Bagi orang Eropa yang bahasanya rata-rata memberlakukan jenis kelamin yang berbeda untuk orang dan benda, tindakan yang diambil oleh sekolah "Egalia" tersebut pasti mendapatkan kecaman dan mungkin pula menjadi bahan tertawaan. Namun jika memang ingin menerapkan kesetaraan gender secara total kebijakan yang ditempuh oleh prasekolah Egalia tersebut memang masuk akal. Jika masih ada sebutan "he" atau "she" maka masih ada pembedaan bahwa orang tersebut laki-laki atau perempuan. Apakah kampanye ini berhasil membawa pengaruh yang signifikan bagi negara Swedia khususnya, dan bagi kawasan Eropa umumnya? Meskipun Jay Belsky, seorang pakar psikologi dari University of California, Davis, merasa tidak yakin dengan keberhasilan kampanye kesetaraan gender prasekolah Egalia, namun dengan adanya "kejadian-kejadian luar biasa" yang terjadi di Swedia terkait dengan masalah gender, seperti misalnya legalisasi pernikahan sesama jenis, bukan tidak mungkin fenomena Egalia ini akan semakin populer. Jika pada akhirnya dukungan terhadap penggunaan "hen" semakin banyak, maka negara Swedia bisa jadi akan mengalami revolusi tata bahasa.
Fenomena di atas meninggalkan pesan bagi kita sebagai orang yang menggunakan bahasa Indonesia. Dalam menyebut seseorang kita menggunakan kata "dia" (dengan alternatif "beliau", "dirinya", dan "ia") tanpa mempertimbangkan jenis kelamin orang tersebut. Dengan demikian, jika tujuan penyamaan sebutan tersebut adalah untuk mewujudkan kesetaraan gender dan persamaan hak asasi manusia, kemudian berlanjut pada perwujudan demokrasi yang mengedepankan persamaan dan kesetaraan, maka telah sejak dahulu lah bangsa Indonesia mempraktekkannya.
Sumber informasi: cbsnews.com tanggal 26 Juni 2011 dilansir dari Associated Press.