Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Lagu Indonesia "Jadi Sumbang Tak Tentu Lagu"

21 Juli 2011   11:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:30 350 0
Frasa "jadi sumbang tak tentu lagu" saya kutip dari lagu "Anak Dara" karya Katon Bagaskara (album 'KLa', 1989). Saya berpendapat bahwa ungkapan ini tepat untuk menggambarkan kualitas sebagian besar lagu Indonesia yang beredar saat ini.

Lagu tanpa musik memang kurang lengkap, meskipun ada cabang lagu yang didendangkan tanpa iringan alat musik seperti 'acapella' dan 'choir'. Tetapi lagu yang dimaksud di sini adalah lagu yang diiringi oleh musik karena cabang inilah yang paling sering kita perdengarkan dan nikmati sehari-hari. Dengan tatanan musik yang indah orang akan terhibur. Dari sini kita menjadikan lagu sebagai alat untuk menghibur. Akan tetapi, selain berfungsi sebagai penghibur, sebuah lagu dapat pula menjadi pembawa pesan, entah dalam bentuk cerita, himbauan, ajakan, atau bahkan kritisi. Fungsi kedua ini memiliki hubungan dengan syair, atau kita kenal pula sebagai lirik.

Lagu Indonesia, baik musik maupun liriknya. Nada sumbang dan fals sering terdengar (padahal Doel Sumbang dan Iwan Fals itu beredar pada masa lalu lho, haha). Lagu Indonesia sekarang lebih mengandalkan permainan musik yang sangat minimalis, pragmatis, yang penting "menghibur" dan "berbunyi". Banyak penyanyi dan band yang aksi panggungnya (penampilan secara "live") payah.

Lagu bukan sekedar hiburan

Sebuah lagu akan meninggalkan kesan yang mendalam dalam waktu yang lama disebabkan oleh kekuatan dari lagu tersebut di dalam menghibur dan menghantarkan pesan. Ketika kita berbincang dengan seorang teman tentang sebuah lagu, umumnya kita akan merujuk pada judul dan syair lagu tersebut. Kemudian, jika permainan musik mungkin dapat mungkin dapat diprediksikan karena sehebat apapun seorang musisi, tetap saja ia berpedoman pada tujuh nada, seperti musisi-musisi lainnya yang dianggap "berada di bawah kelasnya", maka satu hal yang membedakan ialah kekuatan syair.

Sebagai contoh, lagu "Yogyakarta" (KLa Project) mengingatkan kita tentang kota Yogyakarta, "Umar Bakri" (Iwan Fals) menceritakan tentang seorang guru yang berpenghasilkan pas-pasan, "Terminal" (Franky dan Jane) tentang kisah hidup di jalanan, dan "Damainya Cinta" (Gigi) tentang arti kehadiran seseorang yang istimewa. Cobalah perdengarkan dan simak kembali lagu-lagu di atas, maka angan kita akan terlarut ke dalamnya. Kekuatan inilah yang perlahan hilang dari warna musik Indonesia saat ini.

Musisi dan pencipta lagu Indonesia zaman sekarang jarang yang memanfaatkan lagu sebagai pembawa pesan yang bermakna. Padahal musisi dan penyanyi sebenarnya dapat berkiprah secara lebih aktif di dalam menggugah semangat rakyat yang sedang sarat dengan masalah. Musik Indonesia yang pada dekade lalu dirancang dengan "hati" kini berubah dirancang dengan "kepala". Artinya, jika menyimak nuansa yang tergelar saat ini, pencipta musik dan lagu hari ini mempergunakan logika "untung dan rugi". Menurut saya, lagu Indonesia telah berubah dari menjadi "biar sumbang yang penting laku (= terjual)".

Jika warna lagu Indonesia sekarang ini dikatakan sebagai hasil pengaruh musik dan lagu asing, menurut saya kurang tepat. Band-band seperti U2, System of A Down, Linkin' Park, atau musisi/penyanyi seperti Sting, Sheryl Crow, Norah Jones, masih mempertimbangkan mutu lagu secara holistik (baik musiknya maupun syairnya), bukan semata genjrang-genjreng. Lantas ke manakah arah musik dan lagu Indonesia?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun