Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Politik Manusiawi Membangun Negeri

2 September 2012   15:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:00 245 0
Penasaran untuk menjawab pertanyaan tentang bagaiamana cara membedakan yang semu dan yang sejati, bagaimana cara mengidentifikasi antara yang samar dan sesungguhnya, bagaimana mengetahui mana yang palsu dan yang asli, khususnya segala bentuk, rupa dan kamuflase yang diperagakan oleh manusia, adalah menarik untuk mencoba menjawab tentang bagaimana cara membaca dan menyingkap tabir seorang seniman penipuan dan ilusionis politik yang termahir di dunia, yaitu manusia

Kawan saya pernah menyampaikan sebuah pernyataan yang diucapkan oleh master silat dari cerita silat bersambung kegemarannya, “lalu lalang di depan mata, berubah-ubah berganti rupa. Barangsiapa dapat menangkap maknanya, dialah manusia berguna ganda.”

Di dunia ini, pada tiga kategori makhluk yang hidup di dalamnya, berlaku tiga hukum pengatur peristiwa. Pada tumbuhan, berlaku hukum tabur-tuai dan berlaku siklus benih-tumbuh-buah-mati. Pada hewan, berlaku hukum yang kuat memakan yang lemah dan berlaku siklus lahir-dewasa-beranak-tua-mati. Pada manusia, terjadilah kedua hukum dan siklus yang berlaku pada hewan dan tumbuhan.

Namun, pada manusia ada satu tambahan lagi, yaitu hukum sosial dan siklus sosial. Hukum sosial dimaksud adalah hukum dagang, dimana ada barang, ada uang, yang ujung-ujungnya duit. Hukum sosial adalah hukum kekuasaan yang menjelaskan bahwa kedudukan seseorang dalam masyarakat berada di antara kontinum ada pemimpin, ada pengikut.

Pada sisi siklus, terjadi siklus wirausaha yang menjadi dinamisator hukum dagang berdasarkan kalkulasi untung-rugi dalam siklus inovasi-industrialisasi-kejenuhan pasar-lesu ekonomi. Berikutnya adalah siklus politik sebagai dinamisator dari hukum kekuasaan dimana perjalanan seseorang pemimpin dimulai dari keadaan tanpa pengikut-tanpa kekuasaan menjadi tokoh panutan hingga memegang kekuasaan.

Meskipun secara hakiki, setiap manusia adalah sama, sederajat dan semartabat, namun manusia terlahir dalam konteks sosial yang berbeda-beda, dalam ukuran derajat kecukupan dan kekurangan yang tidak sama. Beranjak dari sini terciptalah ruang relatifitas dan kesenjangan sosial. Di tanah relatifitas ini dan kesenjangan yang subur inilah maka kehidupan manusia yang dipengaruhi oleh kebengisan hewani mengemuka mewarnai tingkah laku sosial dan kiprah politiknya.

Segala jurus politik yang dikembangkan manusia dapat ditelusur dari cara binatang bertarung dan berlindung. Menyerang gagah berani seperti singa, semprot-lari seperti cumi-cumi, berganti warna kulit seperti bunglon, mengibarkan bulu ekor seperti merak jantan merayu betinanya. Segala bentuk teknik tipu dan tarung manusia dapat dengan jelas dikaji melalui observasi tingkah laku hewan dalam mencari makan, menjaga teritori kekuasaannya, menjaga keluarganya, bersaing memperebutkan pasangannya dan saat terancam jiwanya.

Ketika pikiran manusia terjebak dalam perjuangan politik yang tak ubahnya berupa suatu peperangan yang berpijak pada hukum hewani, maka semua manusia yang terlibat dalam kancah tarung itu akan bertindak atas keyakinan sebagaimana yang dituliskan oleh Robert Greene, “Anda harus menguasai penyesatan, manipulasi penampilan serta persepsi… - suatu ketrampilan berharga yang mungkin diterapkan terhadap segala aspek perang sehari-hari.” (Grenee, 2007).

Pada dunia nyata manusia hidup dalam masyarakat sosial yang relatif dan senjang, kebenaran dan kenyataan menjadi terlalu sederhana sekaligus berbahaya untuk diungkapkan apa adanya. Yang lemah harus melindungi diri dari yang kuat dan yang kuat harus berupaya apa pun untuk menjaga serta meningkatkan derajat kekuasaannya. Baik kekuatan maupun kelemahan sebenarnya harus disamarkan, dimanipulasi sesuai keadaan, dikaburkan sedemikian rupa sehingga mengurangi kadar ancaman.

Demi tujuan ini manusia harus mahir mengatur kekuatannya dan mengubah penampilannya. Bagi para pemain kekuasaan di wilayah militer, ini berarti harus mengatur kadar kekuatan angkatan perangnya sebagai variabel terkendali yang dapat dipengaruhi olehnya. Sementara itu, manipulasi penampilan atau pengelolaan citra politik adalah variabel terkendali yang senantiasa dimainkan oleh para pemain kekuasaan di wilayah sipil.

Merenung dan membedah kebenaran perlu dilakukan guna membantu penalaran dan akal sehat saat melihat penampilan pelaku politik yang berubah-ubah di depan mata berganti rupa. Agar tak terjebak dan tetap jernih, maka pertanyaan refleksi ini  perlu direnungi. Antara satu wajah seribu topeng, dengan satu badan banyak baju, anda pilih yang mana, anda termasuk yang mana, anda terampil menerapkan yang mana, bila Anda menerapkannya demi tujuan apa?

Ada seseorang yang mengatakan bahwa ketika menjadi karyawan, ia harus memiliki empat topeng. Pertama adalah topeng untuk berhadapan dengan atasan, kedua adalah topeng untuk berhadapan dengan bawahan, ketiga adalah topeng untuk berhadapan dengan rekan sejawat, keempat adalah topeng untuk berhadapan dengan konsumen.

Dalam keseharian, seseorang mengenakan baju bukan hanya untuk menutupi auratnya saja, tetapi juga untuk sebuah ekspresi dan penghormatan kepada orang lain dalam pergaulannya. Cara berpakaian menjadi sebuah cara untuk tampil sesuai acara dan peran yang disandangnya.

Terampil berganti topeng dan baju sesuai konteksnya merupakan ketrampilan yang penting sejauh seseorang tidak kehilangan jati diri dan kepribadiannya. Topeng dan baju yang dikenakan seseorang akan mempengaruhi persepsi pihak lain dan menghasilkan suatu dampak tertentu. Dampak itu bisa berupa respek dan simpati atau justru cibiran. Ketrampilan ini bisa membawa orang naik ke jenjang sosial dan kekuasaan yang lebih tinggi serta membantu dalam mencapai kepentingan pribadi maupun kepentingan politiknya. Para politikus tentulah orang-orang yang telah terampil menerapkan hal ini. Namun yang penting dicermati adalah motif yang mendasari perilaku politiknya, karena motif ini akan mempengaruhi arah dan manfaat politik bagi masyarakat.

Apa pun motifnya, cukup masuk akal bila para pelaku politik memiliki arah yang sama dengan alasan kemerdekaan suatu bangsa. Sebuah arah politik akan benar dan berguna manakala pelakunya senantiasa mengingat cita-cita mendasar suatu kemerdekaan yang berakar pada kesadaran dan pemahaman bahwa bangsa ini harus dapat menolong dirinya sendiri, bahwa bangsa ini harus bertanggungjawab atas masa depannya sendiri, bahwa bangsa ini harus dapat memperkokoh dirinya sendiri, bahwa semua warga negara di dalamnya diberkahi sebuah kesempatan dan hak untuk mengabdikan diri pada kemajuan bangsanya dalam segala bentuk kontribusi dan peran yang dapat ia lakukan. Inilah seharusnya motif para politikus di negeri ini, yaitu menggugah kesadaran seluruh bangsa untuk bahu membahu berjuan dan memenangkan masa depan di atas kaki sendiri.

Waktu kelak akan membuktikan apakah negeri ini terus jaya atau terjungkal. Waktu jugalah yang kelak akan bertutur jujur apakah bangsa ini mampu meraih apa yang ingin diraih dan mampu mentransformasi kepribadian bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat. Bermartabat karena negerinya kuat, bermartabat karena sistem ekonominya bersih dan efisien, bermartabat karena penduduknya berlaku terhormat, bermartabat karena mendasari hukum dengan cinta kepada rakyat, bermartabat karena menghargai rakyat dengan tidak merampas hak-haknya, bermartabat karena menempatkan semua komponen bangsa sebagai sebuah keluarga. Memperlakukan seluruh komponen bangsa sebagai satu tubuh yang ditopang oleh banyak organ, seperti seorang CEO mengelola “resources 6M” organisasinya (market, management, material, machine, money, method).

Martabat bangsa akan tercipta manakala perjuangan politik dipandang sebagai ungkapan cinta seorang ibu yang mengayomi anak-anaknya dan mempersatukan keluarganya, bukannya sebagai perang antar politikus yang gemar bertarung seperti hewan beradu ganas dan bercatur tipu muslihat.

Konsep perjuangan politik yang harus dikembangkan adalah berlandaskan pada kebersamaan dalam sebuah keluarga dan negeri yang berbhineka tunggal ika, diayomi oleh rasa cinta, saling percaya, saling menguatkan dan saling menjaga, serta berpijak pada kebenaran, keadilan dan kejujuran. Kemajuan yang satu ditopang oleh anggota keluarga lainnya, kemerosotan yang satu diangkat bersama oleh seluruh keluarga.

Maka negara harus dikelola sebagai kombinasi optimal dari tiga modal bangsa, yaitu modal ekonomi, modal manusia dan modal sosial. Modal sosial diarahkan sedemikian rupa agar kapasitas nasional dari low trust society (modal sosial lemah) bertumbuh menuju high trus society (modal sosial kuat) dalam bingkai partisipasi bersama (togetherness) dan saling percaya (trust) sebagai disarankan oleh Robby Johan dalam Lead to togethernes (Johan, 2008).

Akhirnya bilamana politik yang mengadopsi sifat-sifat hewani belum mampu membangun negeri, maka tibalah saatnya bagi politik manusiawi untuk memimpin bangsa ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun