di pekerjaan adalah masalah kita berbusana. Menurut dia, tidak bisa dibohongi kalau orang lain pasti pertama kali melihat tampak luar kita. Dia memberikan contoh bagaimana orang mau percaya untuk menginvestasikan uangnya kepada kita kalau dia melihat kita tidak mampu mengurus diri kita sendiri. Saya pikir poin James ini valid. Saya merasakan sendiri di pekerjaan saat ini sebagai seorang konsultan, kita diharuskan untuk berbusana sebaik mungkin karena hal itu penting dalam menunjang kredibilitas kita di mata klien.

Memang ada beberapa profesi tertentu yang menekankan lebih pentingnya penampilan, biasanya pekerjaan yang banyak berinteraksi dengan orang seperti pekerja di bidang PR, artis, presenter, dsb. Walaupun pekerjaan kita tidak memiliki intensitas yang tinggi untuk berinteraksi dengan orang banyak, tetap saja kita perlu memperhatikan apa yang kita kenakan.

Selamat Tinggal Marlboro Man
Yang menarik diperhatikan, dalam beberapa tahun terakhir ini, telah terjadi pergeseran gaya berbusana pria perkotaan. Sekarang sudah bukan eranya lagi ”Marlboro Man”, sekarang adalah eranya cowok-cowok cantik ala ”BBF” (no offense girls!! Hahaha…LOL). ”Marlboro Man” mewakili image cowok macho, agak urakan dan liar sudah tidak digemari oleh para wanita (dan pria!!). Sebaliknya ”BBF Boy” mewakili image cowok pesolek dengan muka mulus tanpa jerawat sedikit pun, rambut selalu tertata rapi walaupun ditiup kipas angin sekalipun..Hahaha. Dan sekarang sepertinya banyak pria yang mengejar image ”BBF Boy” ini (except me…wakakaka…)

Di majalah Esquire edisi September (I bought this magazine to keep me updated with the latest man-related info, not the fashion info actually…hahaha), ada dibahas mengenai apa itu definisi pria yang fashionable yaitu:
Berbusana gaya terbaru yang sedang populer di masa ini walaupun biasanya bukan barang baru karena pernah populer di masa lampau (Ow okay, gaya berbusana saya tidak banyak berubah sejak SMP dulu…Hm, jadi rasanya gak memenuhi kriteria pertama)
Fashion items-nya tidak hanya celana panjang, kemeja, jaket, celana pendek, T-shirt dan setelan jas, masih ada yang namanya vest, scarf, suspender, dan lain-lain. (Scarf? Suspender? Wakakaka)
Berani mengenakan apa yang dulunya hanya dikenakan wanita: warna cerah, motif floral, bordir, potongan asimetris (Warna cerah dihindari secara kulit saya item, motif floral? Bordir? Ini bukannya kebaya yak???)
Yak, bisa ditebak, berdasarkan definisi di atas, saya bukan orang yang fashionable..(kecewa bercampur lega…LOL..hahaha).

Well, sekalipun saya bukan seorang fashionista, tapi menurut saya, gaya busana yang asik itu yang:
Following the rules. Artinya apa yang kita pake itu bisa sesuai dengan situasi dan kondisi. Kalau kantor tempat kita kerja mengharuskan kita tampil profesional dengan kemeja lengan panjang dan celana bahan, ya ikutin aja. Kalau diundang ke acara yang dress code-nya casual, ya jangan pake gaun pesta (buat yang cewe) atau batik (buat yang cowo)…hahaha…
Gak harus selalu ikutin mode. Obama pernah dikritik karena jeans biru lusuhnya yang dianggap sebagai ”mom jeans”. Terus apa kata Obama: ”Saya benci belanja. Jeans ini nyaman saya pakai. Kalau anda ingin presiden anda kelihatan keren dengan jeans ketat, maaf. Itu bukan saya. Tidak cocok dengan saya.” (Dikutip dari Esquire). Jadi, bisa kira-kira sendirilah mode mana yang cocok dan gak cocok buat kita.
Gak harus pake barang branded. Kadang orang lain sebenernya gak terlalu peduli dengan merek baju yang kita pakai. Sepanjang it looks good on us, sudah oke. Saya sendiri kalau beli baju yang bermerek bukan karena alasan ”gengsi” atau supaya terlihat lebih gaya. Tapi lebih karena barang bermerk bagus punya kualitas barang yang lebih bagus juga, nyaman, gak cepat rusak dan modelnya oke untuk dipakai dalam waktu lama.

Do not judge the book by its cover

Gandhi pernah “diledek” oleh Winston Churchill sebagai ”pengemis telanjang” karena gaya busananya yang sangat sederhana. Sehari-harinya, Gandhi biasa hanya mengenakan kain tradisional sebagai ”seragamnya”. Sangat-sangat sederhana. Walaupun begitu, kita tahu kalau Gandhi adalah tokoh yang besar. Bahkan bagi orang India, Gandhi diberi nama Mohandas yang artinya orang suci.

Kita sering mendengar ungkapan ”Don’t judge the book by its cover”. Jangan sampai kita terlalu cepat menilai orang lain hanya dari penampilan luarnya saja. Bukankah kita sering dengar berita kejahatan yang dilakukan oleh para ‘penjahat berdasi”. Dari luar tampaknya sopan dan bisa dipercaya, ternyata adalah seorang penipu. Atau orang yang belagak kaya, tapi sesungguhnya tidak punya apa-apa. Semua barang yang dipunya hanya pinjaman saja.

Suatu hari, ada sepasang suami istri yang memiliki anak yang menjadi mahasiswa Harvard hendak menemui rektor Harvard. Karena penampilan suami istri ini sangat-sangat sederhana, bahkan terkesan lusuh, rektor ini tidak mau menemui mereka. Bagi rektor itu, waktunya sangat berharga, tidak layak dihabiskan untuk menemui mereka. Rektor itu meminta sekretarisnya untuk memberi tahu suami istri ini kalau dia sangat sibuk dan tidak dapat menemui mereka. Namun demikian, suami istri ini tetap menunggu. Karena tidak pulang-pulang juga, akhirnya rektor ini bersedia menemui suami istri ini.

“Apa yang bisa saya bantu,” tanya si rektor. ”Kami memiliki anak yang bersekolah di Harvard ini…” kata sang suami. Sang rektor setengah tidak percaya mendengarkan perkataan bapak ini. Yang ada di dalam pikirannya adalah bagaimana mungkin orang miskin seperti kamu mampu menyekolahkan anak di Harvard.

“Dan anak kami sangat bangga bisa menjadi bagian universitas ini,” lanjut si ibu. “Lalu apa yang kalian inginkan?” si Rektor mulai tidak sabar. “Putera kami baru saja meninggal dunia dan kami ingin membuat sesuatu untuk mengenang anak kami di Harvard.”

“Hah, kalian pikir Harvard itu tempat apa? Kalau setiap orang yang meninggal dibuatkan tugu peringatannya, Harvard akan jadi seperti kuburan!”

”Kami tidak bermaksud untuk membuat tugu peringatan Pak. Kami ingin menyumbangkan uang untuk pembangunan gedung untuk mengenang anak kami”

”Gedung?! Apa kalian tidak tahu berapa juta dollar yang dibutuhkan untuk membangun gedung di Harvard. Kalian hanya melantur saja dari tadi. Maaf, saya saat ini sibuk sekali.”

Akhirnya suami istri itu pergi dari ruangan rektor itu. Beberapa tahun kemudian, berdirilah universitas baru di Amerika yang sampai sekarang masih termasuk dalam Ivy League. Universitas itu adalah Stanford University dan suami istri itu sesungguhnya adalah keluarga Stanford yang kaya raya.

Moral of the story: Do not judge the book by its cover!

So, kesimpulan dari tulisan ini: gak ada salahnya dengan kita “mendandani” diri kita dengan memakai busana yang bagus, cuman jangan hanya puas sampai situ saja. Selain apa yang tampak, kita juga harus ”mendandani” apa yang ada di dalam: karakter kita, pengetahuan kita, keterampilan kita. Bukankah apa yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tidak kelihatan bernilai kekal?

http://tjokricky.wordpress.com/

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun