Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Capacity Building Pendidikan Tinggi Negara Berkembang

30 Maret 2011   10:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:17 380 0
Referensi: Stig Enemark,

Capacity Building for Higher Education in Developing Countries - A Part of the Western World University Portfolio?" yang dipresentasikan dalam Capacity Building in Higher Education and Research on a Global Scale UNESCO International Workshop, Copenhagen, 17-18 Mei 2005

Capacity building untuk pendidikan tinggi di negara-negara berkembang seharusnya menjadi bagian dari portfolio strategi universitas dan didukung oleh stakeholders terkait seperti lembaga donor, kementrian terkait, dan organisasi perdagangan dan industri. Kegiatan-kegiatan capacity building hendaknya tidak dipandang sebagai faktor pendorong bagi pembangunan masyarakat di negara-negara penerima donor semata, melainkan juga sebagai kebutuhan untuk fasilitasi pengembangan kemampuan internasional dan inovasi institusional di negara pendonor. Pemahaman ini merupakan sebuah proses untuk mendapatkan keuntungan bersama yang dinikmati oleh negara pendonor maupun negara penerima donor.

Capacity building untuk pendidikan tinggi di negara-negara berkembang sangatlah kompleks. Gagasan ini merupakan sebuah proses yang sedang berlangsung yang harus dilandasi oleh prioritas nasional dan analisis historis yang menyeluruh tentang sistem pendidikan tinggi yang berlaku pada suatu negara berikut kontribusinya bagi pembangunan sosial, ekonomi dan politik. Kajian tentang capacity building harus memuat sasaran yang jelas dan menghasilkan kemampuan untuk menyeimbangkan arah strategis dengan memandang sistem pendidikan tinggi secara keseluruhan, menentukan kontribusi masing-masing bagian bagi kebaikan bersama.

Peran universitas-universitas dari negara Barat ialah fasilitasi proses capacity building. Peran tersebut harus diperkuat oleh pendekatan-pendekatan kebijakan strategis dan bukan sekedar melalui kegiatan konsultasi yang dipengaruhi oleh pasar. Negara-negara maju harus memandang capacity building di dalam pendidikan tinggi sebagai kegiatan dua-arah dan  sebagai kebutuhan pula. Dengan kata lain, capacity building tersebut sebenarnya kebutuhan bersama yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak, negara pendonor dan negara penerima donor. Untuk mencapai harmoni ini maka baik negara pendonor maupun negara penerima donor harus bekerjasama untuk menyusun kebijakan dan menentukan skala prioritas.

Peran pendidikan tinggi di negara Mozambique masih tergolong rendah karena terhalang oleh banyak masalah. Sebagai negara yang baru saja merdeka, banyak alasan yang menyebabkan rendahnya tingkat kelulusan warga negara dari pendidikan tersier. Alasan-alasan tersebut dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yakni alasan institusional, alasan individual, dan alasan eksternal
1.Alasan institusional
Hubungan antara pendidikan sekunder dan pendidikan tersier masih lemah; kurikulum dan metode pengajaran tidak memadai; perencanaan buruk; tidak ada usaha dukungan untuk kegiatan mengajar; dan sarana yang tidak memadai.
2.Alasan individu
Pengajar sering tidak siap dan terlalu sibuk karena banyak kegiatan di luar lingkup pendidikan; mhasiswa menghadapi masalah adaptasi kehidupan kampus; perasaan eksklusif; kekurangan waktu belajar dan tidak memiliki manajemen waktu yang baik.
3.Alasan eksternal
Peluang kerja setelah lulus kuliah tidak jelas dan masalah keuangan karena Mozambique dilanda kemiskinan dan keadan sosial yang tidak stabil

Proyek percontohan yang diadakan oleh Danish University Consortium bertujuan untuk mengkaji indikator kinerja pelaksanaan "reformasi kualitatif di dalam proses belajar-mengajar" dengan menggunakan pendekatan-pendekatan berorientasi proyek yang terpusat pada mahasiswa." Status Danish University Consortium dalam proyek ini ialah sebagai lembaga konsultasi bekerjasama dengan Bank Dunia. Selain di Mozambique, konsorsium ini juga telah mengadakan kerjasama dengan universitas-universitas di Botswana, Afrika Selatan, Swaziland, Malaysia dan Thailand dengan nama program DANCED yang didanai oleh Pemerintah Kerajaan Denmark.  Selain beranggotakan akademisi dari Denmark sendiri, konsorsium juga merekrut perwakilan dari UNESCO Center for Problem Based Learning (UCPBL) yang berada di Aalborg University dan Kementrian Sains, Teknologi, dan Inovasi Kerajaan Denmark.  Jumlah anggota tim seluruhnya adalah empat orang.

Tim konsultasi mengunjungi Mozambique dengan membawa tiga misi yang mereka jalankan pada bulan Nopember 2002, Agustus dan Nopember 2003. Tujuannya ialah menciptakan modalitas bagi kerjasama institusional antaruniversitas Denmark dan Mozambique berdasarkan rencana strategis pemeirntah untuk pendidikan tinggi di Mozambique. Kegiatan konsultasi mendapatkan dukungan dari Bank Dunia yang berperan sebagai tim penyelidik pelaksanaan Problem-Based and Project-Oriented Learning Approach to higher education of Mozambique.

Tiga misi yang diemban oleh Danish University Consortium ialah 1) untuk menghimpun dan mengidentifikasi fakta kemungkinan terjalinnya kerjasama program percontohan (Misi 0, satu pekan, Nopember 2002); 2) untuk menentukan profil dan fakultas yang dijadikan obyek penelitian, merancang kegiatan seminar PBL dan mengadakan negosiasi awal dengan para menteri (Misi 1, satu pekan, Agustus 2003); dan 3) mengadakan seminar PBL dan tindak lanjutnya dengan fakultas-fakultas terpilih dan MESCT (Misi 2, satu pekan, Nopember 2003).

Dari ketiga misi di atas dapat disimpulkan bahwa Mozambique memerlukan sebuah program untuk memperkenalkan metode-metode pedagogi yang inovatif.

Pelajaran yang diperoleh Danish University Consosrtium dari proyek percontohan negara Mozambique ialah bahwa dukungan bagi capacity building sangat diperlukan untuk pendidikan tinggi di negara-negara berkembang. Akan tetapi, proyek yang dilakukan senantiasa harus berbentuk kegiatan dua-arah. Sehingga, proyek capacity building harus berakar di dalam kerangka organisasi negara pendonor sendiri. Penyusunan kerangka organisasi seperti ini dipandang penting untuk a) mendukung negara-negara berkembang melalui capacity building di negara mereka sendiri dan memperkuat konsep pengembangan universitas dengan kurikulum, prioritas, dan riset yang berlandaskan kebutuhan struktural masyarakat dan secara aktif berusaha memenuhi kebutuhan tersebut; b) mempermudah dan mendukung kerjasama aktif dengan universitas-universitas negara berkembang dan memberikan kompensasi bagi kebijakan baru tentang pemberlakuan biaya kuliah untuk mahasiswa dari negara ketiga yang ingin kuliah di Denmark; c) mendukung dan selanjutnya mengembangkan usaha internasionalisasi universitas-universitas Denmark serta lebih memahami peran dan prasyarat dasar bagi pendidikan tinggi dan riset di dunia global modern; dan d) mempermudah universitas-universitas Denmark untuk ikut serta dan bersaing di dalam mencapai kondisi yang setara di pasar global pelayanan konsultasi di dalam pendidikan tersier serta kemudian mendukung tujuan kebijakan luar negeri negara Denmark.

Pada hakikatnya universitas, baik itu yang berada di negara pendonor maupun di negara penerima donor, sama-sama menjalankan peran sebagai institusi pembelajaran (learning institutions), bukan sebagai institusi yang mengajarkan (teaching institutions). Artinya, di dalam sebuah universitas setiap orang (mahasiwa, staf teknis dan pengajar) melakukan kegiatan belajar yang terus-menerus. Pendidikan universitas memiliki kemampuan untuk belajar sendiri (self-learning capacity) berdasarkan dan didukung oleh landasan ilmiah yang berkualitas baik Lulusan universitas harus mampu belajar, dan berhenti belajar untuk kemudian belajar lagi, begitu seterusnya (Brito, 2002). Capacity building untuk mengembangkan institusi pembelajaran di negara berkembang adalah tantangan tersendiri dan berat untuk dihadapi. Pendidikan tinggi tidak dapat lahir tanpa inisiatif-inisiatif kebijakan seperti sarana fisik, tatakelola yang lebih baik, perbaikan kondisi kesehatan masyarakat, pengembangan pasar uang dan perdagangan.

Selengkapnya

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun