Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Saya Sedang Mencari Sistem Pendidikan

9 April 2011   06:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:59 173 0
PENDAHULUAN

Sistem Pendidikan Nasional masih terus mengalami penyesuaian. Dengan kata lain, pendidikan nasional belum mencapai keadaan yang stabil. Perubahan terus dilakukan menuju ke arah perbaikan. Meskipun demikian, hingga saat ini belum diperoleh hasil yang memuaskan. Tidak perlu mencari-cari letak kesalahan (bila memang ada yang salah tentang pendidikan nasional). Yang diperlukan sekarang adalah kesadaran bersama baik dari penyelenggara pendidikan maupun peserta pendidikan.

Permasalahan pendidikan nasional adalah seputar ketidakseimbangan antara hasil dan pengeluaran yang dipakai untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut. Pendidikan di Indonesia identik dengan biayanya yang mahal bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Harus diakui bahwa perkembangan bidang ekonomi berpengaruh terhadap warna pendidikan. Kebergantungan ini begitu jelas terlihat. Bahwasanya perubahan harga pasasr kebutuhan manusia (yang berarti “harga naik”) membuat hampir semua bidang kehidupan menjadi bertambah mahal.

TIDAK ADA PENDIDIKAN ‘GRATIS’

Di dalam Undang Undang Dasar NKRI 1945 yang telah diamandemen terdapat pernyataan yang intinya “pendidikan dibiayai oleh negara/pemerintah”. Pernyataan ini bukan berarti warga yang bersekolah “dibayar” atau ‘dibebaskan dari biaya sekolah.” Perlu dicermati bahwa “permainan kata” penyusun UUD ini dapat menjebak pemahaman tentang sistem pembiayaan pendidikan Indonesia.

Penyusun UUD pasti telah dengan sangat cermat memilih kata-kata sedemikian rupa sehingga pelaksanaan dari UUD tersebut “terkendali”. Dalam artian, jangan sampai istilah “dibiayai” sama dengan istilah “gratis.”

Pemerintah dapat saja berkilah bahwa membiayai berarti membantu semampunya. Akan berbeda makna bila pernyataan yang digunakan adalah “pemerintah menanggung sepenuhnya biaya pendidikan.”

Pembahasan singkat mengenai UUD 1945 dalam masalah pendidikan di atas mengingat adanya kesalahan persepsi, bahkan oleh beberapa mahasiswa yang notabene adalah elite pendidikan di negeri ini. Dengan pengertian bahwa “dibiayai” berarti “gratis”, maka timbul harapan besar akan memperoleh kesempatan bersekolah tanpa membayar (memang menurut kabar terdapat beberapa daerah yang menyelenggarakan pendidikan gratis; namun hal ini baru dalam skala minoritas).

Harapan pendidikan gratis menyebabkan kekecewaan yang lebih mendalam ketika mengetahui bahwa kenyataannya berbicara sebaliknya. Bahkan cenderung bertambah mahal.

MENGHAPUS NUANSA BISNIS PADA PENDIDIKAN DASAR

Beberapa waktu lalu saya menjumpai suatu hal yang ganjil. Kesan pertama biasa saja, bahkan saya merasa senang sekali mendapatkan order ketikan proposal kerjasama antara instansi pendidikan dan sebuah perusahaan percetakan. Senang karena ketikannya banyak sekali, sekitar 400 lembar. Proposal itu berisikan tender pengerjaan soal ujian akhir nasional tingkat sekolah dasar. Lalu, apakah yang menarik dari order ketikan itu?

Penjelasannya demikian: Pembangunan ekonomi membutuhkan sinergi yang kuat antar berbagai bidang usaha baik produksi barang maupun jasa. Kerjasama antar bidang usaha ini sebagai wujud simbiosis mutualisme. Memang demikian sebaliknya jika ingin roda perekonomian rakyat terus berputar. Sebuah usaha yang sangat positif.

Usaha positif di atas tampak wajar-wajar saja dan tidak perlu dipermasalahkan. Begitu pula yang ingin diutarakan di sini bukan untuk memicu timbulnya masalah, melainkan sekedar apa yang tertangkap dari tender kerjasama tersebut. Pertama, bahwa pada setiap sampul depan (cover) soal Ujian Akhir Sekolah (UAS) terdapat tulisan “Rahasia; Milik Negara”. Kata “rahasia” ini mengacu pada soal UAS berikut kunci jawabannya. Dalam hal ini yang terlibat didalam pembuatan soal bukan hanya Departmen Pendidikan Nasional melainkan pihak “luar”, yakni perusahaan percetakan. Adakah jaminan bahwa kerahasiaan soal dan kunci jawaban tidak akan mengalami kebocoran? Tidak seorangpun yang dapat menjamin hal tersebut. Tentu saja pihak Depdiknas telah mempertimbangkan segalanya, termasuk resiko kebocoran oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Akan tetapi sangat riskan apabila tidak dilakukan pengawasan yang ketat. Mungkin saja langkah kerjasama ini ditempuh karena keterbatasan sumber daya pembuatan soal yang dimiliki oleh Depdiknas sehingga memerlukan pihak luar untuk dijadikan rekanan bisnis.

Kedua, berkaitan dengan kerjasama ini maka akan muncul biaya pembuatan soal (biaya produksi). Seperti yang tertera di dalam proposal bahwa pembuatan soal menghabiskan biaya sekian ratus juta. Dengan demikian, dari manakah Depdiknas memperoleh dananya? Tentu saja dari anggaran pemerintah. Namun kembali pada pernyataan di UUD 1945, khususnya dalam penjelasan, bahwa pemerintah hanya memberi kontribusi 20% saja. Pemerintah sudah pasti memiliki keterbatasan karena anggaran bukan hanya untuk pendidikan. Jika hal ini terjadi maka institusi pendidikan akan membebankan “sebagian” biaya kepada “stakeholders”nya, yakni pihak siswa. Sedangkan tanpa kerjasama pihak luar saja biaya sulit dijangkau, apalagi dengan kerjasama pihak luar? Artinya, pihak rekanan pasti menginginkan keuntungan (profit orientation).

Nuansa bisnis terlihat pula dalam pengadaan buku paket. Jika pihak sekolah benar-benar beritikad baik untuk mencerdaskan kehidupan bangsa mereka dapat menginstruksikan para pengajarnya untuk memberikan pelajaran dengan cara yang sederhana. Sederhana di sini ialah bahwa cukup pengajar saja yang memiliki buku paket, kemudian mereka mengajarkan materi dalam buku tersebut di depan kelas dan meminta para siswa untuk mencatat dalam bukunya sendiri.

Metode ini terkesan tidak efisien karena memakan waktu. Akan tetapi memberikan dampak positif: siswa tidak wajib atau harus membeli buku paket, siswa menjadi terbiasa menulis dan terbiasa membuat “note taking”. Biasanya tulisan sendiri akan lebih nyaman dibaca dibandingkan tulisan orang lain. Sarana bukanlah mutlak karena bergantung cara menggunakannya. Pengajar menjadi kreatif untuk memberikan penjelasan yang terdapat pada buku cetak dibandingkan berkata, “coba buka halaman sekian..anak-anak…”

MENGHAPUS ISTILAH “SEKOLAH FAVORIT”

Ada dua pengertian mengenai sekolah favorit ini. Pertama, Sekolah yang menjadi favorit karena prestasinya yang bagus, melebihi prestasi sekolah lainnya. Kedua, sekolah yang sejak awal di-plot menjadi favorit sehingga murid-murid berprestasi saja yang dapat lolos seleksi masuk sekolah tersebut.

Sebenarnya, sekolah favorit itu muncul dengan sendirinya pada saat sebuah sekolah mencapai prestasi terbaik. Persepsi pengamatlah yang akan menilai apakah atribut

“favorit” layak atau tidak layak untuk disematkan. Maka dari itu, tak perlu kiranya memberikan gelar “sekolah favorit” karena pasti kemudian akan muncul “sekolah bukan favorit” (logikanya demikian). Perlakuan harus diberikan semua kepada setiap institusi sehingga dampaknya akan positif bagi siswa. Siswa tidak akan merasa “lain” atau “dibawah/diatas normal” dan mungkin juga merasa minder karena tidak bersekolah di sekolah yang disebut “favorit” tadi.

DIVERSIFIKASI ORIENTASI PENDIDIKAN PERGURUAN TINGGI

Beberapa tujuan yang hendak dicapai oleh seseorang yang masuk ke perguruan tinggi, antara lain: 1) untuk meningkatkan derajat pendidikan keluarga; 2) untuk menimba ilmu lebih banyak agar menjadi ilmuwan; 3) untuk memperoleh gelar tingkat Diploma, Sarjana, dan Pasca Sarjana sebagai bekal untuk bersaing di dunia kerja; dan 4) untuk tujuan-tujuan lain yang tidak dapat disebutkan di sini karena beragam jenisnya.

Saya mengamati bahwa di tengah perjalanan menuntut ilmu di perguruan tinggi mahasiswa sering kebingungan di dalam menyikapi kegiatan akademis. Banyak dari mereka yang tidak menguasai materi dengan baik. Status sebagai mahasiswa belum terlihat dari esgi kualitas intelektualitas maupun cara bersikap. Ada dua penyebab yaitu karena kemalasan mahasiswa itu sendiri dan metode pengajaran yang diberikan. Membahas masalah kemalasan sudah barang tentu berkaitan dengan faktor individu dan itu bersifat relatif. Maka dari itu lebih baik mengkaji tentang metode pengajaran untuk membatasi cakupan masalah di sini.

Orientasi pendidikan tingkat perguruan tinggi di Indonesia belumlah jelas. Terlepas dari slogan “menciptakan lulusan yang berkualitas atau idealisme semacam “membina genarasi penerus dengan modal kecakapan” dan sebagainya, pada kenyataan dunia perguruan tinggi Indonesia mengarah pada penyediaan “sarana” atau “vehicle” untuk dijadikan bekal mencari pekerjaan. Ijasah perguruan tinggi adalah modal untuk mencari kerja dan hal ini syah-syah saja. Memang kenyataannya begitu.

Permasalahannya ialah sering ada ketidaksesuaian antara disiplin akademis dan lapangan pekerjaan.. Alhasil, status sarjana hanya simbol semata tanpa memandang sarja apa seseorang itu sebenarnya. Parahnya, pemberi pekerjaan juga memberikan peluang (apakah ini berkaitan dengan statistik semata? credit point yang dicari oleh perusahaan tersebut, dengan “prestasi” memiliki karyawan yang sarjana semua?…Heaven Knows…).

Untuk mengurangi “aksi pembajakan” seperti ini maka perguruan tinggi harus memiliki orientasi yang jelas bagi calon lulusannya. Pada kesempatan ini diusulkan dua jenis orientasi pendidikan, yaitu orientasi keilmuwan (expertise) dan orientasi kewirausahaan (entrepreneurship).

Selama ini tujuan mahasiswa sering tidak jelas. Kebanyakan setelah lulus berkarya di bidang yang bukan keahliannya. Sekali lagi, hal ini bukanlah masalah. Akan tetapi kegunaan dari fakultas-fakultas menjadi semacam perlambang saja. Dari sini perguruan tinggi perlu merinci tujuan diberikannya kuliah bagi mahasiswa.
Orientasi pendidikan jalur keilmuwan dikhususkan bagi mahasiswa yang menekuni bidang ilmu dan pengembangannya. Keluaran dari orientasi keilmuwan adalah lulusan yang memiliki keahlian analitik dan teori yang baik untuk mengabdi dalam bidang ilmu pengetahuan dan pengembangannya. Metode pengajaran disusun dan diberikan sedemikian rupa sehingga dapat menciptakan bakat para calon ilmuwan. Orientasi jalur kewirausahaan dikhususkan bagi mahasiswa yang ingin menjadi praktisi usaha. Dengan bekal yang memadai untuk menjadi profesional maka lulusan perguruan tinggi tidak akan gamang dengan peta kekuatan dunia usaha.

Tiyo Widodo, 2 September 2006.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun