Belgia telah siap untuk mengulang kembali masa keemasannya. Masa keemasan sepak bola Belgia terjadi terakhir kali hampir 33 tahun yang lalu ketika mereka berhasil menjadi runner up di Piala Eropa tahun 1980 dan menduduki peringkat 4 di Piala Dunia 1986. Setelah itu, prestasi negeri Tintin ini terus meredup. Mereka seringkali menjadi bulanan tim Eropa lain dan puncak kegagalan Belgia adalah ketika mereka mencetak 'rekor' menjadi tuan rumah Piala Eropa (di tahun 2000) yang harus langsung tersingkir di babak grup tanpa memenangi pertandingan satupun.
Akan tetapi, kini Belgia mulai bangkit dari keterpurukan. Di tingkat popularitas pemain, jika dahulu anda dipastikan kurang familiar dengan nama-nama pemain Belgia, kini nama-nama seperti Hazard, Fellaini, Verthongen, Mignolet, Courtouis dan Benteke pasti terdengar familiar di kuping anda. Di tingkat prestasi, jika dahulu Belgia sering menjadi juru kunci di grup penyisihan Piala Dunia kini mereka berhasil menjadi juara grup dengan selisih nilai yang jauh dengan mempencundangi negara kuat Eropa lain seperti Kroasia dan Skotlandia.
Kebangkitan sepak bola Belgia ini harus dijadikan inspirasi bagi PSSI, pelakon dan pecinta sepakbola nasional dalam memajukan sepakbola Indonesia yang sedang hancur lebur luar dan dalam. Berkaca kepada pengalaman Belgia, tentu suatu prestasi internasional tidak begitu saja jatuh dari langit melainkan ia harus melewati suatu proses, membutuhkan kesabaran dan komitmen bersama yang kuat untuk mencapai tujuan bersama, yaitu kemajuan sepak bola nasional, bukan kemajuan segelintir kepentingan kelompok tertentu.
Berikut adalah 3 poin penting dari kebangkitan sepakbola Belgia yang dapat dijadikan pelajaran bagi Indonesia (dirangkum oleh penulis dari berbagai sumber):
DNA PERMAINAN
Setelah menghadapi kegagalan yang memalukan di Piala Eropa tahun 2000, Technical Director Asosiasi Sepak Bola Belgia Michel Sablon memformulasikan "Rencana 10 Tahun" (10 year Plan) yang sebagian besar materinya berisikan bagaimana cara meningkatkan kualitas talenta sepak bola Belgia.
Inisiatif ini berhasil mensinergikan pendidikan sepakbola dari tingkat bawah (sekolah) hingga tingkat atas (senior). Pemain Belgia dari usia dini dibiasakan bermain dalam pola permainan 4-3-3. Mengapa pola 4-3-3 dipilih? ini karena keyakinan Michel bahwa filosofi sepakbola modern adalah menyerang, mempertahankan bola sebaik mungkin dan mendukung fleksibilitas antar pemain. Atas alasan inilah akhirnya mengapa pola 4-3-3 yang dipilih.
Namun, yang perlu ditekankan adalah bukan kepada pola permainan apa yang dipilih melainkan kepada keberhasilan Michel dalam menanamkan DNA 4-3-3 ke sepakbola Belgia di segala lini. DNA ini telah menjadi ciri khas permainan sepakbola Belgia, dan ini mempermudah adaptasi pemain ketika mereka harus menapak ke jenjang berikut karena di jenjang manapun anda berada anda dipastikan akan selalu memainkan sepakbola dengan cara yang sama.
Hal ini justru berbanding terbalik dengan sepakbola Indonesia. Di setiap tingkatan tim nasional, masing-masing memiliki corak permainan sendiri-sendiri. Corak permainan timnas U-19 mengandalkan umpan pendek, mempertahankan bola sebaik mungkin dan agresif merebut kembali bola. Sementara corak permainan timnas U-23 terlalu mengandalkan umpan panjang, mengandalkan kecepatan satu dua pemain dan kurang berani dalam menahan bola sebaik mungkin.
Perbedaan corak dari masing-masing jenjang ini dapat menghambat adaptasi seorang pemain dari U-19 ke U-23 nanti. Perbedaan ini dapat membuat mereka akan kurang maksimal karena dipaksa untuk bermain dengan gaya yang jauh berbeda dari yang mereka jalankan selama ini. Dengan demikian, seperti Belgia, Indonesia harus memiliki DNA permainan yang konsisten dijalankan dari tingkat junior hingga tingkat senior.
Potensi Indonesia sebetulnya telah terlihat di permainan timnas U-19. Mereka berhasil mengejutkan sebagian besar kalangan dengan memainkan sepakbola tiki taka ala Indra Sjafri. Sistem itu dapat saja dijadikan dijadikan DNA nasional namun sekali lagi hal terpenting bukan terletak kepada sistem permainan apa yang akan dipilih melainkan seberapa dalam DNA itu dapat ditanamkan dari usia dini dan seberapa konsisten DNA itu dijalankan dari level junior hingga senior.
FOKUS MENGEMBANGKAN TIM JUNIOR
Di tahun 2008, Belgia gagal lolos ke Piala Eropa 2008 dan Piala Dunia 2010. Namun, di tingkat junior U-17 Belgia berhasil mencapai final Kejuaraan Eropa untuk pertama kali dalam sejarah. Flash forward 5 tahun kedepan, kini sebagian besar pemain di U-17 tersebut telah beranjak dewasa dan semakin matang, mereka telah menjadi andalan tim senior yang berhasil membawa Belgia lolos ke piala dunia Brasil 2014.
Ketika Marouanne Fellaini ditanyai oleh jurnalis mengenai kunci kebangkitan sepakbola Belgia, ia secara tepat menjawab bahwa itu karena sebagian pemain telah saling mengenal dengan baik karena telah bersama-sama bermain dari tingkat junior. Dengan demikian, ketika PSSI menghadapi dilema mengenai masa depan timnas U-19 ada baiknya mereka mempelajari pengalaman Belgia. Hal terbaik yang dapat dilakukan oleh PSSI adalah untuk terus menjaga keutuhan dan kebersamaan para pemain. Kebersamaan mereka dapat menjadi modal penting dalam menatap Piala Asia U-19 dan menghadapi penyisihan Piala Dunia U-20.
Jika ingin sepakbola Indonesia maju di tingkat internasional, maka PSSI harus ekstra hati-hati dalam menangani tim nasional U-19 karena mereka adalah masa depan sepakbola negara ini. Indonesia mengalami fase serupa dengan apa yang dialami Belgia 5 tahun yang lalu. Kedua negara sama-sama memiliki timnas junior yang mengkilap ditengah keterpurukan tim senior. Dengan demikian, melihat bagaimana sebagian pemain U-17 Belgia telah beranjak menjadi andalan tim senior yang lolos ke piala dunia 2014 cukup dapat dijadikan cermin bagi Indonesia dalam memprediksikan apa yang bisa dilakukan oleh para "bocah ajaib" di U-19 ini untuk sepakbola nasional 3-5 tahun di depan nanti.
Itu bila mereka ditangani dengan baik dan tepat oleh PSSI, dan lebih penting lagi bebas dari kepentingan politis kelompok tertentu.
MENDORONG PEMAIN MUDA BERKARIR KE LUAR NEGERI
Jika kita melongok skuad pemain Belgia saat ini, maka komposisi skuad 88% diisi oleh mereka yang berkarir di luar Belgia. Belgia mampu dengan baik memanfaatkan kemajuan liga negara tetangga untuk kepentingan nasional.
Di Liga Inggris, ada Hazard, De Bruyne, Dembelee, Verthongen, Chadli, Lukaku, Mirallas, Benteke dan Mignolet. Di Spanyol ada, Alderweild dan Courtois. Di Italia, ada Merteens. Di Jerman, ada Van Buyten dan Pocognoli. Diaspora ini telah banyak membantu meningkatkan kualitas pemahaman Belgia terhadap permainan negara tetangga. Disamping itu, kualitas kompetisi di negara tetangga juga turut membantu meningkatkan kualitas teknik pemain Belgia.
FA Belgia turut mendukung diaspora ini dengan mendorong setiap klub lokal memiliki networking dengan scout dari liga negara tetangga. FA Belgia pun turut turun tangan langsung dengan membina kerjasama dengan beberapa akademi terkenal di Belanda seperti Ajax dan PSV. Di tingkat klub lokal, manajemen tidak akan pernah menghalangi peluang pemain untuk berkarir di luar negeri. Bagi mereka, pembinaan usia dini adalah modal untuk tetap atraktif meskipun telah ditinggal beberapa pemain bintang.
Ini perlu ditiru oleh PSSI. Sedikit mengkhawatirkan mengenai masa depan pemain timnas U-19 ketika harus memasuki suatu sistem liga nasional yang penuh intrik, korup dan persaingan tidak sehat. Andaikan PSSI dapat mendorong banyak pemain muda potensi untuk berkarir di luar Indonesia tentu akan berdampak positif kepada tim nasional.
Sasaran negarapun tidak perlu muluk-muluk harus Eropa atau Amerika Latin, kita bisa menilik sasaran yang lebih realistis seperti Australia, Malaysia, Thailand atau Korea Selatan. Menurut pemberitaan di beberapa media, sudah dapat diendus bahwa selama kompetisi AFC dan Penyisihan Grup Piala Asia berlangsung, telah hadir pemandu bakat dari Australia yang terjun langsung mengikuti sepak terjang beberapa pemain timnas.
Ini harus dimanfaatkan oleh PSSI. Mereka harus mulai berani melihat dan memanfaatkan peluang di negara tetangga untuk kepentingan nasional tanpa harus meninggalkan komitmen dalam memperbaiki kualitas liga domestik. Ini semua dilakukan demi satu tujuan, yaitu memperbaiki kualitas sepakbola nasional