Sebagai mahasiswi yang dibesarkan dalam lingkungan yang kuat dengan budaya Jawa, saya juga tidak terhindar dari stereotipe dan prasangka. Pada awalnya, saya sering berpikir bahwa orang-orang dari luar Yogyakarta, terutama yang datang dari daerah lain, mungkin tidak akan sepenuhnya memahami kebiasaan kami yang penuh dengan aturan kesopanan dan tata krama. Hal ini juga berlaku untuk teman-teman saya yang berasal dari luar Yogyakarta. Banyak di antara mereka memiliki pandangan keliru tentang orang Jogja, seperti anggapan bahwa kami selalu lambat dan terlalu hati-hati dalam segala hal. Saya menyadari bahwa semua itu merupakan bentuk stereotipe yang muncul akibat ketidaktahuan. Teman-teman baru saya yang pertama kali datang ke Jogja hanya berusaha memahami budaya ini dengan cara mereka sendiri. Saya mulai belajar bahwa prasangka dan stereotipe adalah hambatan besar dalam komunikasi antar budaya. Setiap individu membawa pengalaman dan latar belakang budaya yang berbeda, sehingga penting bagi kita untuk tidak langsung menilai atau menghakimi orang lain berdasarkan pandangan kita sendiri, melainkan membuka diri untuk mendengarkan dan memahami perspektif mereka.
Sebagai seorang mahasiswi yang bercita-cita menjadi jurnalis, saya percaya bahwa pemahaman tentang komunikasi antar budaya akan sangat bermanfaat dalam karier saya di masa depan. Seorang jurnalis dituntut untuk menyampaikan informasi secara objektif, adil, dan tidak memihak. Dalam dunia yang semakin global ini, jurnalis sering kali harus berhadapan dengan narasumber dari latar belakang budaya yang berbeda. Kemampuan komunikasi antar budaya akan membantu saya untuk lebih memahami dan menghargai perspektif orang lain serta menyampaikan cerita dengan cara yang sensitif dan tepat. Yogyakarta, dengan semua keunikan dan keberagamannya, mengajarkan saya bahwa perbedaan bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti; sebaliknya, itu adalah kesempatan untuk belajar dan berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.