Hasan duduk di pojok sebuah kedai kopi kecil di pinggiran kota. Udara sore itu hangat, tetapi aroma biji kopi yang baru diseduh menciptakan rasa nyaman yang menenangkan. Kedai itu tidak ramai hanya saja ada beberapa pengunjung yang sibuk dengan buku, laptop, atau sekadar berbincang ringan. Hasan memandangi secangkir kopi hitam di hadapannya, mencoba mencari makna di balik rasa pahit manis yang memenuhi lidahnya.
Di seberang meja, seorang pria tua berpeci dan berjanggut putih memperhatikannya. Hasan merasa diawasi dan mencoba mengabaikannya, tetapi pria tua itu malah tersenyum dan mulai berbicara.
"Hai nak, apakah kopi itu yang membuatmu termenung?" tanya pria tua itu ramah.
Hasan mengangkat wajahnya. "Mungkin, Pak. Saya merasa ada sesuatu dalam kopi ini yang menenangkan, seperti... sebuah cerita yang belum selesai," jawabnya pelan.
Pria tua itu tersenyum lebar. "Kopi memang istimewa. Pernahkah kamu mendengar kutipan, ''Selama aroma biji kopi ini tercium di mulut seseorang, maka selama itu pula malaikat beristighfar untuknya"?
Hasan mengernyit. "Apakah benar kutipan tersebut hadis pak" ?
Pria tua itu tertawa kecil. "Tidak, Nak. Itu hanya ungkapan. Banyak orang menyebutnya, mungkin untuk menggambarkan betapa berharganya kopi bagi mereka. Tapi tidak ada riwayat yang menyebutkan itu sebagai hadis."
Hasan mengangguk pelan. "Lalu, salahkah saya jika mempercayainya?"
"Tidak salah jika kamu memaknainya sebagai inspirasi, bukan sebagai ajaran agama. Namun, berhati-hatilah dalam menyampaikan sesuatu atas nama Nabi. Kita harus menjaga kebenaran dalam agama, bukan?" jawab pria tua itu bijak.
Hasan termenung, menyesap kopinya perlahan. Kehangatan cairan itu menyusup ke tubuhnya, membawa rasa nyaman yang sulit dijelaskan. Ia memandang pria tua itu lagi, penasaran akan siapa dirinya.
"Maaf, Pak. Boleh saya tahu, Bapak siapa?" tanya Hasan akhirnya.
Pria tua itu tersenyum lagi, kali ini dengan tatapan penuh misteri. "Aku hanya seorang penikmat kopi, sama sepertimu. Namaku Hamid. Aku sering datang ke sini untuk menikmati secangkir kopi dan berbagi cerita."
Percakapan mereka mengalir seperti aliran kopi yang dituangkan dari teko ke cangkir. Hasan menceritakan tentang pekerjaannya sebagai pegawai kantor yang sibuk dan monoton. Ia sering merasa jenuh, dan kopi adalah satu-satunya pelarian yang membuatnya merasa hidup. Hamid mendengarkan dengan sabar, sesekali mengangguk atau memberikan tanggapan ringan.
"Kopi adalah cermin kehidupan,nak" kata Hamid akhirnya. "Pahitnya mengajarkan kita untuk menerima kenyataan, dan manisnya memberi harapan. Tapi yang paling penting, aroma kopi itu mengingatkan kita untuk berhenti sejenak dan bersyukur."
Hasan terdiam. Kata-kata Hamid menembus pikirannya, membuatnya merenung lebih dalam. Ia mulai mengingat momen-momen kecil yang sering ia abaikan seperti senyuman ibunya setiap pagi, atau suara burung yang berkicau di luar jendela kantornya.
Hari itu, Hasan dan Hamid berbincang hingga matahari terbenam. Ketika Hasan akhirnya memutuskan untuk pulang, ia merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia membawa pelajaran bahwa setiap tegukan kopi bukan hanya soal rasa, tetapi juga soal makna dan rasa syukur.
Namun, kisah Hasan dan Hamid tidak berakhir di situ. Pertemuan di kedai kopi itu menjadi awal dari perjalanan baru bagi Hasan. Ia mulai sering datang ke kedai tersebut, berharap bisa bertemu Hamid lagi. Setiap kali ia bertemu pria tua itu, selalu ada cerita baru yang dibagikan mulai dari tentang kehidupan, cinta, keluarga, dan tentu saja tentang sebuah kopi.
Suatu hari, Hasan bertanya kepada Hamid, "Pak Hamid, apa yang membuat Bapak begitu mencintai kopi?"
Hamid tersenyum tipis. "Kopi adalah warisan dari ayahku, Nak. Dulu ayahku adalah seorang petani kopi di sebuah desa kecil. Ia selalu berkata, 'Kopi adalah doa yang dituangkan ke dalam cangkir.' Setiap kali aku meminum kopi, aku merasa seperti sedang mendengarkan doa-doa ayahku yang tidak pernah terucapkan."
Cerita itu membuat Hasan semakin terpesona. Ia mulai memandang kopi dengan cara yang berbeda. Baginya, kopi bukan lagi sekadar minuman tetapi sebuah perjalanan spiritual. Setiap aroma, rasa, dan tegukan adalah pengingat akan hal-hal kecil yang sering luput dari perhatian.
Namun, suatu hari Hamid tidak lagi muncul di kedai kopi itu. Hasan mencarinya, bertanya kepada pelayan, tetapi tidak ada yang tahu ke mana pria tua itu pergi. Kedai itu terasa sepi tanpa kehadiran Hamid dan ceritanya. Namun, Hasan menyadari bahwa pelajaran yang diberikan Hamid tidak akan pernah hilang.
Ia memutuskan untuk menulis tentang pertemuannya dengan Hamid tentang kopi, kehidupan, dan rasa syukur. Tulisan itu akhirnya diterbitkan dalam sebuah buku kecil yang ia beri judul  "Aroma Kopi dan Malaikat". Buku itu menjadi inspirasi bagi banyak orang, mengingatkan mereka untuk menemukan keindahan dalam momen-momen kecil kehidupan.
Meskipun Hamid tidak pernah kembali, Hasan merasa bahwa kehadiran pria tua itu akan selalu hidup dalam setiap tegukan kopi yang ia minum. Aroma kopi itu mungkin tidak benar-benar membuat malaikat beristighfar, tetapi bagi Hasan, aroma itu sudah cukup untuk mengingatkan dirinya untuk terus bersyukur kepada Allah dan berbuat lebih baik setiap hari.