Menjadi Volunteer Pemburu Tupai
Volunteeratau relawan bisa bergerak diberbagai bidang,sesuai dengan kemampuan diri masing masing. Ada relawan yang membersihkan desa, membuat irigasi,menanam pohon pohon untuk penghijauan, mengajar di desa desa terpencil dan seterusnya. Boleh dikatakan dalam setiap aspek kehidupan masyarakat,seseorang yang berjiwa relawan,bisa mengaplikasikan kemampuan dan ketrampilannya.
Namun saya justru memllih menjadi relawan yang unik. Pada tahun 1962,di Surat Kabar terbitan Padang,berita tentang hama tupai yang merajalela ,melubangi buah buah kelapa di kampung,menjadi Head Linedan intinya adalah sebagai berikut:
TUPAI MERAJALELA.PETANI KELAPA SENGSARA
Hama Tupaimerajalela diseluruh wilayah Pariaman. Para petani gelisah,panen kelapa akan gagal total,bila kondisi ini tidak segera diatasi. Sangat diharapkan relawan dari masyarakat yang memiliki senapan angin,untuk ikut membasmi hama ini.Para petani sepakat ,untuk menghadiahkan sebutir kelapa untuk setiap ekor tupai yang berhasil ditembak.
Kebetulan saya memilik senapan angin BSA,kaliber 5,5 mm,yang dihadiahkan oleh sahabat kakak saya. Saya sama sekali tidak tertarik pada hadiahnya,karena dipekarangan rumah kami ,ada 4 batang pohon kelapa. Dan ini sudah lebih dari cukup untuk dipakai keperluan dapur. Saya hanya ingin bisa membantu para petani.Tapi masalahnya saya hanya memiliki sepeda onthel. Tidak mungkin saya mengayuh sepeda sambil menenteng senapan angin yang lumayan beratnya. Syukur ada Herman teman saya datang bertandang kerumah. Saya ceritakan padanya niat untuk membantu petani kelapa dengan berburu tupai . Tak disangka Herman secara antusias menyanggupi.
Perburuan Dimulai
Maka keesokkan harinya adalah hari Minggu. Sekitar jam 4.00 subuh,Herman sudah nongol dirumah saya dan kami langsung berangkat. Saya dibonceng ,sambil menenteng senapan BSA. DI pertengahan jalan,saya gantian yang mengayuh sepeda. Sekitar 2 jam bersepeda,akhirnya kami sampai di kampung yang banyak pohon kelapanya.Kami minta ijin pada yang empunya rumah untuk masuk kepekarangannya. Ternyata dalam waktu beberapa menit,tetangga tetanggapak Muchtar pemilik rumah ,sudah berdatangan . Wajah mereka berseri seri.
“Nak,cubolah caliek kabawah batang kerambie tuh..habie kasado alanyo dimakan tupai.” (nak,cobalah perhatikan dibawah pohon kelapa itu,habis semua nya dilubangi tupai).Dan sekilas saya melihat ,memang disana berserakan puluhan buah kelapa yang sudah dilubangi oleh tupai tupai.
“Jangankan untuk di jual nak,untuk dimakan saja,sudah tidak ada lagi kelapa yang utuh” ,kata bu Mar dengan wajah sedih . “Tolonglah nak,bantu kami yaa”.
Kami serta merta mengiyakan dan perburuan itupun segera dimulai. Saya membidik dengan hati hati,karena untuk ukuran kantong saya,harga peluru yang tak seberapa itu ,cukup mahal. Prinsip saya,satu peluru untuk satu ekor tupai. Tapiternyata meleset, karena dalam 10 butir peluru timah,hanya 7 atau 8 tupai yang jatuh. Tugas Herman adalah mengumpulkan semua tupai yang jatuh,karena kalau dibiarkan akan jadi bangkai dan berpotensi menebarkan penyakit. Lagi pula,menurut Herman,tupai tupai itu sudah ada yang pesan,karena sangat ampuh untuk mengobati penyakit korengan.
Total tupai yang berhasil ditembak pada pagi itu berjumlah 23 ekor. Penduduk mengelilingi kami,bagaikan pahlawan. Mereka sangat berterima kasih,apalagi hadiah kelapa tidak kami ambil. Kami hanya minum air putih dan ubi rebus yang disediakan. Kemudian kami pamitan dan berjanji minggu depan akan datang lagi
Sebatang Bambu RuncingMenghentikan Sang Volunteer.
Sekitar 3 bulan lamanya,setiap minggu kami datang, Kecuali hujan lebat. Kami sudah sangat dikenal di kampung. Malah dikasih oleh oleh ubi rebus untuk dibawa pulang,sebagai ungkapan rasa terima kasih mereka.
Kalau biasanya ada pepatah:” Sepandai pandai nya tupai melompat,sekali jatuh Juga”. Tetapi sekali ini pepatah itu tidak berlaku untuk tupainya,melainkan pada diri saya sendiri. Hari ituHerman datang lebih awal dari biasanya. Sehingga ketika kami tiba dilokasi,cuaca masih remang remang. Danseperti biasa ,setiap tupai yang jatuh ditembak,adalah tugas Herman yang mengumpulnya. Tapi kali ini yang seekor jatuh di balik pagar. Herman tidak bisa masuk kesana,karena ada pagar bambu yang membatasi. Tapi saya merasa tidak bertanggung jawab,bila saya biarkan,karena sesudah seharian,tupai itu akan jadi bangkai dan menebarkan berbagai penyakit. Saya lalu memanjat pohon kelapa dan melihat kearah balik pagar,ternyata memang ada tupainya tergeletak di atas dedaunan. Pagar bambu itu hanya setinggisekitar 1 ½ meter. Saya yakin akan mampu melompati,dengan menjadikan pohon kelapa sebagai batu loncatan.
Tanpa ragu sedikitpun saya melompat…..tetapi ternyata celana saya tersangkut ranting dan saya terjatuh pas diatas pagar bambu….Pagarnya patah dan saya terjatuh. Untuk sesaat saya merasa adasesuatu yang menusuk.mulai dari paha ,hingga kebatas perut .Saya berusaha duduk dan dalam sekejab celana saya basah oleh darah.Sebilah bambu masih menancap dipaha dan menembus hingga kebatas perut. Pandangan saya mulai nanar,tapi saya menguatkan diri dan tak ingin menjadi beban orang kampung. Tapi aneh,serasa semua tenaga lenyap.
Syukur melihat saya jatuh,Herman terus berlari mendekati . “Herman…tolong cabutkan bambu ini” ,pinta saya pada Herman. Ia membungkukkan badannya ,tapi tiba tiba wajahnya pucat pasi dan terjengkang kebelakang. Aduh ,rupanya Herman pinsan.entah karena tidak kuat melihat darah,entah karena cemas.
Ada seorang ibu yang lagi menuju kesumur,melihat kejadian. Saya minta tolong ,membantu teman saya yang pingsan.Si emak ini,malah jadi panic dan berteriak teriak memanggil keluarganya.Dalam sekejab kami sudah dikerumunitetangga tetangga.Herman di baringkan dirumput dan syukur sudah sadar. Tapi tak seorangpun yang berani membantu mencabut bambu yang masih dipaha saya. Mereka minta minta maaf,karena tidak tega mencabutnya.
Saya memejamkan mata dan berdoa. Kemudian perlahan lahan bambu saya tarik keluar…Keringat dingin mengalir membasahi tubuh saya. Beberapa detik tersebut,bagaikan berjam jam rasanya..Syukur potongan besarnya sudah tercabut. Yang tersisa adalah patahan didalamnya. Tapi saya sudah bisa bergerak bebas.Baju Kaus saya sobek dan mengikat sekuatnya,agar darah tidak terlalu banyak keluar.
Saya dikasih minum the manis hangat. Rasanya ada kekuatan yang timbul.Orang orang kampung ingin mengantarkan sayapukesmas. Saya tanya pakai kendaraan apa? Mereka semuanya terdiam. Mana ada kendaran di kampung.
Langkah Volunteer Terhenti Sejak itu
Saya pamitan . Teman saya Herman sudah siuman,tapi masih pusing katanya. Maka saya yang mengayuh sepeda,menuju kerumah sakit terdekat. Di jalan saya sempat berhenti beberapa kali. Minum the manis yang diberikan oleh orang kampung.
Di rumah sakit,menurut perawat,dokter belum datang dan ia tidak boleh memberikan suntikan anastesi yang bersifat mematikan rasa sakit.. Apakah sayabisa menahan sakit,dijahit tanpa anasthesi? “Bisa Suster” ,jawab saya singkat. Maka si perawat mengeluarkan beberapa patahan bambu,mengosokan alcohol dan mulai menjahit …
Sejak saat itu,maka niat saya untuk menjadi volunteer pemburu tupai,terhenti. Karena belakangan luka bekas jahitan terbuka dan infeksi,karena masih ada 3 potongan bambu lagi yang masih tertinggal.’
Setelah saya sembuh,Herman malah meledekin saya.Katanya ,mungkin saya disumpahin roh roh tupai yang saya tembak…(Herman domisili di Jerman,tapi sudah 40 tahun ,kami kehilangan kontak).
Wollongong, 08 Desember, 2013
Tjiptadinata Effendi