Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Source Code Instead of Dress Code

28 Juli 2010   00:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:33 148 0
„Source code instead of dress code“, kalimat ini saya dapatkan dari sebuah iklan job oleh salah satu perusahaan IT ternama Jerman di sebuah majalah akademis. Ya, di Jerman pekerjaan sebagai Programmer merupakan pekerjaan yang tidak memperdulikan penampilan. Mereka bebas berekspresi. Setelan celana pendek, t-shirt dan sandal jepit bukan masalah selama kode-kode yang mereka tulis (source code) dapat berfungsi seperti yang diharapkan. Atau jika mereka mau nampak se-keren Businessman dengan setelan jas seharga lima ratus euro pun tidak menjadi soal. Toh semua itu cuma kulit (dress code). Beda ceritanya ketika mereka harus bertemu dengan Customer, seperti yang selalu dilakukan oleh konsultan IT, tentu penampilan memegang peranan cukup strategis dalam hal ini. Prinsip ini -source code instead of dress code-, yaitu lebih memprioritaskan esensi dari pada penampilan luar, adalah juga merupakan sebuah ke-khas-an atau tipikal Jerman. Bisa kita lihat banyak produk-produk Jerman yang canggih tapi minim dalam soal desain. Walau makin kemari makin lebih baik. Tapi demikianlah tipikal gaya prioritas orang Jerman. Fungsi lebih utama dari pada penampilan. Cerita ke Jerman Dimulai Sebetulnya prinsip ini sudah saya pelajari dan amalkan sejak kecil. Ayah saya (semoga Tuhan selalu merahmati beliau) selalu menanamkan untuk tidak melihat pada bentuk (tampilan) luar, melainkan pada isi, fungsi, esensinya. Dan prinsip ini pula yang telah mengantarkan saya belajar ke sebuah negeri yang juga tidak mengutamakan tampilan luar, yakni Jerman. Pada saat itu di tahun 2001 semua siswa kelas tiga sibuk mempersiapkan ujian masuk Universitas Negeri. Entah apakah karena tidak puas atau tidak pede, semua berbondong-bondong mengikuti bimbingan belajar di luar jam sekolah. Termasuk saya. Ketika itu saya masih ingat, sahabat dekat saya lah yang mengajak saya untuk ikut bimbingan belajar dan menyodorkan dua nama bimbingan belajar ternama di kota Bekasi. Sahabat baik saya tersebut amat cerdas, saya telah belajar banyak darinya, baik soal pelajaran maupun pemikiran, sehingga saya mau mengikuti sarannya untuk memilih salah satu diantara keduanya. Saya yang memiliki otak pas-pasan ini merasa begitu beruntung, karena selalu memiliki manusia-manusia baik dan cerdas di sekitar saya. Segala pertimbangan, poin-poin kelebihan dan kekurangannya telah kami bahas. Termasuk hal-hal kecil seperti tempat parkir dan lingkungan baik secara fisik maupun sosial. Tapi kami masih tetap bingung, karena memang keduanya punya reputasi yang bagus. Lalu hari itu kami pulang tanpa keputusan. Kami masing-masing membicarakan hal ini kepada keluarga. Lalu terucaplah sebuah kalimat dari mulut ayah saya yang hingga hari ini selalu saya ingat dan menjadi salah satu prinsip terbaik dalam hidup saya, „Jangan lihat luarnya, lihat kualitasnya.“ Dan memang, satu perbedaan yang mencolok adalah tampilan luarnya, yang satu cukup keren dan banyak diminati oleh para pelajar dari sekolah swasta dan satu lagi hanya rumah sederhana. Esok paginya, saya sudah punya jawaban, begitu juga dengan sahabat saya itu. Dan ternyata pilihan kami sama, tertuju pada bimbingan belajar yang bertempat di rumah sederhana. Kalau saya tidak salah ingat, sahabat saya itu memilihnya atas saran dari kakaknya yang juga alumni bimbingan belajar tersebut. Lingkungan sosial yang nyaman dan bernuansa islami menjadi salah satu dasar pemilihannya. Ya, melalui bimbingan belajar itu saya memperoleh informasi tentang studi di Jerman yang berakibat pada sebuah pilihan besar, yaitu ikhlas melepas jauh-jauh impian untuk kuliah di UI atau ITB dan membulatkan tekad untuk sebuah impian yang jauh lebih besar dan berat, yaitu kuliah di Jerman. Berbeda dengan pelajar lain yang datang ke sana untuk mempersiapkan UMPTN, saya datang untuk belajar bahasa Jerman dan persiapan ujian bahasa. Dan bukan hanya soal bahasa aneh itu, tapi karena jumlah siswa yang mengikuti program ini tidak banyak, sehingga saya harus ikut kelas bahasa bersama teman-teman dari Jakarta Timur di Kampung Melayu. Singkat cerita, pada akhirnya saya berhasil menapakan kaki di negeri Deutschland dan kuliah di sana. Memilih Pendamping Hidup Prinsip mujarab yang dapat berbuah kebahagiaan ini bukan hanya dapat diimplementasikan ketika kita memilih tempat sekolah, tempat bekerja atau pun sekedar berbelanja, membeli sebuah produk. Namun prinsip canggih ini juga penting ketika kita berada pada salah satu fase terpenting dalam sejarah hidup kita, yaitu ketika kita memilih pendamping hidup kita. Kita barangkali sempat terheran-heran mengapa ada pasangan yang kurang serasi dipandang dari mata luar kita. Seorang gadis manis, cantik, cerdas nan sholehah ternyata memilih dan sayang kepada suaminya yang tidak cerdas, tidak tampan atau tidak kaya. Atau sebaliknya. Tahukah? Bahwa segala di dunia ini Tuhan ciptakan seimbang, hanya saja mata kita tidak atau belum sanggup untuk melihatnya. Tentu saja ada hal spesial yang tidak dimiliki lelaki atau wanita lain, sehingga dia lah yang terpilih, bukan yang lain, dan mereka memang cocok menjadi pasangan sejati. Istilah inner beauty, attitude, akhlak, karakter ini lah yang berada pada wilayah source code. Namun sayang sekali banyak manusia yang masih mengutamakan dress code atau penampilan luarnya, sehingga secara tidak sadar telah mempertaruhkan kebahagian masa depan mereka sendiri. Jujur, dahulu saya adalah termasuk orang yang memposisikan dress code sama dengan source code dalam hal memilih pendamping hidup, selain itu selalu source code lebih utama. Saya memiliki standar di atas rata-rata dalam soal dres code, walau tetap tidak mengesampingkan source code. Namun, saya bersyukur, Tuhan melalui negeri Deutschland ini telah menunjukan kepada saya banyak perspektif, cara pandang, keutamaan hidup, hakikat bahagia dan manfaat-manfaat prinsip „source code instead of dress code“ dalam kehidupan kita dunia-akhirat. Di negeri ini lah dimana gadis-gadis atau pemuda-pemuda dengan penampilan fisik di atas standar banyak bertebaran dimana-mana dan justru dari situ lah saya belajar, berinteraksi dan melihat. Saya masih ingat penuturan salah seorang adik mahasiswi Indonesia yang begitu terkagum-kagum di hari pertamanya kuliah hanya karena di sekelilingnya adalah pemuda-pemuda keren dan tampan secara fisik. „Wah, senangnya saya Mas, di samping kiri saya Brad Pitt, kanan saya Tom Cruise, ...“ nama-nama aktor hollywood ia sebut satu-satu. Yakinlah, ketika kita menerapkan pada prinsip „Source code instead of dress code“ saat menentukan pasangan hidup, maka kebahagian sudah menunggu di depan, karena sesungguhnya source code lah yang kita butuhkan. Terlebih seorang pendamping hidup memiliki pengaruh yang begitu besar terhadap jalan kehidupan kita selanjutnya. Warna, Penyedap dan Bahasa Komunikasi Kalau dianalogikan dengan sebuah kacang, maka source code merupakan buahnya dan dress code merupakan kulitnya. Yang kita nikmati adalah buahnya, bukan kulitnya. Namun bukan berarti kulit itu tidak penting dan diabaikan. Keduanya merupakan sebuah kesatuan, yang mana buah tersebut akan aman dan bisa kita nikmati ketika ada kulitnya. Mereka tercipta demikian. Isi memang lebih utama, tapi bukan kemudian kita tidak peduli dengan kulitnya. Kulit luar atau tampilan juga memiliki sebuah fungsi. Ia bisa menjadi warna yang dapat memperindah suasana, bisa menjadi sebuah penyedap sehingga terasa lebih baik dan bisa menjadi sebuah bahasa komunikasi yang darinya kita memperoleh banyak informasi yang cukup relevan. Melalui dress code kita dapat menghargai, menyenangkan dan membahagiakan orang lain dengan tetap memprioritaskan esensi utamanya, source code! Lalu, bagaimana dengan Anda, dress code atau source code?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun